[Flashback]
"Van, sudah punya pasangan?" tanya laki-laki dewasa yang sering Vano panggil Papa. Ia sedang duduk di ruang tengah sembari menonton acara televisi saat Vano lewat akan menuju kamarnya.
"Kok tiba-tiba?" tanya Vano mengernyit bingung sendiri. Dia nggak jadi menuju kamarnya dan mengambil duduk di samping Papanya.
"Tiba-tiba gimana? Emang umur kamu berapa coba?"
"Masih dua puluh enam, Pah."
"Masih?" Pak Iskandar menoleh dramatis. "Dua puluh enam itu sudah tua, Van."
"Tua apanya?" Vano nggak terima. Jelas saja, baginya usianya sekarang masih tergolong muda bukan tua seperti yang dikatakan sang papa.
"Ya tua, apalagi kamu belum pernah punya pasangan kan?"
"Kata siapa?"
"Loh, emang ada?"
"Enggak sih," balas Vano membuat sang papa mendengus.
"Di usia kamu Van, harusnya sudah menggandeng perempuan, ya minimal kenalkan lah dulu sama mama dan papa," timpal sosok wanita anggun yang tiba-
“Gimana? Selesai, Pak?” tanya Mita setelah mendapati seorang laki-laki masuk ke dalam mobil Mercedes-Benz GLB-Class. Raut wajahnya datar seperti biasa, sehingga membuat Mita kesulitan menebak apakah semua baik-baik saja atau malah kebalikannya. “Hemm.” Hem kali ini, iya. Tetapi gadis bermata sipit itu belum puas atas jawaban bosnya. Ada perasaan was-was karena dirinya masih menebak-nebak tentang apa yang telah terjadi. “Semua baik-baik kan, Pak?” “Hem,” guman Vano sekali lagi. Kemudian laki-laki itu menyuruh Mang Joko untuk pergi dari parkiran restoran yang menjadi pertemuannya dengan Bunga. Ia masih acuh dengan asistennya, membuat Mita mendengus karena mendapat jawaban hem lagi. Walaupun hem yang ini juga bermaksud iya. “Bunga gimana?” “Apanya yang gimana?” Mita kian berdecak. Semakin nggak jelas saja obrolan dengan bosnya. Lagipula mengapa bosnya sangat menyebalkan di saat yang nggak memungkinkan. Mita bertanya dengan baik-ba
Hari sudah sore dan mulai akan datang malam, namun jalanan ibu kota nggak ada tanda-tanda sepi dari kendaraan. Kemacetan sudah mereda beberapa saat yang lalu. Jalanan yang sudah normal pun mulai dijadikan patokan syukur untuk pengendara yang akan pulang ke rumah masing-masing. Setelah bekerja, setelah berkutat dengan tugas pekerjaan serta harus menghadapi kemacetan disaat tubuh hanya memiliki sisa-sisa energi itu rasanya nggak mudah. Emosi sering tersulut hanya karena hal-hal sepele, sehingga saat mendapati jalanan yang mulai sedikit longgar, sudah cukup untuk dijadikan rasa syukur di hari yang melelahkan. Motor scoopy fi sporty yang di tumpangi oleh Mita dengan helm nya yang bergambar minions itu mulai masuk ke sebuah gang rumahnya. Lampu-lampu di setiap rumah sudah menyala menerangi kedatangan malam. Dia menekan klakson serta membuat gestur anggukan kepada seorang satpam yang melambai padanya. Lelah, ingin cepat-cepat istirahat. Dalam bayangan gadis
Angin malam berhembus menerpa wajah baby face milik Mita. Bibirnya menampilkan senyum sembari melambaikan tangan ke arah laki-laki yang kini sudah menunggangi motornya. Malam mulai larut, tiba waktunya untuk Mita beristirahat di atas kasur. "Kapan-kapan main balik ya?" ucap Gilang setelah mengancingkan helm nya. "Kalau di undang," balas gadis itu yang tetap menghantarkan Galang menuju luar halaman rumahnya. "Jelas di undang dong, cuman butuh jadwal kosong mu aja." "Aku belum ada jadwal kosong," timpal Mita kembali. "Sibuk?" "Sok sibuk," balas Mita terkekeh. "Nanti lah, bisa diatur jadwalnya." Gilang hanya menampilkan senyum manisnyanya. "Nanti di kabarin lagi," katanya kemudian "Iya dong, tadi loh nggak ngabarin." Mita tiba-tiba berseru. Namun sadar akan kesunyian malam dia pun mulai kembali menormalkan suaranya. "Jangan bikin kaget tiba-tiba lah Lang, nanti jantungan gimana?" "Nanti di kasih nafas
"Eh Mita, bentar ... bentar ..." suara Farhan mengintruksi saat gadis independen yaitu Mita baru akan memasuki sebuah lift menuju ruangan bosnya.Dia segera menoleh memperlihatkan wajahnya yang khas keturunan Chinese."Apa?""Yaelah, selow aja kali, gue gak akan minta sama apa yang lo bawa," sahut Farhan yang kemudian sudah berhadapan dengan gadis bermata sipit itu."Punya bos juga," kata Mita. "Ada apa sih? Gue buru buru nih, mau anter makan siang tuan bos besar.""Gue cuman mau nitip berkas cok, minta tanda tangan, soalnya males banget mau ke atas, nanti gue ambil di Bang Billy."Mita segera menerima berkas dalam map yang diberikan Farhan kepadanya. Laki-laki yang suka tebar pesona itu seperti biasa tampil dengan gaya yang memikat."Eh, bentar!" Seru Farhan tiba-tiba dengan mencengkram pundak Mita begitu gadis itu akan masuk ke dalam lift."Apa lagi?" tanya Mita mencoba sabar dengan kelakuan rekan kerjanya itu."Mana P
