"Mama benar-benar keterlaluan!" Arjuna berteriak marah dengan suara yang terdengar nyaring.
"Apa maksud kamu? Tiba-tiba datang dan langsung marah-marah tidak jelas." Lauren ikut berdiri, bertanya degan intonasi yang sama kerasnya. Tatapannya menatap buas kepada putra kandungnya yang semakin kurang ajar itu. Hati kecilnya tidak terima ketika Arjuna terus-terussan membentaknya.
Kali ini Lauren tidak menyuguhi air minum untuk Arjuna seperti biasa saat Arjuna mengunjungi apartemennya. Firasat seorang ibu merasakan kalau anaknya akan berkunjung, dan rasanya itu bukanlah hal yang baik untuk hari ini. Tapi sebelum Lauren bergegas keluar, Arjuna sudah terlanjur membuka pintu dengan kasar dengan kemarahan yang ketara. Masuk ke dalam dan langsung meluapkan emosinya yang sedang meluap - luap. Firasat buruknya benar terjadi. Arjuna sekarang begitu marah padanya.
"Mama..... Mama kenapa tega menjual putri Mama hah?!" pria itu menatap mamanya dengan nanar. Arjuna mengepalkan tangannya dengan erat. Berusaha mengontrol emosinya yang di ujung tanduk. Walaupun nada bicaranya sekarang tak bisa dikontrol sekalipun.
"Siapa!"
"Siapa lagi... Julia... Dia anak Mamakan?!" ujar Arjuna dengan intonasi yang mulai rendah. Perasaanya menjadi tak karuan ketika menyebut nama gadis itu, rasa segan bercampur malu. Perempuan yang sebelumnya sangat ia benci. Sekarang rasa benci itu berubah menjadi rasa iba.
Lauren berkedip dua sampai empat kali untuk mencerna maksud Arjuna, dan ia mulai paham akan tujuan anaknya datang kemari. Seulas senyuman simpul terlukis di bibir indah Lauren yang berlipstik merah menyala.
"Arjuna... Arjuna, pakai otakmu. Dia bukan putriku, tapi dia putrinya Ridwan," jawab wanita itu enteng. Tidak mau peduli.
"Tapi dia anak Mama juga. Anak tiri Mama," Arjuna masih dengan emosinya yang belum terkontrol. Wajahnya memerah karena amarah.
Lauren menghela nafas panjang.
"Astaga Arjuna. Coba kamu bayangkan tiba-tiba ada seorang pria yang mau membanyar Mama uang lebih hanya untuk mendapatkan gadis bodoh sepertinya. Siapa yang mau menolak uang sebanyak itu, Arjuna. Tentu saja Mama langsung menyetujui penawaran bagus itu," kata Lauren yang berhasil membuat kepala Arjuna tiba - tiba pusing.
Arjuna menatap mamanya yang tengah tertawa lebar tanpa rasa bersalah sedikitpun. Andai saja mamanya tahu kalau pria yang sudah membayarnya itu adalah Arjuna sendiri. Mungkin tanggapan mamanya akan berbeda, mungkin biasa saja, atau mungkin malah senang. Mamanya memang tidak punya hati.
Arjuna menggertakkan giginya. Mati-matian Arjuna merutuki kejadian laknat itu. Merutuki kebodohannya. Merutuki takdir yang sudah tidak adil kepada Julia. Namun semuanya sudah terjadi. Tak ada gunanya menyesali. Setiap malam lelaki itu terus bertanya kepada Tuhan, kenapa harus dia yang tidak tahu apa-apa seolah takdir menjadikannya tokoh antagonis yang paling kejam di muka bumi ini.
Kenapa hatinya yang keras berubah menjadi sesak seperti ini?
Seandainya aku tahu kamu anak tiri Mama, aku tidak akan melakukan hal kejam itu kepadamu Julia, batin Arjuna.
"Lagipula dia sudah tidak sanggup memberikan jatah perbulan seperti yang Mama minta," wanita itu menjawab acuh. Ia sudah berbaring di sofa dengan jemari yang sibuk bermain ponsel.
Arjuna menatap mamanya dengan tatapan penuh tanya.
"Jatah..... Mama minta jatah apa lagi dengannya. Mama minta uang padanya?"
"Iya, Mama minta uang padanya. Tidak banyak, cuma lima belas juta setiap bulan," tetap, Lauren menjawabnya tanpa menoleh. Ia tidak peduli.
Arjuna terperangah. Bagaimana bisa?, batinya bertanya.
"Uang segitu tidak akan membuatnya tertekan."
