"Usiamu berapa?"
"Dua puluh tiga tahun, Pak"
Seorang lelaki berwajah tampan dengan mata sipit membolak-balikkan kertas di dalam map berwarna merah. Sesekali ekor matanya melirik pada perempuan yang sejak tadi membuat senyum selalu terbit di bibirnya.
"Dua puluh tiga tahun?" Seakan tak percaya dengan penampilan perempuan di hadapannya karena terlihat masih sangat muda. Bahkan seperti perempuan yang baru lulus SMA.
"Benar, Pak." Perempuan itu menyahut cepat.
"Status single parents?" Lelaki bermata sipit itu menatap dengan intens pada perempuan yang berada di hadapannya.
"Iya, Pak." Kirani, perempuan yang diwawancarai tertunduk tanpa berani mengangkat wajah.
Lelaki bertubuh atletis yang memiliki nama Elvano Theo Mahendra bangkit dari tempat duduknya. Ia mengitari Kirani yang masih tertunduk sambil memasukkan kedua telapak tangannya ke dalam saku celana.
"Berapa usia anakmu?"
"Lima tahun, Pak."
"Lima tahun? Anak seusia itu sedang membutuhkan kasih sayang dari ibunya. Bagaimana kamu bisa bekerja sepenuh waktu menjadi asisten pribadi saya, jika kamu sibuk mengurusi anakmu?" Theo duduk di atas meja sambil menatap Kirani yang tertunduk.
Batinnya tak bisa memungkiri kalau Kirani memiliki wajah yang cantik. Mulai dari bulu matanya yang lentik, bibirnya yang sensual, dan tubuhnya yang sintal. Padahal Kirani seorang perempuan yang sudah memiliki seorang anak.
Sementara itu, Kirani tergagap menjawab pertanyaan Theo. "Anak saya titipkan kepada ibu. Kami sudah sepakat untuk mencari pekerjaan demi pengobatan Kevin."
"Kevin?"
"Kevin nama anak saya, Pak."
Theo berdehem sejenak, lalu kembali duduk di kursi kebesarannya. Lelaki itu meletakkan kedua sikunya di atas meja dan sedikit mencondongkan tubuhnya, agar bisa menatap wajah Kirani dengan seksama. "Cantik dan ...." guman Theo. Matanya terus tertuju pada bibir Kirani.
Sementara itu, Kirani masih tertunduk. Ia tak berani bertatapan dengan lelaki berwajah tampan yang terlihat tegas itu. Jantungnya memompa dengan cepat. Cemas. Takut ditolak dari pekerjaan itu.
"Lalu apa kemampuan yang bisa kamu tonjolkan sehingga saya bisa mempertimbangkan kamu untuk bekerja di sini?" Theo kembali berdiri, kali ini lelaki bermata sipit itu memangkas jarak dengan sempurna. Hangat napasnya mendera telinga Kirani karena ia berbicara setengah berbisik di telinga perempuan itu.
"Saya ... Saya pandai berbahasa Inggris dan berbahasa Prancis, Pak," sahut Kirani masih dengan nada tergagap.
"Hmm, bagus juga." Theo memutari Kirani dan memindai perempuan itu dengan seksama. "Tapi sejauh ini saya tidak punya klien orang Perancis. Jadi saya rasa saya tidak butuh penerjemah bahasa Prancis."
"Saya bisa menerjemahkan bahasa Inggris pada Bapak."
"Oh. Jadi kamu pikir saya tidak pandai berbahasa Inggris? Kamu tidak melihat profil saya terlebih dahulu sebelum melamar kerja ke sini?" Kali ini Theo lebih memangkas jarak, dan semakin mencondongkan tubuhnya, sehingga jarak dirinya dan Kirani hanya beberapa senti saja. Lebih tepatnya kini bibirnya menempel di telinga Kirani.
Hal itu membuat Kirani reflek mundur beberapa langkah, tapi Theo malah semakin mendekat dengan senyum menggoda. "Ti—tidak, Pak." Kirani merasa tersudut karena posisinya yang menempel di tembok ruangan.
"Bagaimana saya bisa menerima kamu bekerja di sini, jika kamu sendiri tidak tahu bagaimana karakter pemilik perusahaan dan bagaimana perusahaan yang akan kamu tempati bekerja." Theo mengungkung Kirani di tembok dengan menempelkan tangannya. "Tatap saya, Nona Kirani," seru Theo dengan nada tinggi.
