Usai menghabiskan sarapan, Leina buru-buru berdiri dan berkata pada Arsen. "Aku akan bereskan ini, kamu cepat temui saja tamu kamu. Aku akan buatkan minum sebentar lagi."Dia tidak menunggu jawaban dan langsung sibuk sendiri membawa piring dan gelas kotor ke wasafel meja dapur. Sangat kelihatan kalau dia enggan menatap Arsen.Arsen sadar diri kalau diusir. Daripada membuat situasi makin tegang, dia memilih pergi ke ruang tengah. Berada di sekitar Leina membuatnya sesak napas sekarang.Di ruang tengah, Serena dan Miranda duduk di sofa panjang. Di pelukan Miranda telah tertidur Baby Vera. Mereka sedang menonton acara televisi pagi— berita lokal yang menayangkan deretan pembunuhan berantai."Sebaiknya sampai dokumen paspormu selesai diurus, kamu sementara tinggal di rumahku saja, Miranda. Pembunuh berantai itu belum tertangkap," kata Serena yang seksama mendengarkan presenter berita.Miranda tampak serius. "Agak ngeri juga, sih. Tapi, aku tidak mau merepotkanmu."Arsen mendekati mereka.
Leina membukakan pintu.Liam segera masuk dengan mata yang penuh pancaran kebahagiaan. Sudah lama sejak dia terakhir bertemu wanita itu. Yang lebih membahagiakannya lagi, dia celingukan— dan tidak menemukan Arsen. Tidak ada detektif itu, maka ada kesempatan menggoda Leina.Leina berkata, "Arsen sedang bicara dengan kakakmu di lantai dua. Kalau mau ketemu temui saja sekarang.""Tidak, tidak, justru bagus kalau tidak ada dia." Mimik wajah Leina berubah waspada. Setiap kali berada dekat dengan pria playboy ini, dia merasa harus ekstra hati-hati."Jadi, mau apa? Kamu sampai tidak bekerja dan ke sini bukan untuk basa-basi 'kan?" Dia bertanya."Aku cuti kerja, Leina. Aku sedang cedera otot bahu, tidak bisa banyak bergerak juga.""Hmm, kamu kelihatannya baik-baik saja.""Apa, sih? Kamu tidak percaya padaku? Untuk apa juga aku bohong sama kamu?""Jadi, kenapa ke sini?""Kamu tidak mau memberiku minuman dulu atau bagaimana? Masa tamu dibiarkan saja begini?" "Kamu itu bukan tamu, untuk apa ju
Hari berlalu begitu cepat.Hubungan Arsen dan Leina masih canggung. Arsen tak bisa tenang saat bertemu Leina di meja makan. Tetapi, dia tak bisa berkata apapun. Leina pun demikian— dia tak bisa menatap Arsen dengan pandangan seperti biasa.Meja makan terasa sangat sunyi. Biasanya, Leina akan banyak bicara dan mengomel. Sekarang— wanita itu banyak diam.Arsen tidak suka ini. Namun, bagaimana caranya memperbaiki hubungan mereka?Jauh di lubuk hatinya, dia ingin Leina menjauh dari hidupnya agar tak terjadi peristiwa penculikan lagi— tetapi, dia juga tak mau itu. Rasa bimbang dalam dirinya makin lama makin menggila sampai dia tak bisa konsentrasi."Kamu yakin tidak mau ikut?" kata Arsen memecah keheningan di meja makan. Dia menatap Leina sudah menyelesaikan makan malamnya.Leina merespon, "tidak. Klien itu hanya ingin bertemu denganmu, jadi kamu saja yang datang. Lagipula, Serena pasti sudah menunggu. Kamu harus segera berangkat."Arsen tidak mengira akan datang hari di mana Leina berkat
Demam.Leina sering demam saat perubahan cuaca ekstrim seperti musim penghujan ini. Tetapi, dia biasanya hanya perlu tidur, dan semua akan baik-baik saja.Selama setengah jam telah berlalu, dan selama itu pula— tangan Leina masih menyentuh telapak tangan Arsen. Kalau sudah begini, mana mungkin pria itu meninggalkannya? "Leina?" Arsen memanggil lirih, memastikan kalau wanita itu sudah tidur atau tidak.Tidak ada jawaban. Leina malah menggigau dengan bergumam, "... Arsen ... bodoh ...""Oke." Arsen paham. Salah satu ciri Leina kalau sudah tertidur adalah berkata kasar tentang dirinya. Iya, bahkan di mimpi pun, wanita itu sangat ingin mengomelinya.Tetapi, ini membuat Arsen tersenyum saat menatapnya. Menurutnya, Leina sangat manis ketika sudah tertidur begini— bagai anak polos.Leina terlihat banyak gerak, meremas tangan Arsen seolah mencari kehangatan. "... dingin ..."Arsen sudah mengatur suhu agar sehangat mungkin, tetapi tubuh Leina sudah terlanjur demam. Ini membuat pria itu khawa
Sejak kehadiran Leina di rumahnya, Arsen sudah tak pernah lagi memasak. Sebelumnya, dia masih bisa membuat makanan seperti omelet atau roti isi. Tetapi, sekarang— keahliannya dalam membuat makanan sirna seketika. Dia bahkan sudah tidak ingat bedanya mie matang atau masih mentah.Segala-galanya sudah diurus Leina. Wanita itu tak pernah absen membuat makanan untuk keseharian mereka. Dia memenuhi semua syarat untuk menjadi istri teladan dambaan semua pria.Arsen membuat sup ayam dengan bantuan resep dari YouTube. Langkah demi langkah dia turuti hingga setengah jam berlalu— akhirnya matang juga.Meski tampilan sup tidak sama dengan yang ada di YouTube, dia tetap bangga.Leina turun akibat mendengar suara gaduh di dapur. Dia tidak ingat apapun saat masih tertidur pulas tadi. Karena itulah, dia bersikap biasa saja saat melihat Arsen.Kalau saja dia ingat sudah memeluk, melepaskan kancing kemeja, menciumi lehernya, memanggil-manggul namanya— pasti dia takkan berani bertatapan muka.“Arsen?”