"Apa? Lima belas juta Mama bilang Cuma sedikit?" Arjuna mengusap rambutnya kasar. Pantas saja selama ini Julia selalu meminjam uang pada perusahaan. Bahkan sebelum hutangnya terbayar lunas, Julia sudah meminjam lagi. Arjuna bahkan selalu menuduh yang tidak-tidak pada gadis itu. "Ma..... Apa Mama tidak tahu kalau Julia hanya seorang karyawan biasa, dia mati-matian bekerja. Kenapa Mama setega itu pada Julia?!" tanya Arjuna dengan mulut bergetar.
Kali ini ucapan Arjuna berhasil mengalihkan perhatian Lauren. Ia menatap anaknya dengan tatapan tajam menusuk.
"Tega kamu bilang? Memangnya kalau Mama minta sama kamu, Kamu mau memberikannya secara cuma-cuma? Bukankah kamu juga tega sama Mama!" Lauren balas bertanya dengan menatap Arjuna tak suka. Bahkan intonasi suaranya ikut meninggi.
"Tapi kali ini Mama benar-benar keterlaluan. Di mana hati Mama. Mama tega menjual Julia kepada....." Arjuna menghentikan kalimatnya. Ia menyugar rambutnya ke belakang. Dadanya kembali sesak. Ia menolak kenyataan bahwa dialah tersangka utama yang telah merenggut kesucian adik tirinya itu.
"Cukup Arjuna! Kalau kamu datang hanya untuk menyalahkan Mama, pergi dari sini sekarang juga!" teriak Lauren, kali ini wanita itu benar-benar marah. Bahkan ia tidak segan - segan menunjuk pintu kepada Arjuna.
"Baik. Arjuna akan pergi. Tapi Arjuna mohon sama Mama jauhi Julia dan Vino. Sebagai gantinya Mama boleh meminta semua aset Arjuna, apartemen, rumah, saham, deposito, tanah, kalau perlu perusahaan sekalian. Memang itu kan yang Mama inginkan. Mama dari dulu memang gila harta, tidak pernah berubah." Arjuna keluar setelah menutup pintu dengan kasar.
Sedangkan di tempatnya Lauren menatap kepergian Arjuna dengan perasaan gamang. Tanpa ia sadari air matanya menetes. Perkataan dari Arjuna benar - benar melukai hatinya.
***
Julia membasahi tubuhnya dengan air shower yang terus mengalir membasahi tubuhnya. Menggosok-gosok kulitnya dengan kasar, sampai tidak peduli kalau badannya sudah terasa sangat perih. Sudah lebih dari satu jam ia berada di dalam kamar mandi, mengurung dirinya di sana. Ingatannya tentang kejadian semalam terus berputar di pikirannya. Julia merasa dirinya kotor. Ia jijik dengan dirinya sendiri. Julia terus menangis meraung-raung putus asa. Sesekali ia memaki-maki nama Arjuna.
Tanpa disadari suara tangisan pilu Julia sampai terdengar oleh Vino. Remaja lelaki itu terlihat sangat khawatir akan keadaan kakanya tersebut. Vino terus berteriak memanggil kakanya sambil terus menggedor pintu kamar mandi mereka. Tetapi Julia seolah tuli. Ia tetap mengurung dirinya di dalam sana.
***
Setelah pulang dari apartemen Lauren, Arjuna langsung pergi ke apartemen miliknya sendiri. Ia tidak pulang ke rumahnya. Seperti biasa ketika ada masalah ia lebih memilih mengurung dirinya di apartemen. Tempat untuk melampiaskan segala emosinya dan kekesalannya.
Arjuna meneguk Wine langsung dari botol. Apartemennya sangat berantakan. Hampir semua barang - barang yang terbuat dari kaca pecah berserakan di lantai. Ia kembali meneguk Wine-nya dengan rakus sampai tumpah melewati lehernya, lalu membantingnya ke lantai hingga pecah. Pikirannya saat ini tidak karuan. Dari luar Arjuna memang tampak kejam. Sering bermain perempuan. Arjuna hanya bermain dengan mereka yang memang pantas untuk dipermainkan. Arjuna tidak pernah punya niatan untuk benar-benar menghancurkan hidup seseorang. Apalagi adik tirinya yang sebenarnya orang baik. Seseorang yang seharusnya ia hormati layaknya soudara.
Arjuna menyesal.
Ia melempar semua barang yang ada di atas meja sembari berteriak, "ARGHHHHHH!!!"
Tbc...