Kirani akhirnya memberanikan untuk mengangkat wajahnya. Dia tertegun kala wajah tampan Theo berada tepat di depan wajahnya. "Saya akan mempelajari karakter Bapak dan perusahaan ini jika saya diterima bekerja di sini."
Theo tergelak, lalu melepaskan kungkungannya pada Kirani. "Kayaknya saya tidak bisa menerimamu, Nona ...."
"Kirani, Pak."
"Maaf Nona Kirani. Kami hanya menerima seorang karyawan yang masih single untuk menjadi asisten pribadi saya."
Kirani tercekat. Ia kembali menatap Theo seakan mencari jawaban yang tak sama dengan manik mata itu.
"Menjadi asisten pribadi saya, berarti menaati semua aturan saya. Termasuk memberikan sepenuh waktunya untuk saya. Jadi maaf, saya tidak bisa bekerja dengan orang yang pikirannya akan terbagi dengan anak kecil." Theo merapikan jasnya dan kembali duduk di kursi kebesarannya.
"Tapi, Pak."
"Saya tidak suka DIBANTAH!"
Kirani terkejut mendengar bentakan Theo. "Baik, Pak. Kalau begitu saya pamit dulu." Kirani meremas ujung bajunya. Kali ini dia kembali ditolak bekerja di perusahaan karena alasan statusnya.
Kekecewaan menjalar di dalam darahnya. Padahal dia sangat yakin diterima di perusahaan itu, mengingat IPK dia yang terbilang tinggi. Namun ternyata, kehadiran Kevin membuat dia ditolak di perusahaan mana saja.
"Kamu ...!" Theo memanggil Kirani yang hendak melangkah keluar.
"Bapak memanggil saya?" Kirani berbalik badan dengan harapan Theo berubah pikiran.
"Siapa namamu tadi?"
"Kirani, Pak."
"Kirani apa?"
"Kirani saja."
"Kirani saja. Apa kamu ...."
"Maaf, Pak. Maksud saya, nama saya Kirani saja tanpa embel apa-apa."
"Iya benar. Saya juga memanggilmu dengan sebutan Kirani saja kan?"
"Maksud saya ...."
"Cukup. Apa kamu tertarik untuk menjadi office girl di kantor ini?" Theo memainkan pulpen dengan jari jarinya.
"Jika kamu tertarik untuk menjadi office girl di kantor ini, maka saya akan mengizinkanmu bekerja di sini. Syarat menjadi asisten pribadi saya adalah seorang perempuan yang tidak memiliki beban hidup. Karena asisten pribadi saya akan bekerja mulai dari saya membuka mata sampai saya memejamkan mata." Theo menatap Kirani dengan seksama. "Dan saya keberatan menerimamu sebagai asisten pribadi."
"Jadi, Bapak meminta saya menjadi office girl?"
"Kamu bersedia?"
Kirani berpikir sejenak. Sebenarnya sangat tidak pantas bagi dia yang seorang sarjana lulusan bahasa Inggris, melamar kerja menjadi office girl di sebuah perusahaan besar. Terlebih dia melamar menjadi asisten pribadi.
Namun dikarenakan kebutuhan hidup yang begitu mendesak, Kirani pun akhirnya mengangguk pasrah.
"Oke. Temui HRD dan bawa CV kamu ke sana."
***
Bugh
"Maaf, Om. Saya tidak sengaja." Seorang anak laki-laki menghampiri lelaki yang tengah menepuk-nepuk jas yang dikenakannya.
Theo menatap bocah kecil berumur lima tahun yang mengambil bola yang tadi dilemparkannya dan mengenai jas Theo. "Rafael," desisnya perlahan.
"Baju Om sangat kotor. Aku bisa meminta ibuku untuk mencucikannya." Bocah kecil itu mengusap jas Theo yang masih menyisakan kotoran bola kasti yang terkena lumpur.
"Nggak perlu. Kamu hanya harus memberikan alasan mengapa melemparkan bola itu padaku?" Theo berjongkok di hadapan bocah kecil itu dan mengusap rambut ikalnya dengan lembut.
Matanya menghangat. Ia teringat pada malaikat kecil yang tiga tahun lalu telah pergi meninggalkannya untuk selamanya. Putra semata wayang yang akhirnya pasrah melawan kanker yang dideritanya.
Bocah kecil itu memainkan bola kasti tanpa berani menatap Theo. "Aku minta dibelikan mainan sama ibu. Tapi ibu tidak mau membelikannya. Ibu bilang dia tidak punya uang."
