“Sendika, Tuanku!” sahut Lokawigna yang segera muncul dengan tampilan paling tampan. Makhluk itu tampak terkejut dengan keadaan di sekitarnya. Apa lagi setelah melihat Arya hanya memiliki satu tangan saja.“Lokawigna.”“Tuanku, apa yang terjadi dengan lengan Tuan?” tanya Lokawigna khawatir. Apa lagi terdapat banyak berkas darah di tubuh Arya.“Lupakan tentang aku. Aku butuh bantuanmu!” tandas Arya.“Sampaikan titahmu, Tuan,” ucap Lokawigna begitu patuh.“Kau lihat perempuan di atas kuda itu?” tanya Arya sambil menunjuk Rara Anjani.“Maksud Tuan, Gusti Rara Anjani?” tanya Lokawigna. Arya mengangguk cepat.“Pindahkan dia ke sini!” titah Arya.“Sendika, Tuan!”Lokawigna berkedip dan Rara Anjani beserta kudanya sudah berpindah tempat di belakang Arya. Perempuan itu tampak terkejut. Namun setelah melihat suaminya, ia paham bahwa lelaki itu lah yang telah memindahkannya, entah bagaimana caranya.“Apa ada lagi tugas untuk hamba, Tuan?” tanya Lokawigna. Selama ini Arya hanya meminta satu kali
“Aruna! Apa yang kau lakukan?” hardik Kertajaya setelah mendapati cucu kesayangannya, Rara Sati mendapatkan sebuah luka di wajah sebelah kiri. Sudah tak ia gunakan lagi gelar pangeran yang selalu disematkan di depan nama pemuda itu. Pemuda 16 tahun tak bergeming dari tempatnya berdiri. Putra Arya dan Jenar yang menyandang status Putra Mahkota Astagina itu tampak mengepalkan kedua tinjunya. Kulit di sekujur tubuhnya memerah. Matanya menyalang ke arah ayundanya yang bersembunyi di balik tubuh kakeknya. Tepat setelah sekali berkedip, Aruna melesat menyerang dengan kecepatan tinggi. “Aruna!” pekik pria renta itu sembari mendorong tubuh Rara Sati menjauh. Sedang dirinya tak mampu lagi menghindari serangan cepat Aruna. “Kakek!” Mulut Rara Sati menganga, manik matanya melebar maksimal. Dalam jatuhnya ia dapat melihat dengan jelas adik tirinya itu menusuk dada kiri kakeknya menggunakan tangan kanan yang sudah diselimuti api. Kertajaya tak sempat lagi mengaduh. Ia hanya terbelalak setelah m
Perlahan tapi pasti api yang menyelubungi tubuh Aruna merambat ke bilah pedang milik Rara Sati. Tangkai pedang sudah menghangat, sebentar lagi akan terbakar. Putri Astakencana itu segera melepaskan pedangnya dan mundur beberapa langkah guna meningkatkan kewaspadaan. Kertajaya dalam jarak sepuluh tombak saja dapat diserang dengan sekali kedipan mata. Apa lagi dengan jaraknya kini.“Aruna, apa kau tak puas sudah membunuh kakek? Apa aku juga harus mati? Hah?” seru Rara Sati sembari mengedarkan pandangan mencari pertolongan dari para prajurit. Gabungan prajurit Astagina dan Astakencana segera bergerak melindungi gadis itu.Aruna mendengus, jilatan api keluar dari lubang hidungnya. Pemuda itu menengadah dan berteriak. Api menyembut dalam jumlah besar dan bertahan beberapa masa. Ia tak ubahnya seperti seekor naga dalam wujud manusia api. Tak ada kata yang keluar dari bibirnya. Aruna hanya terus mendengus seolah tengah berusaha meredam amarah.“Hei, kau, Prajurit Astagina, apa Pangeranmu per
Entah putranya itu mengerti atau tidak, Arya segera melesat menghantamkan tinjunya ke dada Aruna yang belum sempat bereaksi apa pun. Tubuh berselubung api itu terpental jauh hingga butuh beberapa pohon besar untuk membuatnya berhenti. Semua orang yang melihat peristiwa itu segera melarikan diri. Kecuali Sanggageni yang baru saja tiba dan Jenar. Keduanya mendekat namun dengan terus menjaga jarak.Meski lebih dewasa, dengan api di tubuh, mau tak mau Arya pun tersulut emosi. Apa lagi melihat putranya yang justru semakin marah diperlakukan sedemikian rupa. Tak butuh waktu lama untuk ayah dan anak itu saling bertarung, menghantamkan energi yang begitu besar hingga membuat separuh desa terbakar.“Arya! Kau harus membuatnya menjauh dari desa! Atau Girijajar akan hancur!” seru Sanggageni kepada putranya di tengah pertarungan.Sanggageni amat memahami, bahwa Aruna bukan lah lagi cucunya bila tengah berada dalam wujud seperti ini. Pun sama dengan saat dirinya dulu, bedanya Aruna lebih kuat dan
