Arsen membuka matanya perlahan-lahan, dan menyadari kalau berada di tempat asing. Dia mengalami cedera kepala parah, tapi dia tampak tidak merasakan apapun. Bahkan, raut wajahnya terlihat datar seolah sedang memahami apa yang terjadi.Dia duduk, dan hendak turun dari ranjang, tetapi dia tersadar kalau kakinya dirantai di ranjang.Apa yang terjadi? Di mana ini? Kenapa bisa seperti ini?Dia tidak mengerti apapun. Dia kemudian melihat dadanya, lalu meraba lengannya yang juga diperban. Banyak sekali perban yang menutupinya. Namun, tetap saja dia memasang wajah datar.Pandangannya kemudian beralih ke arah sekitar kamar sempit ini. Terlihat ada satu jendela yang terbuka, tapi terpasang teralis besi, jadi siapapun takkan bisa keluar ataupun masuk ke dalam. Suasana di luar tampak cerah berawan— hari sudah siang.Jam berapa sekarang? Hari apa ini? Tanggal berapa?Dia tidak tahu. Tetapi, di pikirannya— terus memberikan perintah yang ckup jelas. Apa pekerjaannya kali ini?Mustahil dia dibiarkan
Leina akhirnya bangun.Dia langsung menyebut nama Arsen, tapi saat matanya melihat sekitar— pria itu tidak ada di manapun.Tubuhnya lemas. Untuk beberapa detik pertama, dia agak linglung. Demam membuatnya dia tak bisa berpikir jernih untuk sesaat.Tetapi, setelah seluruh ingatannya terkumpul. Dia tersadar apa yang terjadi sebelum ini."Arsen!" Dia kemudian bangun, tapi langsung merasakan sakit di kepala. Dia merintih kesakitan. "Aduh ..."Mendengar suaranya, Ritta segera masuk ke dalam ruangan itu dengan cepat. Dia tampak lega saat melihat Leina sudah siuman."Akhirnya kamu bangun juga," katanya kemudian."Ritta?" Leina masih memijat kening. Dia melihat sekitar, baru sadar kalau ini tempat asing, kamar tidur orang lain. Jadi, dia ada di rumah Ritta?Dia agak tidak ingat bagaimana dia pingsan. Hanya saja, dia ingat kalau sedang panik mencari Arsen yang tenggelam. Lalu, tahu-tahu dia sudah terbaring di ranjang ini."Apa yang terjadi? Di mana Arsen ..." Dia bertanya dengan mimik wajah ya
Hans terus berlari ke gang-gang sempit di bangunan terbengkalai. Entah sudah berapa lama dia berlari, tapi rasanya dia masih diikuti. Entah berapa orang yang mengikutinya, dia tidak tahu. Namun, tembakan demi tembakan terus diarahkan kepadanya.Kalau saja, dia bukan orang yang terlatih, mungkin dia sudah mati sejak awal. Dia benar-benar hati-hati sekarang.Hari sudah sore, langit pun mendung sehingga pencahayaan di daerah ini menipis. Belum lagi, di daerah ini juga sangat sunyi, sepi, tidak ada orang satu pun.Persembunyian Tino berada di daerah yang jauh dari pemukiman penduduk. Beruntung, di sini banyak sekali bangunan terbengkalai, jadi dia bisa menjadikannya tameng untuk bersembunyi dari kejaran anak buah Tino."Brengsek." Hans melihat lengan kemeja hitamnya yang sudah robek akibat tergores oleh peluru. Dia sangat beruntung bisa menghindari peluru terakhir.Tetapi, dia sudah sangat lelah. Sudah berjam-jam, dia masih terjebak di wilayah itu. Dia tidak bisa asal keluar dari gang ba
Leina dan Ritta bekerja sama untuk melarikan diri dari hadangan Serena. Sesuai arahan Ritta, Leina mengalihkan perhatian Serena dengan menyerangnya tiba-tiba.Serena sempat kaget, belum sempat mengambil pistol sudah diserang Leina. "Kurang ajar! Sejak kapan ku berani begini hah!"Leina melawan dengan berusaha merebut pistol Serena yang disimpan di sabuk pahanya. Akan tetapi, dia kurang pengalaman dalam hal tersebut, dia mendorongnya sehingga bisa mengambil pistolnya sendiri."Serena! Kenapa kamu jadi seperti ini" Leina menyentuh dadanya yang sakit. Dorongan barusan sangat kasar.Serena menodongkan pistol ke kepala Leina. "Aku membencimu, Gadis brengsek!" Tanpa mengatakan apapun lagi, dia menarik pelatuk—Akan tetapi, Ritta lebih dahulu menghamtam kepalanya dengan vas yang diambilnya dari meja. Dia beruntung karena Serena terlalu fokus dan nafsu untuk membunuh Leina sampai mengabaikannya sejenak."AH!" Serena menjerit kesakitan, tapi tarikan pelatuknya sudah gak bisa dihentikan. Untung