"Mungkin ibumu memang tidak punya uang."
"Tapi aku mau beli mainan itu. Semua teman-temanku memainkan robot setelah pulang sekolah. Sedangkan aku ...." Bocah kecil itu hanya tertunduk dengan deraian air mata. Ia baru saja bertengkar dengan temannya karena tidak dipinjamkan mainan oleh temannya itu.
"Mainan seperti apa yang kamu mau?" Theo mengangkat dagu bocah kecil itu dan membingkai wajahnya dengan kedua telapak tangan.
"Emangnya kenapa, Om?"
"Aku bisa membelikannya untukmu."
"Serius?"
"Iya."
"Waahhh. Terima kasih, Om."
Theo menggandeng tangan bocah kecil berambut ikal itu menuju sebuah toko mainan. Ia membelikan beberapa buah robot beserta mobil remot, membuat bocah kecil itu melompat-lompat kegirangan.
"Rafael pasti juga senang kalau aku ajak ke sini." Theo bergumam sambil menggandeng tangan bocah kecil itu.
"Bagaimana kalau kita makan es krim?" ujar Theo.
"Beneran, Om?"
"Memangnya wajahku ada wajah pembohong?"
Bocah kecil itu menggeleng. Lalu menarik tangan Theo menuju kedai es krim yang terletak tak jauh dari toko mainan.
Mereka menikmati es krim rasa coklat itu dengan sukacita. Terlebih bocah kecil yang saat ini mulutnya sudah belepotan dengan coklat es krim.
"Namamu siapa? Kita belum berkenalan, kan?" Theo mengulurkan tangannya pada bocah kecil itu.
"Kevin, Om. Nama Om siapa?"
Theo termenung sejenak. Ia seperti pernah mendengar nama Kevin beberapa jam yang lalu. Namun ia tidak ingat di mana mendengar nama tersebut.
"Om? Nama Om siapa?"
"Evan. Kamu bisa panggil Om dengan sebutan Om Evan."
"Nama yang keren."
"Masa sih?"
"Iya."
Mereka tergelak sambil menikmati sisa es krim yang mereka beli. Theo membersihkan mulut Kevin dengan lembut, sebelum mengantarkan bocah kecil itu pulang ke rumah.
"Ibuku sudah pulang. Dia pasti marah karena aku terlambat pulang ke rumah." Kevin berlari dengan begitu cepat ketika melihat di halaman rumahnya terparkir sebuah sepeda motor Scoopy berwarna merah.
Theo menatap punggung Kevin yang perlahan menghilang di balik pintu. Selanjutnya dia mendengar omelan demi omelan dari seorang perempuan dan seorang anak kecil yang sepertinya tengah berdebat.
"Rafael Sayang, seandainya kamu masih hidup. Kamu pasti saat ini sudah sebesar Kevin." Theo berusaha sekuat tenaga menahan air matanya agar tidak jatuh. Ia tak boleh lemah dan bersedih karena itu adalah permintaan terakhir Rafael.
Lelaki itu meminta diantarkan oleh sopirnya menuju sebuah sungai yang membentang luas di kota Jambi.
Sungai yang begitu tenang yang di pinggirnya dipenuhi wisata kuliner. Ia teringat pada Rafael kecil yang dulu masih berumur dua tahun yang begitu teramat sangat dicintainya. Ia sering mengajak bocah itu berkeliling di sekitaran sungai Batang Hari sekedar menikmati jagung bakar atau sate Madura.
"Heru, cari tahu informasi tentang anak kecil tadi," perintah Theo pada anak buahnya.
