Selepas mengajar, Langit segera menuju rumah Green. Tadi wanita itu menghubunginya, mengatakan bahwa ada pekerjaan yang harus dibicarakan. Langit mengendarai mobil dengan kecepatan sedang, menikmati udara sore yang sejuk. Berbagai pikiran berkecamuk di kepala Langit, sudah hampir satu bulan Green bekerja dengannya, itu artinya ia hanya punya waktu kurang lebih lima bulan untuk membuat Green jatuh cinta. Langit yakin pasti bisa, tapi masalahnya sekarang ia yang kurang yakin dengan perasaannya.
“Kei, andai dulu aku percaya sama kamu, pasti sekarang kita udah hidup bahagia,” batin Langit penuh penyesalan.
Beberapa menit kemudian, mobil yang dikendarai Langit tiba di gang sempit rumah Green bertepatan dengan rintik air yang jatuh dari langit. Langit berlari-lari kecil dan menggunakan tangan untuk melindungi kepala. Tepat saat Langit sampai, hujan deras mengguyur bumi.
Langit segera mengetuk pintu sembari memanggil-manggil nama Green. “Green.., buka
“Kamu kenapa, sih, takut banget sama kakak kamu?” tanya Zein saat Cherry sudah bersiap untuk pulang padahal ia telah berusaha menahan.“Aku kan udah pernah jelasin sayang,” jawab Cherry lembut.Zein mengambil kedua tangan Cherry, menatap bola matanya dengan lekat, kemudian mencium punggung tangan itu. “Kamu udah besar sayang, seharusnya kakak kamu paham, bukannya malah terus menerus membatasi ruang gerak kamu dengan ngasih peraturan-peraturan.”Tatapan hangat Zein membuat Cherry luluh, ia meletakkan tasnya kembali kemudian memeluk Zein. “Sayang, Kak Langit udah ngasih kepercayaan ke aku, kewajiban aku menjaga kepercayaan yang dikasih Kak Langit,” ujar Cherry pelan, ia berusaha membuat Zein mengerti tentang aturan Langit yang memintanya sudah berada di rumah sebelum pukul 21.00 wib.Zein membuang muka, tak mau menatap Cherry. Cherry sadar Zein kesal, tapi ia tak punya pilihan. Patuh pada Langit adalah satu-sa
“Ngapain lo?” tanya Alta saat memergoki Daren mengarahkan kameranya pada seorang wanita yang tengah duduk di bawah pohon sembari membaca buku.“Gak, iseng doang,” jawab Daren salah tingkah.“Yakin iseng?” goda Alta sambil menaik-turunkan alisnya.“Ah lo kaya gak tahu aja.” Daren pergi begitu saja, Alta pun berlari mengejarnya. “Btw, cantik. Tapi, gue kaya pernah ketemu.” Alta mengingat-ingat, ia merasa pernah bertemu wanita tersebut.“Gak penting, udah ah gue mau cabut.” Daren menghindar, khawatirt Alta semakin gencar menggodanya.Beberapa bulan setelah kejadian itu, di suatu event Alta meminjam kamera Daren, ia terkejut karena menemukan banyak foto candid Reina yang tengah dekat dengannya. Alta yang sedang gencar-gencarnya melakukan aksi PDKT, bersikap pura-pura tak tahu, karena menurutnya itulah cara yang paling aman agar persa
Hari berlalu begitu cepat, tak terasa bulan telah berganti. Sore menjelang malam Alta menginjakkan kakinya di ibukota, ia benar-benar pindah ke kota tersebut. Meninggalkan kehidupan lamanya, dan memulai hidup baru dengan harapan dan tujuan baru.Alta turun dari mobil dan melihat seorang wanita tengah menunggunya, wanita itu adalah Green. Green akhirnya setuju untuk bertemu untuk sekadar menyapa ibunya. Tentu saja Alta senang, meskipun Green tak melakukan hal tersebut untuk dirinya, tapi paling tidak Green masih peduli pada kesehatan kedua orang tuanya.“Green, makasih ya,” ujar Alta saat berada di hadapan Green.“Sama-sama,” jawab Green tanpa melihat Alta.Green heran melihat barang bawaan Alta yang seperti orang pindahan. Meskipun penasaran, Green memilih diam saja, ia masih terlalu enggan untuk bertanya banyak hal pada lelaki yang telah menorehkan luka pada hatinya.“Aku udah putusin untuk lanjutin hidup di sini,&rdq
