Share

Assalamualaikum, Ex-Husband!
Assalamualaikum, Ex-Husband!
Penulis: Puspitalagi

Keping 1

Apa yang sedang kulihat itu? 

Adegan yang pasti akan disensor KPAI karena tergolong dewasa banget--kembali melambai-lambai di mata. Tampak begitu jelas. 

Satu selimut berwarna kuning gading melayang separuh. Suara musik smooth jazz yang lembut. Baju-baju yang berhamburan. Suara perempuan mendesah. Tawa suka cita para setan.

Mataku mengerjap perih. Nyalang menatap eternit putih yang menghias langit-langit kamar. 

Aku memijat dahiku yang terasa berdenyut cepat. Rasa-rasanya kepalaku seperti akan meledak. Ah, itu berlebihan tentu saja. Sama seperti saat itu. Ingatan waktu yang mengembara jauh. 

Harusnya, aku sudah melupakan kejadian tersebut. Baiklah. Aku harus lupa. Mengingat hal-hal pahit tidak menyehatkan lambung dan jiwa. Aku pasti akan mengeluh nyeri di bagian perut sebelah kiri.

Ini tidak boleh terjadi. 

Aku memaksa bangkit dari ranjang. Sedikit bertumpu pada kaki yang terasa perih. Sesaat sebelum kaki mungilku melangkah, suara gawai melolong panjang. 

Bunyi tawa kuntilanak yang kupasang, memang terasa aneh untuk sebagian orang. Tapi, aku memang orang yang absurd. Tenang saja. Itu belum seberapa tentunya. 

Bunyi mengekek panjang itu terus saja melengking semakin keras. Suasana rumah pedesaan yang hening ini menjadi sedikit ribut. Cepat-cepat aku melongok ke bawah ranjang. 

Apakah gawai sialan itu ada di dalam kolom gelap tersebut? Mana ya? Tanganku meraba-raba dalam gelapnya kolong ranjang. Ini tolol sekali. Aku membatin kesal. 

Suara tawa kuntilanak ini akan sangat lucu jika terdengar di studio. Tapi, di rumah orang tua? Oh, aku pasti akan dimarahi. 

 Ini dia! Sesaat setelah aku menyibak selimut yang tergolek kusut di atas ranjang, aku tertawa kecil. Akhirnya aku bisa memijit tombol 'ok'. 

"Ya, assalamualaikum?" 

 Sebuah nomor tak dikenal. Mungkin teman-teman di studio. 

"Waalaikumsalam, Jani ini aku. Argo," suara berat yang masih terdengar seksi di telingaku. 

Namun, rasa mual mulai memenuhi kerongkongan. 

 "Jangan ditutup, Sayang. Aku mau bicara sebentar." 

Mataku kembali perih dan panas, "Kamu mau ngomong apalagi, Go? Urusan kita sudah selesai. Titik." 

"Urusan kita belum selesai, Jan. Boleh aku ke sana?" 

 "Buat apa?" 

 "Aku ingin minta maaf pada orang tuamu." 

 "Simpan maafmu, Go. Aku nggak butuh. Ortuku nggak mau ketemu kamu. Ngerti?" 

 Aku melemparkan gawai keras-keras ke atas bantal. Napasku tak beraturan. Argo masih saja meneleponku. Nomornya terus berganti. Tampaknya, ia tak mau begitu saja melepasku. 

 Ah, biarlah. Urusanku dengannya sudah selesai jauh-jauh hari. Sesaat setelah palu hakim diketuk. Dia bukan siapa pun bagiku. Hanya seorang ex-husband yang harus dicoret dari ingatan. 

 Sekelebat bayangan menari lagi di pelupuk mataku. Mencubiti hatiku yang harusnya sudah sembuh. 

 Ingatanku melayang pada hari naas tersebut. Hari ketika aku kehilangan semuanya. 

 Separuh jiwa yang pernah kukagumi itu pergi. Meninggalkan luka menganga yang tak kunjung sembuh hingga hari ini. 

 ***puspitalagi***

Enam bulan lalu

 "Baik, siaranmu sudah sangat oke, An! Jangan lupa, besok siap-siap syuting untuk live di Youtube!" 

"Siap, Mas Pram!"

Rekan kerjaku selalu memanggilku 'An' itu lebih praktis ketimbang nama lengkapku 'Anjani'. Malam ini sudah sangat larut. 

Aku berencana untuk menyelesaikan rekaman siaran program solo. Jadi tak perlu live. Tak disangka, jam sepuluh malam sudah selesai. Biasanya baru jam satu dini hari selesai. Argo akan menjemputku tentu saja. 

Saat aku akan mengirim pesan instan, Noura--penyiar muda berbakat menghampiriku. 

"Mbak An, yuk bareng. Kebetulan, arah kita sama." 

Maka, hari yang dingin itu aku menebeng Corolla mungil Noura. Menghampiri sebuah rumah mungil nan asri di pinggiran Surabaya. 

 Walau udara dan angin cukup dingin, karena biasanya suhu di kota ini sangat panas menyengat, aku merasakan hal yang aneh begitu Noura menurunkanku di depan rumah. 

Kulitku meremang tiba-tiba. Seperti merasakan hal yang menakutkan. Aku bukan penyuka film horor. Tapi, jujur saja aku juga takut kalau melihat hantu betulan. 

