[POV Adrian]
-----
Dia sukses mendorongku masuk ke jurang. Ya, jurang. Gara-gara sumpah bodoh tempo hari, sekarang aku--entahlah, bukan diriku lagi?
Membujukku dengan rayu, dia memaksa mencium kepala kalung. Sudahlah, toh aku memang harus berubah.
Aku berusaha selama beberapa hari untuk menjadi dewasa. Mencari kerja, menjauhi seks bebas, mengurangi minum minuman keras, dan membuang rokok, senua kujalani
Hari ini aku 'libur berusaha', aku ingin sesekali menikmati dunia. Pembelaanku, perubahan tidak bisa instan. Perubahan yang baik bertahap, berasal dari dalam diri. Aku mencoba untuk itu.
Sehabis jogging sore, aku menenteng sepatu. Butiran pasir pantai terasa lembut di telapak kaki. Hangat cahaya matahari yang malu di ujung horizon sor
[POV Adrian] ----- Para gadis begitu setia pada pasangan, terutama jika pasangan mereka setampan diriku. Minerva ngotot ingin menemaniku sampai akhir di club 777. Dia bersedia, tapi aku tidak. Tidak enak jika ada yang mendengar perbincanganku dengan Carl. Selain itu Minerva … bagiku seorang gadis harus dijaga. Menaruh kunci mobil ke meja, kuberi kode lirikan ke mobil supaya dia pergi ke sana. "Aku tidak ingin kamu sakit karena udara dingin. Atau kamu tidak mau karena mobilku tua?" Dia menggeleng, mengambilkunci. "Kamu tidak takut jika mobilmu kubawa kabur?" "Mobil itu bisa lari?" Mwneouk meja, tawa Carl pecah. "Pacarmu lucu, Ad."
[POV Fany] ----- Dia menterorku beberapa hari ini, sungguh, dia merusak bukan hanya hari tapi jiwa dan ketenanganku. Aku enggan menanggapi pesan atau mengangkat telepon dari setan tua itu, aku tidak ingin membuka kotak pandora. Dari dulu dia tak peduli padaku, kenapa sekarang peduli? Perasaanku tidak enak dan maaf saja jika aku enggan berurusan dengan Ibu, Nyonya besar Reine. Lagipula ada masalah penting lain yang jauh lebih butuh perhatianku. Yup, masalah merubah Adrian. Beberapa hari ini aroma menjijikan rokok dan aroma sisa permainan cinta perlahan sirna dari tubuhnya. Aku harus mendorong momentum ini supaya manfaatnya lebih terasa. Rencanaku hari Minggu ini ingin membawa Adrian ke g
[POV Fany] ----- "Kenapa kau mau pergi ke neraka?" Dari suaranya, juga cara dia memandang, aku tahu dia khawatir. Aku mau menjawab apa? Dia paham segala tentang sejarah kehidupanku yang suram. "Cepat jalan." "Tidak, aku tidak mau. Aku tidak mau mengantarmu ke sana. Kamu bakal marah, sedih, lalu menangis. Dengar, aku hanya tidak ingin kamu menyesal." Aku memilih membisu. Kalau menjawab pasti berdebat. Debat masalah setan tidak akan ada gunanya, menang jadi arang kalah jadi abu. Cukup lama kami terjebak dalam kehampaan hingga decaknya berkumandang. Syukurlah Adrian mau mengerti. Dia memacu mobil--tunggu. "Stop, kenapa berputar? Aku bilang ke Beverly Hills!"
[POV Adrian] ----- Bagus, malam ini mobilku berubah jadi peti mati saking sepinya. Bersandar pintu mobil, Fany diam seperti patung. Entah apa asiknya memandang layar handphone, hingga dia betah. Walau pintu mobil sudah aku kunci, tapi sesekali aku mengawasinya supaya tidak jatuh. Aku mencoba membuka obrolan. "Bagaimana reunimu dengan setan--maksudku dengan ibu tercinta?" Tiada gerak di bibirnya, seperti terjahit rapat. Sialan. Aku lebih suka Fany yang cerewet seperti bebek. Sudah kuduga pertemuan dengan setan tua akan berakhir seperti ini. Aku menyetel musik country kesukaannya dengan volume sedang untuk memberi warna dala
[POV Adrian] ----- Aku duduk di sofa panjang dalam ruang ini seperti seumur hidup. Kakiku mulai mati rasa. Selain itu aroma di ruang ini semakin pekat hingga membuatku sedikit pusing, tapi aku harus tahan. Ini demi masa depan. Wajah Tuan John seperti wajah gorila, membuatku keder. Aku bukan rasis, tapi dia memang menyeramkan. Plontos, beralis hitam lebat, dengan bibir tebal kecokelatan. Berhadapan dengan calon bos, aku harus memberi yang terbaik. Senyum harus awet. Demi pekerjaan, demi menjadi dewasa untuk Fany--bukan, tapi untuk diriku sendiri. Aku harus berhasil mendapatkan pekerjaan ini. Beliau membuka pembicaraan. "Pernah menato orang sebelumnya?" Aku menggel
[POV Fany] ----- "Nona Reine, bangun, suamimu menanti di pelaminan." Terhenyak bangun, aku disambut tawa dari seisi kelas. Tuan Raph, Dosenku, berdiri di samping bersedekap sambil menggeleng kecil. Oh Tuhan kalau ada lubang aku ingin mengubur kepala di sana, supaya terlepas dari tekanan malu. "Hapus liurmu, tidak pas dengan wajah mempesonamu, Nona." Beliau kembali ke depan kelas untuk mengajar. Seperti kelinci terlalu banyak makan, aku duduk menahan malu sambil mengusap pipi. Semua karena kejadian tadi malam, aku susah tidur. "Terlalu banyak bersama badboy membuatmu kacau," bisik Casandra, menggodaku dengan senyu
[POV Fany] ----- Aku tak percaya mereka berkumpul di sana. Untung ada tembok yang menjadi tempatku bersembunyi. Setelan jas hitam mahal membalut tubuh lelaki tua kurus. Rambut penuh uban seperti wig menutup bagian atas kepalanya. Setelah merapikan dasi, dia mengetuk pintu. Wanita tua tambun berhias perhiasan mahal tampil anggun memakai setelah jas merah tua, kombinasi blouse putih. Menggandeng anak gadisnya dia berbisik padanya yang memakai baju sabrina, pamer pundak putih mulus yang seperti warna susu basi. Mau apa keluarga Melisa kemari? Ya Tuhan, jangan bilang Melisa melapor pada orang tuanya tentang kejadian di apartemen Adrian tempo hari. Alfred yang malang, dia dalam masalah besa
[POV Adrian] ----- Ruang hening seperti rumah sakit di malam hari. Tuan John mengelus-elus lengannya, tepat di bagian yang aku tato. "Kamu tahu Nak, apa yang dibutuhkan artis tato selain skill menato?" Pertanyaan ini pasti bukan pertanyaan biasa. Ini tentang karirku, ini tentang masa depan. Aku tidak boleh salah menjawab, tapi kira-kira apa yang dibutuhkan selain skill? Sesekali Tuan John menoleh memandangku, lalu fokus ke lengannya. "Carl, apa kau bisa menjawab?" Seperti diriku, Carl juga blank. Dia menggaruk kepala sangat kencang, mungkin sampai kuku jari tangannya panas. Berbeda denganku, dia bisa mengarang. "Koneksi