“Pulang-pulang kok cemberut, kenapa?” tanya Langit heran saat melihat wajah Cherry yang ditekuk.“Gak apa-apa,” jawab Cherry seraya mendekati Langit. “Gak telat, kan?”Langit melihat jam yang menggantung di dinding ruang tamu. “Hampir sih.”Cherry duduk di dekat Langit, menyandarkan kepalanya di dada bidang sang kakak. Jika sudah begitu, Langit sangat yakin ada sesuatu yang tengah terjadi pada adiknya. Atau bisa jadi, ada hal yang dibutuhkan Cherry darinya.“Kak..,” panggil Cherry pada Langit yang tampak asyik membaca berita online.“Hmmm?”“Lo lagi ngapain?”“Baca,” jawab Langit singkat.“Baca apa?”“Berita.”Cherry menegakkan badannya, mengintip ponsel Langit yang menampilkan situs berita online. Hanya sebentar, karena sete
“Apa kata Cherry, Bun?” tanya Jerry yang tadi tak mendengar jelas percakapan Cherry dengan Kalila. Mereka tidak bener-benar melanjutkan aktivitas yang sebelumnya tertunda. Bagi Kalila maupun Jerry, urusan anak lebih penting dari apa pun.Kalila meletakkan ponselnya lebih dulu, kemudian menatap Jerry yang sudah berusia hampir setengah abad namun masih terlihat menawan di matanya.“Cherry minta ngekos, Yah,” jawab Kalila.“Gak!” tutur Jerry tegas. “Ayah gak setuju, udah paling bener dia tinggal sama Langit. Kenapa mau ngekos segala? Berantem sama Langit?”“Katanya, biar dia lebih semangat ngerjain tugas akhirnya. Kalau di rumah Langit kan sendiri, kalau ngekos ada Violet, jadi bisa ngerjain skripsi bareng,” terang Kalila.Alasan yang disampaikan Kalila tak bisa diterima oleh Jerry. Baginya, alasan tersebut terlalu klasik, Jerry yakin Cherry hanya menjadikan tugas sebagai alibi saja.&
Alta memasuki rumah bercat putih bersih seraya menggeret koper miliknya. Di belakangnya, Green dan Langit mengikuti. Seorang wanita paruh baya menyambut kedatangan mereka dengan senyum mengembang.“Assalamualaikum, Bu.” Alta mencium punggung tangan Reni—ibunya.“Waalaikumsalam,” jawab Reni. Ia tersenyum lebar saat melihat Green berada di belakang putranya. “Sayang.., udah lama banget gak main ke sini, Ibu kangen. Kamu sehat, Nak?” sambungnya sembari mendekati Green.Green tersenyum lembut seraya mencium punggung tangan ibu dari mantan kekasihnya itu, kemudian menjawab pertanyaan tersebut dengan canggung. “Hehe iya, Bu, Green minta maaf karena baru bisa mampir sekarang. Alhamdulillah Green sehat, Ibu sehat?”“Gak apa-apa, Nak, Alhamdulillah Ibu sehat sekaligus bahagia karena kedatangan kamu dan Alta,” jawab Reni sambil memeluk Green hangat.Tangan Green terangkat untuk membalas peluka
“Aira, please jangan begini. Kita sahabatan udah lama, semua masih bisa dibicarain, Ra.”Aira menghentikan langkahnya. “Sahabat itu gak saling menyakiti, Kei. Gue, bukan sahabat lo!” ucap Aira dengan penekanan di setiap katanya.Mendengar kalimat itu keluar dari bibir Aira, Keira menggelang keras. Ia sudah kehilangan Langit, dan ia tak mau kehilangan Aira. “Gak, Ra!” tegas Keira.“Pergi, Kei. Gua gak mau lihat muka lo!” ucap Aira tajam seraya memalingkan wajahnya.“Ra, gue minta maaf, gue beneran gak tahu lo suka sama Langit. Andai gue tahu, gue bakal─”“Tetep pacaran sama Langit. Lo bakal tetep pacaran sama Langit, lo mau bilang itu, kan?” potong Aira dingin.“Gak, Aira. Gue bakal milih gak sama Langit sejak awal. Gue gak bermaksud nyakitin lo, Ai. Gue minta maaf,” mohon Keira dengan air mata yang tak
Keesokan harinya, Cherry langsung menghubungi Kalila dengan ponselnya. Tadi malam ia tak bisa tidur, karena tak sabar menunggu keputusan Kalila dan Jerry pagi ini.“Selamat pagi, Bunda.” Setelah panggilan terhubung, Cherry menyapa bundanya dengan suara riang.“Pagi, anak gadis bunda yang cantik jelita.”Cherry tersenyum mendengar panggilan Kalila yang disematkan padanya. Buru-buru ia menanyakan sesuatu yang sudah sejak malam membuatnya tak bisa tidur nyenyak.“Bun, gimana?” tanya Cherry tak sabar.“Gimana apanya, sayang?”“Ihhh Bunda, yang tadi malem Cherry bilang gimana? Ayah sama Bunda kasih izin, kan?”Helaan napas panjang terdengar dari bibir Kalila. “Langit ada? Bunda mau bicara.”“Kok Kak Langit, sih?” Cherry tak terima, buknnya memberikan jawaban, bundanya malah mencari Langit.“Tolong Hpnya dikasih ke Langit dulu sayang, Bun