Dua minggu berlalu dengan cepat. Selama itu pula Arjuna tidak pernah lagi melihat batang hidung Julia di perusahaanya. Gadis itu pergi entah ke mana seperti ditelan bumi. Mungkin saja gadis itu bersembunyi atau trauma setelah kejadian yang menimpanya waktu itu.
Seharusnya gadis itu sudah mendapatkan sanksi, atau lebih buruk ia dipecat secara tidak terhormat. Bolos bekerja tanpa meminta izin, tentu saja melanggar aturan perusahaan.
Tapi Arjuna menyadari dia juga ikut andil dari apa yang menimpa Julia sekarang. Sedikit campur tangannya, ia mudah saja menyelamatkan karir Julia, dan Arjuna bertekat akan menebus kesalahannya.
Arjuna sadar ia telah salah menilai Julia selama ini.
Arjuna menatap arloji di pergelangan tangannya. Pukul delapan malam. Masih ada waktu untuk bertamu. Meski ia tahu bertamu malam-malam di rumah seorang gadis yang tinggal sendiri itu tidak baik. Tapi tekatnya malam ini sudah bulat, ia harus membujuk Julia untuk kembali bekerja dan meminta maaf.
***
Arjuna menatap rumah bergaya minimalis berlantai dua di depannya. Menurut informasi yang baru ia dapatkan, itu adalah rumah Julia.
Pria itu memakirkan mobilnya di depan pagar dan masuk begitu saja setelah mengetahui pagar rumah tidak terkunci. Berbahaya sekali. Untung kompleks daerah sini ada security yang selalu siaga. Tetapi tetap saja Julia harus waspada.
Pria itu memencet bel rumah, dan mengetuk pintu hampir lima kali. Tidak ada tanda-tanda pintu akan terbuka. Sekali lagi Arjuna memencet bel disertai bisikan doa dalam hati, supaya si empunya segera membuka pintu.
Ceklekkk....
Syukurlah...., Arjuna bernafas lega ketika pintu terbuka.
"Kakak siapa?" suara bocah lelaki kira-kira berusia lima atau enam belas tahun dengan wajah polos menyembul di balik pintu.
Arjuna menatap bocah lelaki tersebut sangat lama. Pintu itu masih belum dibuka lebar. Arjuna dengan tak sabaran agak mendorong pintu itu supaya terbuka lebih lebar.
Bocah lelaki itu terkejut, dan Arjuna juga ikut terkejut.
Mereka sama-sama terkejut.
Bocah lelaki itu menatap Arjuna waspada, sedangkan Arjuna terus mengamati bocah di depannya itu dengan banyak pertanyaan.
Bocah itu memakai 'kruk'. Dia hanya berdiri dengan satu kaki. Wajah polosnya terlihat manis, rambutnya berponi miring, kulitnya putih bersih, bola matanya berwarna coklat teduh dengan alis mata yang tajam. Jika dilihat lebih jeli lagi, wajah bocah itu terlihat ramah.
Arjuna bisa memberi kesimpulan kalau bocah di depannya ini adalah...
"Kamu Vino?" tebak Arjuna tidak sabaran.
Bocah itu mengangguk sama penasarannya, "iya, Kakak temannya Kak Julia?" Vino balik bertanya.
Arjuna tersenyum simpul, lalu menggeleng.
"Bukan. Aku ehm... pacarya Kak Julia," jawabnya kemudian sambil melirik seisi ruangan. Julia tidak ada.
"Kak Julia punya pacar baru?!" respon Vino dengan wajah syok.
"Ayo Kak, masuk kalau begitu!" selanjutnya garis wajah bocah itu kembali ramah.
Vino mengajak Arjuna menuju ruang tamu. Bocah itu berjalan cepat tanpa kesusahan sama sekali. Tapi Arjuna terus memerhatikan jalan Vino yang terlihat payah.
"Kak?"
"Eh?" Arjuna menatap Vino kikuk karena ketahuan sedang memperhatikan kaki Vino dengan lancang.
"Vino panggil Kak Julia dulu."
"Iya."
Arjuna mengangguk menatap kepergian Vino yang menghilang di balik tembok. Samar-samar ia mendengar percakapan antara kakak-adik tersebut. Sebenarnya tidak berniat untuk menguping, hanya saja pembicaraan Julia dan Vino memang terdengar keras.