Leina dan Ritta berhasil sampai di rumah persinggahan darurat dengan aman. Saat mereka sampai, hari sudah gelap.Mereka beruntung tidak ada yang mengikuti. Akan tetapi, Ritta terus menyibukkan diri dengan mengaktifkan keamanan rumah. Dia juga masuk ke ruang monitor. Sebelumnya, Hans meretas kamera pengawas jalan dan disambungkan ke ruang tersebut. Dengan begini, dia bisa tahu kalau ada orang mencurigakan sedang mengawasi rumah.Bangunan itu sendiri berada di dalam perumahan, tidak terlalu padat penduduk. Iya, itu karena lokasinya berada di wilayah di mana kebanyakan penghuni adalah pebisnis yang jarang pulang. Sekalipun tetangga kanan dan kiri rumah singgah itu sudah ada dihuni, tapi penghuninya jarang pulang. Tak heran, kawasan itu sangat sepi.Saat Ritta sibuk dengan semua itu, Leina membuatkan makan malam untuk mereka. Mereka makan malam tak lama kemudian. Tidak ada yang dibicarakan setelah itu karena keduanya sangat lelah.Karena hal itulah, mereka berdua langsung memutuskan un
Melawan Arsen dengan kekuatan sendiri itu mustahil, Hans sadar akan hal itu. Karena itulah, dia menjelaskan trik yang bisa dipakai untuk melawannya.Berhubung mereka juga tidak memiliki waktu untuk mengumpulkan rekan, jadi mau tidak mau harus mengandalkan kemampuan diri sendiri.Sesuai dugaannya, ternyata Tino menemukan tempat persembunyian mereka di keesokan harinya. Mereka tidak ragu-ragu langsung masuk ke dalam kawasan perumahan ini. Dia memanfaatkan kondisi perumahan yang sedang sepi untuk menyusup. Dia memerintahkan banyak anak buahnya untuk mengintai di sekitar rumah target."Bagus, sesuai keinginan kita, tetangga kanan, kiri dan depan sedang pergi," ucap Tino saat melihat rumah persinggahan Ritta di seberang jalan. Dia berdiri tepat di bawah pohon rindang, ditemani oleh Nathan.Nathan melihat suasana perumahan yang sepi padahal sudah siang. "Tempat ini sepi sekali ... tapi pasti ada yang masih di rumah 'kan? Bagaimana kalau ada yang mendengar?""Tenang saja, itulah gunanya aku
"KELUARKAN AKU DARI SINI!"Teriakan kencang keluar dari mulut Serena berulang kali. Dia sangat panik, takut dan juga gelisah berada di tabung kaca yang perlahan memasukkan air ke dalam.Iya. Dia dikurung di dalam situ dari beberapa jam yang lalu. Sekarang air yang merendam di bawah sudah sampai pinggang. Tinggal menunggu waktulagi sebelum dia benar-benar akan tenggelam.Dia berusaha keras menggebrak - gebrak kaca tabung itu, tapi sekuat apapun pukulannya, tak berhasil juga meretakkan kaca tersebut. Iya, rasanya dia sudah terjebak di dalam permainan sulap, dimana dia tak bisa keluar.Yang lebih memuakkan adalah sejak tadi sudah ada orang yang duduk di kursi tepat di depan tabung. Orang itu bagaikan penonton sulap yang menanti kapan Serena akan mati terendam di dalam tabung."KELUARKAN AKU, WANITA BODOH!" teriak Serena yang muak dan makin panik. Dia tidak terima dengan semua ini. "KENAPA KAMU DIAM SAJA! HARUSNYA KALIAN MEMBAWAKU PERGI MENEMUI ARSEN! MANA ARSEN-KU!""Berisik sekali, sih?
Para anak buah Tino membawa pergi Ritta pergi keluar rumah. Ini memaksa Hans untuk berlari mengejarnya. Dia khawatir juga pada Leina, tapi situasinya sangat sulit.Leina sendiri masih berada dalam cengkraman sang kekasih. Dia makin sedih— tidak pernah membayangkan kalau Arsen akan kehilangan ingatannya tentang mereka semua.Butir demi butir air mata mengalir keluar dari kedua matanya. Hanya kesedihan yang menerpanya sekarang."Arsen ... tolong sadarlah!“ pintanya.Dia sama sekali tidak peduli dengan cekikan Arsen yang makin erat. Napasnya sudah sangat terbatas. Ini membuat dada sesak dan pandangan mulai kabur karena pasokan oksigen ke otak menipis.Arsen masih memandangi wajah Leina, berusaha mengingat wanita itu, tapi masih ada kabut hitam yang menyelimutinya. "Aku tidak kenal siapa kamu, tapi kamu memang sepertinya—"Ucapannya terhenti kala merasakan sakit kepala lagi. Entah mengapa, tatapan Leina yang dibanjiri air mata membuatnya tidak nyaman.Ada apa ini?Dia merasa dadanya ikuta