 Memangnya ini malam Jumat? 

Sepertinya tidak. 

Rumah tampak lengang seperti biasa. Aku membuka pagar pintu gerbang besi yang tak terkunci. Aneh. Biasanya Argo selalu waspada. 

 Dengan terburu-buru aku membuka pintu utama. Kali ini terkunci, seperti biasa aku membawa kunci cadangan. Daun pintu berkeriut memekakkan telingaku. 

 Kosong. 

Ruang tamu, ruang tengah, pantry, dan dapur tak kutemukan sosok Argo. Aku mengayunkan kaki menuju lantai dua. Menaiki tangga dengan hati-hati. 

Suara smooth jazz terdengar mendayu-dayu. Musik kesukaan Argo. 

Keningku berkerut saat telinga juga menangkap suara-suara aneh. Seperti suara erangan dan desahan. Layaknya pasangan yang sedang bercinta. 

Tunggu. Apa aku salah dengar?  Aku membuka pintu kamar utama. Jantungku seperti melorot ke dengkul saat melihat yang terjadi.  

Mereka. Argo dan perempuan yang kusegani sedang beradu kasih hingga tak tahu aku telah tiba.  

Bibirku gemetar dan wajahku panas. Napasku pendek-pendek. Aku seperti membeku di depan pintu. 

Beberapa saat yang panjang berlalu. Namun, aku seperti patung bisu yang tak bisa bergerak.

Lalu Argo menoleh. Ia memandangku dengan wajah kaget.

Sorot mata itu. Aku begitu mengenalnya. 

"Kenapa, Honey?" Suara manja penuh desahan itu terdengar tak sabar. Terganggu dengan gerakan Argo yang terhenti.  

Perempuan itu memandangku penuh tanda tanya, "An? Sedang apa di sini?" ucapnya sengau.  

Argo menelan ludah, "Diamlah." 

"Siapa dia, Honey? Dia ini kan pegawaiku," perempuan itu berdiri menyelimuti tubuhnya dengan bed cover.  

"An? Anjani?" ulangnya melengking. 

Argo seperti tercekat, "Dia istriku." 

Aku berpaling. Menutup pintu dengan hati-hati. 

Aku menuruni tangga dengan tubuh lunglai. Lalu duduk di sofa perlahan. Mencoba menelaah apa yang sedang terjadi. 

Ah, tidak. Mungkin ini mimpi. Hanya sebuah kelebat mimpi buruk karena aku mulai jarang berdoa dan berzikir. 

Ya, hanya mimpi. 

Bukan hal yang serius. 

Tanganku menggapai pintu kulkas dan mengambil air mineral dingin. Membasahi kerongkonganku yang sejak dua jam lalu terasa kering. 

Terdengar suara kaki terburu-buru, seperti berlari. Suara kaki Argo. Aku begitu mengenalnya. Sudah tujuh tahun aku menikahinya. 

 Memujanya. Mencintainya dengan hatiku. 

"Jani? Kamu baik-baik saja kan?" Argo meraih tanganku. Wajahnya merah. Matanya penuh luka. 

Sorot mata itu.

Aku masih membeku. Mulutku terkatup rapat. Mataku menerawang jauh. 

Aku sedang bermimpi. 

Ini cuma mimpi. Iya, ini mimpi. 

 Aku meneguk kembali air mineral dingin yang kemudian seperti meluncur jatuh di dalam lambung dan ususku. Membawa hawa dingin yang kosong. 

"Go?" kataku. 

Argo menoleh. Mungkin dia heran, kenapa aku tidak menyematkan kata 'Mas' di depan panggilan itu. Tidak seperti biasanya. 

Aku juga tak mengerti. Itu hanya sebuah spontanitas. Gerak reflek dari lidah dan otak bawah sadarku yang terkoneksi tanpa menunggu perintahku.

 Sudah kubilang ini mimpi. 

"Jan, maafkan aku." 

"Buat apa?"

"Jani, tolong!"

 "Apa? Sudahlah, Go. Urusi saja urusanmu. Aku mau minum air ini dulu. Tadi aku siaran dua jam. Capek," aku menjauh dari Argo menuju kamar tamu yang terletak di paviliun sebelah rumah. 

 Argo berlari mengejarku. 

 "Jani! Maafkan aku, Sayang!" Argo meraih tanganku kuat-kuat. 

 Kenapa terasa sakit ya? Bukankah aku ini sedang bermimpi? 

 Aku berhenti. Menatap mata Argo lurus-lurus. 

 "Ini mimpi kan, Go? Jangan bangunkan aku. Ini mimpi bukan?" 

Argo mematung. Wajahnya penuh tanda tanya.

 Saat itulah aku mengerti. 

 Ini bukan mimpi. []

 

Bersambung

Mohon tinggalkan jejak ya, agar Author semangat jangan lupa komen, vote, sub dan follow. Terima kasih. Love you.

 

Xoxo, Puspitalagi ♥️🥳

Komen (6)
goodnovel comment avatar
Vera Prapto
baru pertama udah nyesek aja
goodnovel comment avatar
Salu Dalan
kerenKeren
goodnovel comment avatar
Dea
Aaah kok tegaaaa siihhh
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status