Share

Harapan

Rubi belum memberikan jawaban terkait ajakan Langit, terlebih Langit pun tidak menjelaskan apa itu panti asuhan kepada Rubi, yang dilakukan lelaki itu hanya mengatakan bahwa mereka bisa bersekolah jika berada di panti asuhan, Rubi yang saat itu belum paham berpikir apakah panti asuhan sama dengan sekolahan?

“Besok Om akan ke sini lagi bawa baju barunya, sekarang Om Langit pulang dulu ya.” Langit kembali berdiri hendak berbalik meninggalkan Rubi, namun Rubi mengejarnya. “Om Langit hati-hati ya,” ujar Rubi sambil menyalami tangan Langit.

Seketika Langit tak bisa berkata-kata melihat bagaimana Rubi mencium tangannya, anak itu santun sekali. Langit jarang menemukan ada anak jalanan sesantun Rubi, dan bisa dipastikan ini semua berkat Green, Langit tersenyum sambil merapikan rambut Rubi yang sedikit berantakan, “Iya Rubi, Om pamit ya, assalamualaikum.”

“Waalaikumsalam.”

Rubi berdiri menatap kepergian Langit, saat Langit memasuki mobil dan menatap dirinya Rubi melambaikan tangan yang dibalas dengan lambaian tangan dan senyum tipis oleh Langit, kemudian Langit hilang dari pandangan dan Rubi kembali pada teman-temannya.

Di dalam mobil pikiran Langit tak lepas dari peristiwa yang tadi dilihatnya. Bayangan Green yang tertawa memenuhi kepala, itu kali pertama Langit melihat seorang Green tertawa lepas, biasanya wanita itu hanya akan bereaksi seperlunya. Terlebih, jika sedang berhadapan dengan dirinya. Green seperti memberi jarak, entah karena apa Langit pun tak tahu.

Kedekatan Cherry dan Green tak lantas membuat Langit juga bisa dekat dengan Green, mengingat bagaimana sikap wanita itu padanya. Sangat kentara bahwa Green terlihat membatasi komunikasi dengan dirinya, dan sepertinya sampai kapanpun mereka tak akan bisa menjadi dekat.

Langit kembali melanjutkan perjalanannya yang sempat tertunda, mengenyahkan sejenak pikirannya tentang sosok Green yang rumit dan permintaan Kalila yang terlampau sulit. Langit mengemudikan mobilnya, wajahnya tenang namun pikirannya berkecamuk.

***

“Siapa?” tanya Green antusias

“Namanya Om Langit.”

“Langit?”

Setelah Rubi menyebutkan nama itu, Green berpikir keras, dalam hati ia bertanya. “Apa Langit yang dimaksud Rubi sama dengan Langit kakaknya Cherry? Ah enggak-enggak, pasti bukan. ” Green berujar pada dirinya sambil menggeleng-gelengkan kepala.  

“Gue yakin itu memang Langit yang beda, lagi pula ada banyak nama Langit di dunia ini. Bisa aja Langit yang dimaksud Rubi adalah pemilik panti asuhan yang kebetulan lewat. Ya, gue yakin,” gumam Green, ia berusaha untuk kembali meyakinkan diri bahwa bukan Langit kakaknya Cherry yang dimaksud Rubi.

“Kak Green..,” panggil Rubi yang melihat Green melamun.

“Iya sayang?” jawab Green yang tersadar dari lamunannya.

“Kakak kenapa?” tanya Rubi khawatir karena melihat Green seperti tengah memikirkan sesuatu.

“Kakak gak apa-apa sayang, ya udah kakak harus pergi. Nanti kakak ke sini lagi, kamu jaga diri ya, jaga temen-temen juga,” ucap Green sambil mengacak-acak rambut Rubi dengan sayang.

“Iya, Kak,” jawab Rubi sambil tersenyum. “Temen-temen, Kak Green mau pulang,” Rubi berbicara cukup keras membuat teman-temannya yang lain seketika menoleh dan segera berdatangan, mereka menyalami Green satu persatu. Setelah bersalam-salaman dengan Rubi dan  teman-temannya, Green meninggalkan mereka. Pekerjaannya sudah menanti, sudah bukan saatnya lagi fokus pada hal lain, 30 menit lagi sampai 7 jam ke depan ia harus fokus pada pekerjaan, hanya pada pekerjaan, bukan hal lain.

***

Siang telah berganti, matahari telah selesai menjalankan tugasnya hari ini, tinggalah bulan yang tengah menghiasi malam dengan sinarnya yang menawan. Tujuh jam bukan waktu yang sebentar jika digunakan untuk melakukan pekerjaan yang tidak kita sukai, namun berbeda dengan Green, ia berhasil melewatinya dengan baik setidaknya untuk hari ini, meskipun apa yang ia kerjakan saat ini bukanlah bagian dari cita-citanya. Green melakukan semua yang ia bisa, bukan hanya apa yang disuka, hal itu ia lakukan semata-mata untuk memenuhi kebutuhan hidup dan menabung agar kedepannya bisa memiliki usaha sendiri. Sembari menunggu teman yang akan menggantikannya tiba, Green memutuskan untuk berganti pakaian terlebih dahulu, ia melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya sudah menunjukkan pukul 22 lewat 15 menit, pantas saja ia merasa sangat lelah. Bayangan kasur kesayangannya yang tengah melambai-lambai, membuat ia bergegas mengganti pakaian dengan cepat, tujuannya saat ini hanya ingin sampai di rumah sesegera mungkin, Green lupa bahwa ia telah mengiyakan ajakan Cherry untuk menginap di rumah wanita itu.