"Kan udah Kakak bilang jangan bawa masuk orang asing."
"Tapi dia bukan orang asing."
"Namanya siapa?"
"Hehe... Vino nggak tahu Kak. Tapi katanya dia pacarnya Kak Julia."
Merasa semakin tidak enak, Arjuna memilih melangkah keluar untuk menghormati privasi pertengkaran antara kedua saudara tersebut. Pria itu juga membutuhkan banyak persiapan untuk menemui Julia, bahkan sekarang ia masih gugup memikirkan sapaan yang pas untuk Julia nanti.
"Siapa, Dewa? Kakak udah putus sama dia."
"Bukan..... Pacar Kakak yang baru. Orangnya keliatan ramah."
"Kakak nggak punya pacar baru, Dek. Siapa tahu kalau dia orang jahat yang lagi nyamar."
"Iya, sih Kak. Wajahnya agak serem gitu. Kadang ramah, kadang juga tiba-tiba serem Kak."
"Mana orangnya?" Julia menatap ruang tamu yang kosong. Begitu juga dengan Vino yang menatap sofa dengan heran. Arjuna sudah hilang.
"Tadi Vino suruh dia duduk di sofa. Mungkin dia di luar gara-gara Kakak marah-marah," ujar Vino dengan senyuman penuh kesabaran.
Julia mengangguk dan berjalan menuju pintu.
"Julia!"
"Kamu.....," tatapan mata Julia berubah garang.
Belum sempat Arjuna berbicara, pintu hampir saja tertutup kalau kaki panjang Arjuna tidak cepat menghalangi pintu. Terasa sakit, ketika kayu itu mengenai kakinya, tapi ia tahan.
"Tunggu Julia.....," Arjuna maju satu langkah untuk masuk. Dia sudah berada di dalam rumah Julia kembali. "Aku mau bicara sebentar saja," katanya lagi setelah melihat ketakutan Julia.
"Aku tidak mau, silahkan anda keluar!" ujar Julia tegas dengan nada penuh hormat untuk atasan.
"Julia...," desah Arjuna, "aku mohon."
Julia menggeleng dan berujar, "Bahkan waktu itu saya memohonpun, anda tidak pernah memberi kesempatan," Julia berkata sedih. "Tolong keluar!" usirnya sekali lagi.
"Tidak!"
Julia menatap atasannya yang arogan tersebut tak percaya.
"Beri aku waktu sepuluh menit."
Julia menggeleng. Tanda 'tidak'.
"Sembilan menit."
Julia menggeleng lagi.
"Delapan menit."
Julia tetap menggeleng. Sampai gadis itu memutuskan untuk memberi waktu lima menit pada Arjuna.
"Kak, kenapa?" tanya Vino. Sedari tadi bocah itu hanya menonton pertengkaran orang dewasa tersebut dengan kebingungan.
"Kamu masuk ke kamar dulu ya!" perintah Julia kepada Vino. Sang adik menatap Julia dengan penuh keraguan, lalu akhirnya ia tetap mengangguk dan melangkah masuk ke kamar.
"Bolehkan aku duduk di sofa?" kembali, Arjuna bertanya.
Julia menatap Arjuna tak suka. Ingin sekali ia mengusir pria itu. Tapi ia tak bisa. Akhirnya Julia hanya mengangguk pasrah.
Kini mereka duduk saling berhadapan. Julia menatap Arjuna dengan waspada. Dan Arjuna benar-benar 'blank' sejak beberapa lalu ia kembali duduk di sofa, ditambah tatapan Julia yang tak bersahabat. Menurutnya berhadapan dengan klien lebih mudah.
"Hmmm...."
Arjuna berusaha mencari kalimat pembuka yang baik.
"Tiga menit!" potong Julia tegas.
"Eh..." Arjuna menatap Julia tak terima. Dia bahkan belum sempat berbicara. Cepat sekali hitungan waktunya yang berkurang.
"Dua... Satu..."
"Hei?"
"Pergi!" Julia sudah berdiri menatap nyalang Arjuna.
Sedangkan Arjuna masih pada tempatnya. Duduk, ngotot tidak mau pergi. Ia menggeleng, wajahnya terlihat jenaka. "Kamu menghitungnya terlalu cepat, yang pelan sedikit," protes Arjuna.