Malam harinya ...Leina sudah pulih sepenuhnya. Dia beraktifitas seperti biasa. Demamnya sama sekali tidak mengancam, tapi memang Arsen saja yang berlebihan.Dia membuatkan makan malam. Selain itu, dia juga melakukan pekerjaannya sebagai asisten detetif untuk memeriksa pesan-pesan masuk dari calon klien lain.Sambil menghidangkan kopi untuk Arsen di atas meja makan, dia berkata, "Arsen, tadi sore ada permintaan kasus, aku harus menolaknya 'kan?"Arsen meletakkan ponselnya di meja, lalu fokus menatap Leina. "Kenapa membahas pekerjaan sekarang? Kamu juga kenapa masak— sudah tidur saja. Biar aku yang melakukan pekerjaan rumah hari ini.""Aku ini tidak sakit, kok. Kamu saja yang berlebihan. Lagian masakanku sudah matang.""Tidak sakit? Tapi tadi siang kamu sampai tidak sanggup makan sendiri, minta disuapi? Masa tidak sakit? Bohong, dong?""Kamu ..." Leina menahan malu dan kesal. Dia langsung balik badan dan mengambil piring-piring penuh dengan ikan bakar. "Mending diam saja— ayo kita maka
Apa maksudnya Arsen?Leina sama sekali tidak paham apa maunya sekarang. Kenapa pria ini malah mengajaknya diam-diam menyelinap masuk ke rumah orang?Untuk pertama kalinya, dia diajak dalam menyelesaikan kasus. Tetapi, ketimbang menyelidiki, ini lebih ke tindakan pencurian.Wanita itu mengawasi sekitar. Suasana halaman rumah calon target mereka ini sangat luas— sebagian lampu taman mati sehingga pencahayaan agak kurang. Belum lagi, kabut putih yang menggantung di antara pepohonan.Setiap langkah yang diambil harus hati-hati juga karena tanah berumput masih basah, menyebabkan kondisi yang licin.Leina menarik-narik lengan kemeja Arsen, lalu berbisik, "kamu sudah gila, ya? Kenapa kita diam-diam masuk kawasan rumah orang? Apa kita jadi pencuri sekarang?”"Permintaan klien mengharuskan kita merusak properti orang. Wajarlah kita diam-diam masuk ke sini.“"Sudah kubilang kasus ini bukan pekerjaan detektif, harusnya tadi aku tolak.""Leina— jangan lupa, aku adalah detektif yang biasa disewa un
Keesokan harinya ...Leina mengurus pengembalian guci kepada klien mereka. Pekerjaan itu selesai dalam waktu semalam. Sementara itu, Arsen masih tidur di kamarnya.Hari ini berlangsung seperti biasa. Leina mengurus seluruh pekerjaan rumah. Berhubung pagi ini juga hujan, dia tidak bisa menjemur baju di halaman belakang, melainkan di atap balkon lantai tiga.Setelah semua pekerjaan selesai, Jam sudah menunjukkan pukul delapan. Akan tetapi, Arsen belum juga bangun. Leina tidak tahan lagi— dia membuka pintu kamar pria itu."Arsen, bangun! Waktunya sarapan!" Dia berteriak.Arsen masih menggulung dirinya di bawa selimut. Dia sudah terbiasa dengan teriakan Leina, dan tetap tidak mau bangun."BANGUN!" Leina mendekat ke ranjang. Dia menarik paksa selimut itu hingga Arsen nyaris jatuh."Mmmm ..." Arsen mau tidak mau harus membuka mata, lalu bangun.Kondisinya agak berantakan. Kancing kemeja tidurnya banyak yang terbuka, rambut kusut bukan main. Ketika tidur, dia benar-benar bertingkah layaknya