Setelah menghabiskan beberapa menit untuk berganti pakaian, Green menyempatkan untuk memeriksa ponselnya lebih dulu. Ada banyak pesan dan panggilan dari Cherry yang rata-rata menanyakan kapan ia selesai, pesan itu dikirim tepat pukul 22.00 wib, hal itu membuat Green ingat akan janjinya dan membalas salah satu pesan tersebut. “Gue udah kelar, otw sekarang.”

Tak sampai semenit, Cherry membalas pesan itu. “Oke, hati-hati Green, gue tunggu.”

Setelah membaca pesan tersebut, Green melihat satu kontak yang sedari dulu ia sematkan, tak ada pesan atau panggilan masuk satu pun dari orang tersebut. Padahal biasanya, Alta akan sangat menghawatirkan dirinya jika tengah bekerja malam hari, lagi-lagi Green harus kembali merasa kecewa karena Alta tak memenuhi harapannya. Laki-laki itu semakin cuek, semakin sering menghilang, dan tak lagi rutin memberi kabar.

Green tersenyum samar. “Mungkin Alta kelelahan, jadi gak sempet telfon atau chat gue,” ujar Green pada dirinya sambil memasukkan ponsel dan bergegas pulang saat melihat Riza dan Zafran telah tiba. Ia masih percaya bahwa Alta tak akan menghianati apalagi mengingkari janjinya.

“Za, gue balik ya.”

“Yoi, hati-hati, Green, lo balik sama siapa?” tanya Riza sambil merapikan barang-barangnya.

“Biasa, ojeg online,” tutur Green santai.

“Udah malem, Green, mau gue anterin?” Riza yang khawatir menawarkan diri untuk mengantarkan Green.

“Gak usah, Za, di luar juga masih rame. Tenang aja, gue bisa jaga diri. Lo semangat yaaaaa.”

“Benaran gak mau gue anterin?”

“Gak, Za, gak apa-apa.”

“Oke, hati-hati ya.”

“Siap.”

Riza adalah rekan kerja sekaligus laki-laki yang selalu peduli pada Green, Green mengingatkan Riza pada sosok adik perempuannya yang telah lama meninggal dunia. Jika masih ada, sosok itu seusia Green. Hal tersebutlah yang membuat Green tak luput dari perhatian Riza, lelaki yang sudah menganggap Green seperti adiknya sendiri.

“Kabarin kalau udah sampe,” tutur Riza lagi.

“Oke,” jawab Green sambil mendorong pintu dan bergegas keluar.

Setelah mengatakan itu, Green meninggalkan minimarket tempatnya bekerja. Ia terkejut saat melihat mobil seseorang yang ia kenal sudah terparkir rapi di parkiran minimarket itu, tak sampai di sana, ia semakin terkejut kala melihat orang tersebut turun dari mobil dan menemuinya, menatapnya dengan tatapan hangat sambil tersenyum sembari berkata.

“Ayo masuk.”

Green masih terkejut karena melihat Langit berada di tempat kerjanya, belum lagi apa yang dikatakan lelaki itu yang seperti sengaja menjemput dirinya.

“Green..,” panggil Langit yang melihat Green tak bereaksi.

“I-iya, Pak,” jawab Green terbata.

“Ayo masuk, saya antar pulang.”

Green diam sejenak sebelum akhirnya bersuara. “Terima kasih sebelumnya, Pak, saya bisa pulang sendiri.” Green yang telah tersadar dari lamunannya menolak ajakan Langit, ia tak ingin kejadian yang sama terulang kembali.

“Sudah malam, Green.”

“Sekali lagi terima kasih atas niat baik dan tawarannya, tapi sekali lagi saya katakan, saya bisa pulang sendiri.” Green berjalan cepat sambil mengotak-atik ponselnya untuk memesan ojeg online, namun tiba-tiba muncul notifikasi yang memberitahukan bahwa kuota internetnya habis.

“Ahhhhh kenapa sekarang sih habisnya, gak tepat bangettt,” ujar Green kesal.

Langit yang melihat gerak-gerik Green segera mendekat. “Artinya, kamu memang harus pulang sama saya.”

“Saya gak mau!” tolak Green dengan tegas.

“Saya minta maaf atas kejadian minggu lalu, saya sama sekali tidak bermaksud kurang ajar, maaf membuat kamu tidak nyaman atas perlakuan saya.”

Green menatap Langit sejenak kemudian mengalihkan pandangan. “Saya paling gak suka sama cowok modus!”

“Saya tidak bermaksud untuk itu.”

“Tapi apa yang Bapak lakukan mengarah ke sana.”

“Kak, bukan, Pak,” ralat Langit.

“Iya, apa yang Kak Langit lakukan mengarah ke sana, dan saya gak suka!” Green meluapkan kekesalannya pada Langit, sudah seminggu ia memendam semuanya dan saat ini adalah waktu yang tepat untuk mengungkapkan.

“Saya minta maaf, Green.”

Green mendengus kesal. “Jangan lakuin itu lagi. Saya emang temen Cherry, tapi bukan berarti Kakak bisa seenaknya sama saya.”

“Iya, ada lagi?”

“Jangan pegang-pegang saya.”

“Iya. Masih ada?”

“Gak,” jawab Green tanpa melihat Langit.

Bukannya kesal mendapatkan bentakan dari Green, Langit justru tersenyum lagi. “Saya dimaafin?” tanya Langit yang dijawab anggukan singkat oleh Green.

“Ayo masuk.” Green melihat mobil hitam lelaki itu yang pintunya sudah terbuka, kemudian ia berjalan cepat ke arah mobil tersebut.

Langit menatap punggung Green sambil tersenyum lembut, “Terima kasih Green, saya harap kamu yang akan selalu mengisi tempat itu.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status