"Keluar!"
"Tap-"
"Keluar!"
"Julia aku-"
"Go out, please!" tunjuk Julia pada pintu keluar.
Arjuna berdiri. Ia berjalan lemas menuju pintu. Lalu langkah kakinya berhenti, ia menoleh menatap Julia.
"Kamu akan dikenakan sanksi karena terlalu banyak bolos kerja," kata Arjuna dengan tatapan serius.
"Besok saya sudah mulai bekerja," jawab Julia enteng tanpa mau menatap Arjuna.
"Sanksi tetaplah sanksi Julia." Arjuna berhenti, memikirkan kalimat selanjutnya untuk mengulur waktu. "Gaji kamu akan di potong lagi," lanjutnya.
"Saya terima."
"Tapi kalau kamu masih seenaknya membolos, kamu bakal kena PHK."
"Saya tidak peduli jika harus di PHK!"
Arjuna tercengang. Respon Julia terlampau cepat dan datar. Gadis itu terlihat tidak peduli jika sampai dia harus dipecat. Jelas itu buka suatu hal yang baik. Julia tidak boleh jauh dari jangkauannya lagi. Tidak akan. Karena Arjuna merasa dia harus memperbaiki segala hal yang sudah rusak.
Arjuna menggeleng cepat. "Eh, tidak-kamu harus kembali bekerja," seru Arjuna ngotot.
"Saya sudah bilang, besok saya masuk," balas Julia sedikit emosi.
"Dan pekerjaan kamu menumpuk, berarti kamu harus lembur."
"Akan segera saya selesaikan pekerjaan saya."
"Dan-"
"Tolong pergi dari sini. Saya mohon, saya ingin istirahat." Julia mendorong tubuh Arjuna melewati pintu.
Arjuna bisa saja balas balik melawan, tapi ia tidak mau menyakiti Julia lagi. Ia sudah janji. Membiarkan Julia mendorongnya adalah hal terbaik untuk saat ini.
"Tunggu..." Arjuna menahan pintu yang hendap ditutup oleh Julia menggunakan tangan kanannya. Di tatapnya mata gadis itu dengan rasa bersalah. "Aku-aku minta maaf Julia. Aku menyesal. Seharusnya aku tidak melakukan itu padamu. Aku benar-benar merasa bersalah. Aku akan tanggung jawab. Tolong jangan membenciku. Aku janji akan menebus semuanya." Ujar Arjuna cepat dengan sekali nafas. Ia menatap Julia was-was. Berharap pintu maaf Julia terbuka untuknya.
Julia hanya diam. Membalas tatapan Arjuna dengan tatapan penuh lukanya. Gadis itu menggeleng pelan lalu menutup pintu. Meninggalkan Arjuna yang berdiri tertegun dengan perasaan campur aduk.
Arjuna menghela nafas panjang. Di usap rambutnya kebelakang.
"Julia, jangan lupa tutup pagarnya dulu," ujar Arjuna berharap pintu terbuka. Tapi pintu itu tak kunjung terbuka. "Aku pergi. Sampai jumpa besok."
Tbc...