Dua minggu berlalu dengan cepat. Selama itu pula Arjuna tidak pernah lagi melihat batang hidung Julia di perusahaanya. Gadis itu pergi entah ke mana seperti ditelan bumi. Mungkin saja gadis itu bersembunyi atau trauma setelah kejadian yang menimpanya waktu itu.Seharusnya gadis itu sudah mendapatkan sanksi, atau lebih buruk ia dipecat secara tidak terhormat. Bolos bekerja tanpa meminta izin, tentu saja melanggar aturan perusahaan.Tapi Arjuna menyadari dia juga ikut andil dari apa yang menimpa Julia sekarang. Sedikit campur tangannya, ia mudah saja menyelamatkan karir Julia, dan Arjuna bertekat akan menebus kesalahannya.Arjuna sadar ia telah salah menilai Julia selama ini.Arjuna menatap arloji di pergelangan tangannya. Pukul delapan malam. Masih ada waktu untuk bertamu. Meski ia tahu bertamu malam-malam di rumah seorang gadis yang tinggal sendiri itu tidak baik. Tapi tekatnya malam ini sudah bulat, ia harus membujuk Julia untuk kembali bekerja dan meminta maaf.***Arjuna menatap rum
Arjuna menatap langit-langit kamar. Matanya memang terpejam, tapi pikirannya melayang entah kemana. Jiwanya masih sepenuhnya terjaga. Kembali teringat empat hari yang lalu di mana Julia mengusirnya dengan tatapan jijik campur benci.Pria itu mengusap wajahnya gusar. Matanya kembali menatap nyalang. Ia bangun dan duduk bersimpuh di atas kasur, merenungi kesalahannya. Dengan keadaan gelisah ia menatap tanggalan di atas meja yang berada tepat di sebelah kasur.Tanggal tiga belas, tercoret dengan lingkaran merah. Arjuna menandai pada tanggalannya. Hari saat dia menodainya. Hari di mana kehormatan adik tirinya sendiri ia renggut.Di tengah keterpurukan rasa bersalah itu, ponselnya berbunyi nyaring.Klik.Arjuna menggeser tombol warna hijau. Mengangkat telpon dengan perasaan jengkel.Siapa malam-malam begini yang berani mengangguku?"Ada apa?""Arjuna, kau tahu....."Arjuna menjauhkan ponselnya. Ia menatap nama kontak di layar ponselnya. Jonatan. Pria yang sekarang masuk kedaftar salah satu
Cuaca sore hari ini sangat cerah. Tetapi tak secerah hati perempuan yang berkali-kali dirundung masalah. Justru dia menganggap semua hari sama saja.Julia memakirkan motornya di bagasi seperti biasa. Dia sudah tidak memiliki mobil karena sudah dijualnya untuk menutupi kebutuhan. Kendaraan satu-satunya yang dia punya sekarang hanyalah motor matic kesayangannya."Lemas sekali," ujarnya lirih seraya membuka jaket dan helm. Ia melihat pada kaca spion, berusaha tersenyum untuk dirinya, namun yang terlihat hanya senyuman keletihan.Hari ini, akhir bulan. Pekerjaan di kantor lumayan melelahkan. Semua tubuhnya terasa lesu. Berbagai masalah yang terus menghampiri semakin membuat mentalnya down. Dia benar-benar merasa seperti zombie yang dipaksa untuk hidup.Julia baru saja berjalan lima langkah menuju pintu yang sudah terbuka. Sampai kehadiran seseorang membuat semua bebannya bagai terangkat, hilang dan lenyap.Dia..."Papa?" Julia memanggil setengah tak percaya. Cepat-cepat ia masuk ke rumah.
Pukul sembilan pagi. Seharusnya Arjuna masih berada di kantor. Berkutat dengan beberapa dokumen penting yang harus segera diteliti dan ditanda tangani. Tetapi akal budinya tak bisa diajak untuk fokus. Otaknya terus meneriakkan sebuah nama, Julia. Tapi tidak untuk pagi ini. Kali ini untuk yang kedua kalinya ia datang berkunjung ke rumah Julia. Arjuna cuma ingin memastikan kalau Julia baik-baik saja. Karena di kantor ia tidak melihat kehadiran Julia, dan Julia juga tidak mengkonfirmasi perihal dia tidak masuk hari ini. Hal itu membuat Arjuna agak was-was. Tidak ada satupun yang tahu kalau Arjuna datang ke sini. Termasuk Ruben. Dia hanya bilang kepada Ruben bahwa ia memiliki urusan sebentar, lalu pergi ke luar. Pintu tidak terkunci saat Arjuna hendak mengecek rumah Julia yang sepi tersebut. Bisa dipastikan si pemilik rumah ada di dalam. Tanpa permisi Arjuna main masuk begitu saja. Dirinya berharap tak akan ada orang yang menuduhnya pencuri jika ketahuan masuk ke rumah orang sembara