"Setelah makan siang, Pak Vano nggak ada jadwal meeting atau keluar, hanya stay di kantor," ucap Mita saat bosnya itu tiba-tiba menanyakan kembali jadwalnya."Oke," balas laki-laki itu yang fokus kembali dengan makan siangnya.Mita belum mendapatkan makan siangnya. Kata Billy si pengantar masih dalam perjalanan dan nggak lama lagi akan sampai. Oleh karena itu Mita hanya duduk diam di sofa lain sambil memperhatikan bosnya makan.Memang ya, kepekaan bosnya belum terasah dengan tajam. Harusnya ia bersimpati dengan Mita yang masih menunggu makanannya.Tapi ya dasarnya Vano, dia jadi nggak heran."Kata Billy, kamu mau menikah, memang benar?" tanya laki-laki itu dengan gayanya yang cuek.Mita seketika menoleh. Bingung sendiri atas pertanyaan itu, namun dia usahakan untuk biasa saja."Bukan menikah Pak, tunangan," jawab Mita sedikit ada rasa sungkan.Gimana ya ... Nggak enak saja gitu bicara hal pribadi dengan bosnya."Lagian Bang Vano juga sering tanyain Mbak Mita sama gue."Sial, malah jad
"Mit, jadwalkan ulang pertemuan dengan Pak Norman ya? Saya ada keperluan mendesak di hari yang sudah di jadwalkan, bilang sama Billy juga." Mita yang sebelumnya menaruh setumpuk dokumen di meja bosnya segera mengangguk merespon perintah sang bos. Dia akan kembali berjalan keluar namun perkataan Vano kembali mengintruksi langkahnya. "Oh, panggil Mang Joko suruh menemui saya sekarang." "Maaf pak, Mang Joko kan izin pulang kampung selama dua hari," balas gadis berpakaian formal itu dengan sopan. Dia mengingatkan jika yang tadi menyetir adalah Vano sendiri bukan Mang Joko. Atas ingatannya yang lupa, Vano berdecak. "Oke," katanya kemudian, lalu kembali sibuk dengan pekerjaannya. Mita menghela nafas. Bosnya mulai sangat sibuk beberapa Minggu ini. Sebab akan ada proyek baru yang akan digarap oleh perusahaan yaitu pembukaan pabrik cabang yang khusus memproduksi panganan hasil bumi dari daerah tersebut. Vano sebagai pebisnis bisa di bilang cukup cerdik dengan kombinasi sikap dermawan.
Sebelumnya Mita belum pernah mengunjungi tempat wisata berupa pantai atau laut lepas di Jakarta kecuali pantai Ancol. Dia bahkan nggak pernah merencanakan berkunjung ke sebuah pulau di kepulauan seribu yang terkenal cukup aestetik untuk di kunjungi. Namun untuk pertama kalinya itu Mita bercampur lelah dan excited terus mengikuti bosnya yang tampak biasa seolah sudah sering berkunjung. Sedangkan langit sudah memancarkan sorot jingga yang semakin menggelap. Tandanya memang sudah sangat sore untuk menyebrang menuju salah satu pulau yang Mita tau sebagai Pulau Putri. Vano yang mengatakan tadi, itupun karena Mita mendesak akan diajak kemana dirinya. Gadis bermata sipit itu cukup mewaspadai apa-apa yang terjadi padanya. Kendati pergi bersama Vano, tetap saja bosnya itu berjenis kelamin laki-laki sedangkan dirinya berjenis kelamin perempuan. Harus waspada walau pergi dengan orang yang sangat dikenal sekalipun. “Pak, bisa bukain botol minumnya nggak? Susah nih, tangan saya licin,” ucap Mit
Tempat biasa yang dimaksud adalah sebuah cafe tempat biasa Farhan dan Gilang nongkrong. Cafe yang terletak di tengah pusat kota itu buka dua puluh empat jam dengan berbagai makanan dan minuman kemasan bak sebuah minimarket namun terdapat banyak bangku untuk anak-anak muda nongkrong dengan teman-teman atau pun pasangan. Gilang sudah biasa berada di sana, dia juga sudah biasa dengan Farhan yang akan mengambil kesempatan sebaik mungkin dalam kondisi yang menguntungkannya. "Lo mau curhat kan?" "Sebagai pendengar gue juga butuh banyak makanan buat dengerin lo curhat, supaya energi gue full dan bisa memberikan solusi yang paling tepat." Itulah alasan Farhan yang tanpa berekspresi tak enak saat menaruh banyak bungkusan cemilan di meja mereka. Saat Gilang meliriknya dengan datar, dia pura-pura nggak melihat dan malah mengambil duduk dengan santai. "Untung gue punya gaji," dengus Gilang atas kelakuan sahabatnya itu yang memanfaatkan kondisinya. "Ya makanya itu cok, gaji lo yang besar itu