Sanggageni segera menghampiri cucunya dengan satu lompatan. Pria setengah baya dengan satu tangan itu menatap tak percaya tubuh Aruna yang terluka yang segera pulih dengan cepat. Ia teringat Ajian Dasa Daraka yang sempat ia kuasai. Itu pun memerlukan waktu sedikit lebih lama.“Aruna! Kau baik-baik saja?” tanya Sanggageni di tengah seringai pemuda itu.“Apa yang terjadi padaku, Kek? Ada apa dengan tubuhku? Ayahanda selalu memintaku untuk menguasai kekuatan api. Tapi aku menjadi aneh dan kadang menakutkan!” seru Aruna kepada kakeknya.“Ini takdirmu, Aruna. Kau mewarisi darah Ayahandamu, dan Ayahandamu mewarisi darahku, kau tak bisa menolaknya,” terang Sanggageni berusaha menenangkan cucunya.“Dan aku tak meminta untuk dilahirkan sebagai putra Ayahanda dan juga cucu Kakek!” pungkas Aruna berapi-api.Sanggageni terdiam, ia mencoba mengerti apa yang dirasakan cucunya itu. Lahir sebagai seorang pangeran sebuah kerajaan sebesar Astagina, tentu membuat Aruna merasa tak memerlukan kekuatan sep
Arya mengurungkan pukulannya. Ia menoleh ke kiri, ke arah seorang perempuan yang mulai menari. Kilatan-kilatan emas mengitari tubuh istrinya itu. Sebelum sebuah hentakan kaki kirinya di bumi dan ayunan lengan rampingnya melesatkan tusuk konde emas ke arah suaminya.“Apa-apaan kau, Jenar!” seru Arya sembari melepaskan cengkramannya di leher Aruna. Tubuh Putra Mahkota Astagina itu luruh ke tanah bersamaan dengan Arya yang menghadang laju Tusukan Kematian itu dengan gelombang api dari kedua telapak tangannya.Arya paham, Suji Pati begitu mematikan. Ia sampai harus mengeluarkan pasokan energi yang besar untuk membuat perisai dari api yang menyelubungi tubuhnya, terutama kepala. Ujung runcing berwarna emas itu terus saja menghunjam mencari celah untuk menembus selubung api milik Arya.Sejauh ini Arya hanya bertahan. Sembari ia mencari cara untuk menghentikan amarah istrinya. Memberi pengertian dalam jarak lebih dari dua puluh tombak amat tak mungkin. Sedang Jenar terus saja menghujaninya d
Arya terpaku menyaksikan ayahandanya tewas. Ia marah, semua usahanya untuk menghentikan dan menangkal Suji Pati justru berbuah pada kematian Sanggageni. Batas kesabarannya yang memang sudah begitu tipis, kini benar-benar hilang. Lelaki itu menoleh ke arah Jenar yang berdiri di atas dahan pohon sembari memasangkan anak panah logam pada busur Agnitama.“Demi ayahandaku, aku akan membunuhmu!” seru Arya seketika menarik tali busur hingga ke batas maksimal.Mata panah menyala jingga dan mengeluarkan denging menusuk telinga. Kaitan ibu jari tangan kanan Arya pada tali busur sudah terlepas. Getaran akibat lesatan anak panah membentur lengan kiri bagian dalam. Terasa lebih sakit dari biasanya.Jenar segera melompat demi menghindari Cundhamani. Perempuan itu segera bergerak agar api Cundhamani tak mengenai tubuhnya. Batang pohon tempatnya tadi berpijak segera tumbang dan terbakar. Raja Astagina itu segera mengembalikan kuda-kudanya setelah denging itu terdengar kembali.“Gawat! Arya benar-bena
“Braja!” Ki Bayanaka sibuk mengibaskan toya dari kayu sarayu ke api-api Cundhamani itu. Dari jarak dua puluh tombak dan kondisi tanah yang meninggi, ia dapat menyaksikan Sanggageni terkulai tak berdaya di hadapan cucunya setelah kepalanya tertembus tusuk konde emas.Firasat pria tua itu benar-benar tajam. Sebelumnya ia tak pernah mengikuti keluarga istana berkunjung ke Girijajar. Kali ini ia menyusul karena merasa tak nyaman dengan perasaannya. Separuh desa sudah hancur terbakar, dan kini lereng Payoda tengah berkobar. Rupanya cerita Mahaguru Rakajiwa terbukti sekarang.“Ksatria Cundhamani dan pengguna Suji Pati tak akan bisa bersanding untuk waktu yang lama. Braja, sudah aku katakan dulu. Tapi kau tak percaya bahkan dengan hal yang kau alami sendiri!” rutuk Ki Bayanaka dalam hati.Dari tempatnya berdiri ia dapar menyaksikan Aruna, Putra Mahkota Astagina menggoncang-goncangkan tubuh kakeknya dengan mata basah. Sebelumnya Ki Bayanaka sudah menyaksikan Rara Anjani menangisi jasad ayahan