Dua mangkuk mie ayam berserta dua gelas es teh tersaji di atas meja. Arjuna mencicipi bagiannya tanpa sungkan. Tadi sebenarnya Arjuna hampir mengajak Julia makan di restoran langganannya, namun Julia menolak mentah-mentah. Malahan Julia memaksanya untuk makan di sini, warung mie ayam milik Pak Budi. Di sini cukup ramai, hanya saja kebanyakan pembeli dari kalangan pelajar yang masih memakai baju putih abu-abu. Sesekali mereka terdengar heboh dengan canda tawa bagi mereka yang datang bergerombolan."Cepat dimakan!" perintah Arjuna. Julia sama sekali belum menyentuh makanannya, padahal tadi dia yang paling ngotot mengajak ke sini.Julia melirik Arjuna, lalu mengangguk. "Iya."Lima menit berlalu.Mie ayam milik Arjuna sudah habis, sedangkan Julia masih menyantapnya dengan malas. Sesekali Julia asyik melamun. Sesekali juga dia mamaksakan untuk fokus, walau tatapannya kadang terlihat kosong. Kesabaran Arjuna benar-benar diuji kali ini."Kenapa? Tidak enak?" tanya Arjuna menaikkan alis kanann
Julia berjalan was-was menuju pintu ketika mendengar seseorang mengetuk pintu dengan brutal. Padahal jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Julia sendiri hampir tidak pernah menerima tamu selarut ini. Biasanya kalaupun memang penting, si penamu akan menghubunginya dulu lewat telepon atau sekedar kirim pesan.Sebelum meraih gagang pintu, Julia berdoa, "semoga bukan penagih hutang." Julia juga menyempatkan diri untuk mengambil balok kayu kecil yang cukup panjang untuk memukul, di sebelah pintu. Kayu itu memang sudah dipersiapkan untuk berjaga-jaga apabila ada sesuatu yang tidak diinginkan, misalnya maling. Itu kata papanya.Julia membuka pintu pelan."Hai.....," kepala seseorang langsung muncul dari balik pintu."Kamu?"Tatapan mata Julia mengekor Arjuna yang main masuk begitu saja. Di tangan kanan-kiri lelaki itu juga tengah menenteng plastik lumayan besar yang berisi makanan hingga membuat plastik itu penuh. Lalu dengan santai Arjuna meletakkannya di atas meja, menatap Julia dan be
Hari Minggu pagi, Arjuna kembali berkunjung ke rumah Julia untuk yang kesekian kalinya. Ia juga menenteng dua plastik yang berisi brownies cokelat, pandan, stoberi, vanila, dan juga buah apel untuk Julia. Arjuna tidak tahu apa makanan kesukaan Julia, jadi dia hanya berharap Julia suka.Arjuna mengetuk pintu rumah Julia, namun ia agak heran melihat sepatu yang seukuran pria dewasa berada di sebelah sepatunya, di mana ia berdiri saat ini. Jelas sekali itu bukan sepatu milik Vino dilihat dari ukurannya saja sudah jelas.Arjuna mengalihkan pandangannya ketika pintu terbuka.Lima detik Arjuna masih terpaku di tempatnya."Kamu siapa?" tanya Arjuna menatap heran lelaki berkulit gelap di depannya yang tidak seharusnya membukakan pintu untuknya. Arjuna menaruh curiga. Pikirannya bertanya-tanya kenapa pintu sampai harus ditutup. Apa yang mereka lakukan di dalam. Mengapa sepi sekali.Arjuna melirik ke sana-sini, atau jangan-jangan Julia diperkosa, pikirnya."Saya Herlambang, mas ini siapa?" tanya
"Kita harus cepat-cepat menikah Julia.""Aku belum siap.""Kapan kamu siap?"Julia menarik nafas panjang. Tidak akan pernah siap.Mereka kembali terdiam cukup lama dengan pikiran masing-masing. Baru saja Arjuna akan mengeluarkan suaranya, namun suara seseorang dari luar mendahuluinya.Mereka menoleh bersamaan. Lalu kembali saling bertukar tatap, dengan pikiran penuh tanya. Arjuna seperti bertanya lewat isyarat mata, namun Julia menggeleng tidak tahu.Di luar terdapat tiga orang pria dengan pakaian formal dengan kemeja dan memakai jas. Sepertinya memang tamu yang ingin berkunjung ke rumah Julia. Mereka terlihat sedang celigukan mengintip dan mencari-cari pemilik rumah.Julia melirik was-was, ia menatap Arjuna, lelaki itu mengangguk meyakinkan Julia kalau tidak akan terjadi apa-apa dan dia akan menunggu Julia di belakang. Arjuna mengira mereka orang atau teman papanya Julia. Padahal Julia yakin, Arjuna dapat mengetahui sorot ketakutan dalam Julia saat ini.Arjuna terus meyakinkan Julia u