Arjuna menatap langit-langit kamar. Matanya memang terpejam, tapi pikirannya melayang entah kemana. Jiwanya masih sepenuhnya terjaga. Kembali teringat empat hari yang lalu di mana Julia mengusirnya dengan tatapan jijik campur benci.Pria itu mengusap wajahnya gusar. Matanya kembali menatap nyalang. Ia bangun dan duduk bersimpuh di atas kasur, merenungi kesalahannya. Dengan keadaan gelisah ia menatap tanggalan di atas meja yang berada tepat di sebelah kasur.Tanggal tiga belas, tercoret dengan lingkaran merah. Arjuna menandai pada tanggalannya. Hari saat dia menodainya. Hari di mana kehormatan adik tirinya sendiri ia renggut.Di tengah keterpurukan rasa bersalah itu, ponselnya berbunyi nyaring.Klik.Arjuna menggeser tombol warna hijau. Mengangkat telpon dengan perasaan jengkel.Siapa malam-malam begini yang berani mengangguku?"Ada apa?""Arjuna, kau tahu....."Arjuna menjauhkan ponselnya. Ia menatap nama kontak di layar ponselnya. Jonatan. Pria yang sekarang masuk kedaftar salah satu
Cuaca sore hari ini sangat cerah. Tetapi tak secerah hati perempuan yang berkali-kali dirundung masalah. Justru dia menganggap semua hari sama saja.Julia memakirkan motornya di bagasi seperti biasa. Dia sudah tidak memiliki mobil karena sudah dijualnya untuk menutupi kebutuhan. Kendaraan satu-satunya yang dia punya sekarang hanyalah motor matic kesayangannya."Lemas sekali," ujarnya lirih seraya membuka jaket dan helm. Ia melihat pada kaca spion, berusaha tersenyum untuk dirinya, namun yang terlihat hanya senyuman keletihan.Hari ini, akhir bulan. Pekerjaan di kantor lumayan melelahkan. Semua tubuhnya terasa lesu. Berbagai masalah yang terus menghampiri semakin membuat mentalnya down. Dia benar-benar merasa seperti zombie yang dipaksa untuk hidup.Julia baru saja berjalan lima langkah menuju pintu yang sudah terbuka. Sampai kehadiran seseorang membuat semua bebannya bagai terangkat, hilang dan lenyap.Dia..."Papa?" Julia memanggil setengah tak percaya. Cepat-cepat ia masuk ke rumah.
Pukul sembilan pagi. Seharusnya Arjuna masih berada di kantor. Berkutat dengan beberapa dokumen penting yang harus segera diteliti dan ditanda tangani. Tetapi akal budinya tak bisa diajak untuk fokus. Otaknya terus meneriakkan sebuah nama, Julia. Tapi tidak untuk pagi ini. Kali ini untuk yang kedua kalinya ia datang berkunjung ke rumah Julia. Arjuna cuma ingin memastikan kalau Julia baik-baik saja. Karena di kantor ia tidak melihat kehadiran Julia, dan Julia juga tidak mengkonfirmasi perihal dia tidak masuk hari ini. Hal itu membuat Arjuna agak was-was. Tidak ada satupun yang tahu kalau Arjuna datang ke sini. Termasuk Ruben. Dia hanya bilang kepada Ruben bahwa ia memiliki urusan sebentar, lalu pergi ke luar. Pintu tidak terkunci saat Arjuna hendak mengecek rumah Julia yang sepi tersebut. Bisa dipastikan si pemilik rumah ada di dalam. Tanpa permisi Arjuna main masuk begitu saja. Dirinya berharap tak akan ada orang yang menuduhnya pencuri jika ketahuan masuk ke rumah orang sembara
Dua mangkuk mie ayam berserta dua gelas es teh tersaji di atas meja. Arjuna mencicipi bagiannya tanpa sungkan. Tadi sebenarnya Arjuna hampir mengajak Julia makan di restoran langganannya, namun Julia menolak mentah-mentah. Malahan Julia memaksanya untuk makan di sini, warung mie ayam milik Pak Budi. Di sini cukup ramai, hanya saja kebanyakan pembeli dari kalangan pelajar yang masih memakai baju putih abu-abu. Sesekali mereka terdengar heboh dengan canda tawa bagi mereka yang datang bergerombolan."Cepat dimakan!" perintah Arjuna. Julia sama sekali belum menyentuh makanannya, padahal tadi dia yang paling ngotot mengajak ke sini.Julia melirik Arjuna, lalu mengangguk. "Iya."Lima menit berlalu.Mie ayam milik Arjuna sudah habis, sedangkan Julia masih menyantapnya dengan malas. Sesekali Julia asyik melamun. Sesekali juga dia mamaksakan untuk fokus, walau tatapannya kadang terlihat kosong. Kesabaran Arjuna benar-benar diuji kali ini."Kenapa? Tidak enak?" tanya Arjuna menaikkan alis kanann