"Theo, hari ini kita akan meeting dengan salah satu klien dari Perancis. Aku harap kamu mempersiapkan presentasi dengan sebaiknya." Wira masuk ke ruangan Theo yang sedang menandatangani beberapa berkas. "Klien dari Perancis? Kok kamu baru ngomong sekarang?!" Theo mengernyitkan kening mendengar ucapan sahabatnya. "Baru saja Sekretaris klien itu menghubungiku. Makanya aku baru saja memberitahukan padamu." Wira menyahut cepat karena tidak ingin disalahkan oleh Theo. Theo meletakkan pulpen dari tangannya, lalu menatap intens sahabat yang sudah membantunya mengelola perusahaan selama tiga tahun terakhir. "Aku kurang mahir dalam berbahasa Perancis. Bagaimana ini?" "Biasanya sekretaris yang bertugas menerjemahkan bahasa Perancis ke bahasa Indonesia. Atau setidaknya berbahasa Inggrislah." Wira duduk di meja Theo meminta jawaban atas interview para pelamar yang digelar selama tiga bulan terakhir. "Kamu sudah mendapatkan asisten pribadi itu, kan?" tanya Wira. "Hhhh. Aku belum mendapatkan
"Kenapa? Kamu keberatan? Suka-suka saya dong," sahut Theo santai. "Tapi, Pak. Saya tidak pernah berbuat ulah di kantor. Pekerjaan saya juga bagus. Atasan saya saja bilang saya bersih benget membersihkan toilet," sahut Kirani membela diri. "Karena kamu suka melamun!" Kirani terdiam. Ia mengutuk dirinya sendiri yang sempat terpesona pada ketampanan Theo yang membuat dia melamun dan tidak mendengar pertanyaan Theo. Alhasil ia dipecat dari pekerjaan yang sangat ia butuhkan. "Maaf, Pak. Tapi saya mohon beri saya kesempatan sekali lagi. Saya butuh uang untuk biaya pengobatan anak saya, Pak." Kirani memohon pada Theo dengan menangkupkan kedua tangan di dada. Theo menatap Kirani lekat-lekat. Ia merasa kasihan melihat perempuan yang saat ini berada di hadapannya. Perempuan muda yang harus menjadi janda dan mengurus anak seorang diri. "Justru saya memanggilmu ke sini untuk membicarakan pekerjaanmu selanjutnya," sahut Theo. "Maksud Bapak apa?" "Saya memang memecatmu sebagai office girl, t
"Tapi ... Saya tidak terlambat. Bukankah ciuman hanya berlaku untuk hukuman terlambat?" Kirani sedikit menggeser posisinya sehingga tubuhnya menempel pada pintu mobil. "Terus kamu kira aku memberi hukuman asal-asalan?" Theo semakin mendekat. "Tapi saya benar-benar tidak terlambat, kok!" "Oh ya? Apa perlu saya tanya pada sopir, berapa lama saya menunggu jawabanmu atas pertanyaan saya?" Kirani terkesiap. Ia menyadari bahwa keterlambatan yang dimaksud oleh Theo adalah segala macam keterlambatan. Termasuk menjawab pertanyaan. "Oke, saya tahu jawabannya!" Theo tiba-tiba sudah berpindah ke samping Kirani ketika perempuan itu masih mempertimbangkan hukumannya. Cup Satu kecupan mendarat di bibir Kirani membuat perempuan itu terbelalak. "Itu hukuman karena kamu terlambat menjawab pertanyaan saya!" Kirani yang masih menikmati ciuman dari Theo hanya tertunduk. Ia tidak menyangka jika lelaki itu malah mencuri ciuman di bibirnya. "Setiap kamu terlambat melakukan perintah saya, menjawab pe
Theo melepaskan cekalan tangannya pada Kirani. Lelaki itu menatap lekat-lekat manik mata Kirani yang mulai berair. "Dengar, Kirani. Kamu bekerja dengan saya. Kamu sudah menandatangani kontrak. Dan kamu pasti tahu dendanya." "Saya tidak tahu kalau ternyata saya juga harus melayani anda seperti ini!" teriak Kirani. Theo berdecih. Ia kembali menahan telapak tangan Kirani dan menindih tubuh perempuan itu. Emosinya meledak melihat Kirani yang mulai melawan. "Melayani saya yang bagaimana maksudnya?" "Memasangkan baju, mencium pipi, menyuapi." "Bukankah itu memang tugas asisten pribadi?" "Tapi tidak tertulis di dalam kontrak!" Dada Kirani naik turun menahan amarah. Ia benar-benar menyesal telah bekerja menjadi asisten pribadi Theo. Ia tak menyangka akan terjebak dalam sebuah pekerjaan yang menyulitkannya. "Saya sudah menjelaskan sejak awal bahwa kamu bekerja untuk mengurusi semua kebutuhan saya sejak membuka mata sampai menutup mata. Jadi kamu pasti tahu apa saja yang dibutuhkan oleh