Julia berjalan was-was menuju pintu ketika mendengar seseorang mengetuk pintu dengan brutal. Padahal jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Julia sendiri hampir tidak pernah menerima tamu selarut ini. Biasanya kalaupun memang penting, si penamu akan menghubunginya dulu lewat telepon atau sekedar kirim pesan.Sebelum meraih gagang pintu, Julia berdoa, "semoga bukan penagih hutang." Julia juga menyempatkan diri untuk mengambil balok kayu kecil yang cukup panjang untuk memukul, di sebelah pintu. Kayu itu memang sudah dipersiapkan untuk berjaga-jaga apabila ada sesuatu yang tidak diinginkan, misalnya maling. Itu kata papanya.Julia membuka pintu pelan."Hai.....," kepala seseorang langsung muncul dari balik pintu."Kamu?"Tatapan mata Julia mengekor Arjuna yang main masuk begitu saja. Di tangan kanan-kiri lelaki itu juga tengah menenteng plastik lumayan besar yang berisi makanan hingga membuat plastik itu penuh. Lalu dengan santai Arjuna meletakkannya di atas meja, menatap Julia dan be
Hari Minggu pagi, Arjuna kembali berkunjung ke rumah Julia untuk yang kesekian kalinya. Ia juga menenteng dua plastik yang berisi brownies cokelat, pandan, stoberi, vanila, dan juga buah apel untuk Julia. Arjuna tidak tahu apa makanan kesukaan Julia, jadi dia hanya berharap Julia suka.Arjuna mengetuk pintu rumah Julia, namun ia agak heran melihat sepatu yang seukuran pria dewasa berada di sebelah sepatunya, di mana ia berdiri saat ini. Jelas sekali itu bukan sepatu milik Vino dilihat dari ukurannya saja sudah jelas.Arjuna mengalihkan pandangannya ketika pintu terbuka.Lima detik Arjuna masih terpaku di tempatnya."Kamu siapa?" tanya Arjuna menatap heran lelaki berkulit gelap di depannya yang tidak seharusnya membukakan pintu untuknya. Arjuna menaruh curiga. Pikirannya bertanya-tanya kenapa pintu sampai harus ditutup. Apa yang mereka lakukan di dalam. Mengapa sepi sekali.Arjuna melirik ke sana-sini, atau jangan-jangan Julia diperkosa, pikirnya."Saya Herlambang, mas ini siapa?" tanya
"Kita harus cepat-cepat menikah Julia.""Aku belum siap.""Kapan kamu siap?"Julia menarik nafas panjang. Tidak akan pernah siap.Mereka kembali terdiam cukup lama dengan pikiran masing-masing. Baru saja Arjuna akan mengeluarkan suaranya, namun suara seseorang dari luar mendahuluinya.Mereka menoleh bersamaan. Lalu kembali saling bertukar tatap, dengan pikiran penuh tanya. Arjuna seperti bertanya lewat isyarat mata, namun Julia menggeleng tidak tahu.Di luar terdapat tiga orang pria dengan pakaian formal dengan kemeja dan memakai jas. Sepertinya memang tamu yang ingin berkunjung ke rumah Julia. Mereka terlihat sedang celigukan mengintip dan mencari-cari pemilik rumah.Julia melirik was-was, ia menatap Arjuna, lelaki itu mengangguk meyakinkan Julia kalau tidak akan terjadi apa-apa dan dia akan menunggu Julia di belakang. Arjuna mengira mereka orang atau teman papanya Julia. Padahal Julia yakin, Arjuna dapat mengetahui sorot ketakutan dalam Julia saat ini.Arjuna terus meyakinkan Julia u
Pukul 06:00"Kak, lihat buku teks biologiku nggak?" tanya Vino. Wajah Vino menyembul dari balik pintu kamar yang terbuka. Dia sedari tadi sibuk mencari buku pelajarannya yang entah di mana dengan muka panik."Biar Kakak bantu cari," Julia berjalan masuk ke kamar Vino. Ikut mencari dengan membuka beberapa kardus yang berisi barang - barang milik adiknya itu. "Memangnya mata pelajaran hari ini biologi ya?" tanya Julia yang masih sibuk mencari. Acara pindahan yang terlalu mendadak membuat Julia tak sempat untuk menata barang - barangnya dengan baik."Iya, dan guru sudah pesan supaya hari ini membawa buku teks itu," ujar Vino sembari tersenyum. Vino berusaha bersikap santai supaya kakaknya membantu tanpa harus ikutan panik. Vino sendiri juga sangat kasihan dengan kakaknya yang hampir belum istirahat sama sekali karena sibuk mengurus barang - barang yang akan dibawa.Hari ini adalah hari pertamanya Julia menempati rumah kontrakan barunya. Kemarin dia dibantu Arjuna dan beberapa orang suruha