"Kirani, ternyata Kevin ini anaknya? Pantas aku merasa tidak asing lagi dengan nama ini." Theo bergumam seorang diri seraya memasukkan ponselnya ke dalam saku jas yang dikenakannya.Theo tak menyangka jika ternyata Kirani mati-matian bekerja di perusahaan dan tidak membantah dengan hukuman yang ia berikan, dikarenakan tengah membiayai pengobatan Kevin yang saat ini menderita penyakit yang Theo sendiri belum tahu penyakit apa."Daddy kenapa melamun?" Kevin membingkai wajah Theo dan menatap leka-lekat manik mata lelaki itu.Theo tersenyum sambil mengusap pucuk kepala Kevin. Ia kembali teringat pada Rafael yang tak bisa diselamatkan. Bukan karena biaya yang membuat Rafael tidak bisa diselamatkan, tapi karena Rafael terlalu lemah dan akhirnya menyerah pada penyakit tersebut."Ke depannya Ibumu tidak akan pernah memarahimu lagi." Theo memberi keyakinan kepada Kevin, seakan-akan dia tahu bagaimana karakter Kirani.Kevin mengernyitkan keningnya ketika mendengar ucapan Theo. Ia menganggap lel
"Nona Kirani menderita maag kronis. Dia terlambat makan sehingga pingsan," ujar Dokter yang menangani Kirani. Kacamata Dokter itu ia naikkan saat berbicara dengan Theo.Theo berdecak kesal karena ia tidak tahu jika ternyata Kirani memiliki riwayat penyakit maag kronis. Dia juga lupa menanyakan kepada perempuan itu apakah tadi pagi sudah sarapan atau belum."Sebaiknya Nona Kirani dirawat dulu di sini selama dua hari," tambah Dokter lagi.Theo mengangguk dan meminta perawat untuk memindahkan Kirani ke ruang rawat inap VVIP. Ia tidak ingin dianggap sebagai Bos yang kejam karena meletakkan asisten pribadinya di ruangan kelas biasa.Lelaki itu mengikuti perawat yang membawa brangkar Kirani menuju ruang rawat inap yang sudah ia pesan. Lelaki itu menatap cemas pada Kirani yang masih pingsan dan belum sadarkan diri ."Maafin aku, Kirani. Aku benar-benar bersalah karena sudah memberi hukuman yang salah padamu." Theo menggenggam erat tangan Kirani dan mencium punggung tangan perempuan itu denga
"Cukup, Kirani!" Theo menahan pergerakan tangan Kirani yang hendak mencabut selang infus dari punggung tangannya."Lepaskan aku! Aku capek kamu salahkan terus. Pokoknya aku mau resign!" Kirani berusaha melepaskan tubuhnya dari pelukan Theo.Theo memang memeluk Kirani dari belakang dan berusaha sekuat tenaga agar perempuan itu tidak menarik selang infusnya. Tarik menarik antara keduanya terjadi, sehingga tiba-tiba selang infus Kirani mengeluarkan darah."Kirani! Apa yang kamu lakukan!" Theo langsung mengambil sesuatu dari saku celananya dan menutup mulut Kirani dengan sebuah sapu tangan. "Maaf, aku terpaksa melakukan ini!"Seketika Kirani langsung pingsan tak sadarkan diri. Theo yang melihat Kirani yang pingsan langsung menekan tombol darurat untuk memanggil perawat yang berjaga di rumah sakit. Ia meminta perawat jaga untuk segera memperbaiki infus yang menancap di punggung tangan Kirani."Apa yang terjadi, Pak? Kenapa infusnya bisa bergeser dan berdarah seperti ini?" Perawat dengan h
"Aku akan membayar gajimu dua kali lipat jika kamu tidak memberitahukan kepada Kevin bahwa kamu sedang sakit." Theo berbisik di telinga Kirani.Kirani ternganga mendengar ucapan Theo. "Jadi gaji pertama saya seratus juta?" Ucap Kirani terbata-bata."Iya. Kenapa?"Kirani menelan ludah. Uang seratus juta bukanlah jumlah uang yang sedikit. Dengan uang itu ia bisa melakukan kemoterapi pada Kevin. "Mungkin ini adalah kesempatanku untuk menuruti permintaan dokter agar Kevin segera di kemoterapi." Kirani bergumam seorang diri.Namun rasa rindunya pada Kevin tidak bisa ia bendung, sehingga ia ragu dan kembali menimbang-nimbang keputusannya itu."Tapi aku rindu dengan Kevin. Aku sudah terbiasa untuk melihatnya sebelum tidur," ujar Kirani.Theo membuang napas kasar. Ia paham bahwa Kirani pasti sudah terbiasa membelai wajah Kevin atau mencium pipi Kevin sebelum tidur. Sama halnya seperti dulu dia yang selalu ingin melihat wajah Rafael ketika bocah kecil itu hendak memejamkan mata."Oke. Kamu bi