[POV Adrian]
-----
Bagus, malam ini mobilku berubah jadi peti mati saking sepinya.
Bersandar pintu mobil, Fany diam seperti patung. Entah apa asiknya memandang layar handphone, hingga dia betah.
Walau pintu mobil sudah aku kunci, tapi sesekali aku mengawasinya supaya tidak jatuh.
Aku mencoba membuka obrolan. "Bagaimana reunimu dengan setan--maksudku dengan ibu tercinta?"
Tiada gerak di bibirnya, seperti terjahit rapat. Sialan. Aku lebih suka Fany yang cerewet seperti bebek. Sudah kuduga pertemuan dengan setan tua akan berakhir seperti ini.
Aku menyetel musik country kesukaannya dengan volume sedang untuk memberi warna dala
[POV Adrian] ----- Aku duduk di sofa panjang dalam ruang ini seperti seumur hidup. Kakiku mulai mati rasa. Selain itu aroma di ruang ini semakin pekat hingga membuatku sedikit pusing, tapi aku harus tahan. Ini demi masa depan. Wajah Tuan John seperti wajah gorila, membuatku keder. Aku bukan rasis, tapi dia memang menyeramkan. Plontos, beralis hitam lebat, dengan bibir tebal kecokelatan. Berhadapan dengan calon bos, aku harus memberi yang terbaik. Senyum harus awet. Demi pekerjaan, demi menjadi dewasa untuk Fany--bukan, tapi untuk diriku sendiri. Aku harus berhasil mendapatkan pekerjaan ini. Beliau membuka pembicaraan. "Pernah menato orang sebelumnya?" Aku menggel
[POV Fany] ----- "Nona Reine, bangun, suamimu menanti di pelaminan." Terhenyak bangun, aku disambut tawa dari seisi kelas. Tuan Raph, Dosenku, berdiri di samping bersedekap sambil menggeleng kecil. Oh Tuhan kalau ada lubang aku ingin mengubur kepala di sana, supaya terlepas dari tekanan malu. "Hapus liurmu, tidak pas dengan wajah mempesonamu, Nona." Beliau kembali ke depan kelas untuk mengajar. Seperti kelinci terlalu banyak makan, aku duduk menahan malu sambil mengusap pipi. Semua karena kejadian tadi malam, aku susah tidur. "Terlalu banyak bersama badboy membuatmu kacau," bisik Casandra, menggodaku dengan senyu
[POV Fany] ----- Aku tak percaya mereka berkumpul di sana. Untung ada tembok yang menjadi tempatku bersembunyi. Setelan jas hitam mahal membalut tubuh lelaki tua kurus. Rambut penuh uban seperti wig menutup bagian atas kepalanya. Setelah merapikan dasi, dia mengetuk pintu. Wanita tua tambun berhias perhiasan mahal tampil anggun memakai setelah jas merah tua, kombinasi blouse putih. Menggandeng anak gadisnya dia berbisik padanya yang memakai baju sabrina, pamer pundak putih mulus yang seperti warna susu basi. Mau apa keluarga Melisa kemari? Ya Tuhan, jangan bilang Melisa melapor pada orang tuanya tentang kejadian di apartemen Adrian tempo hari. Alfred yang malang, dia dalam masalah besa
[POV Adrian] ----- Ruang hening seperti rumah sakit di malam hari. Tuan John mengelus-elus lengannya, tepat di bagian yang aku tato. "Kamu tahu Nak, apa yang dibutuhkan artis tato selain skill menato?" Pertanyaan ini pasti bukan pertanyaan biasa. Ini tentang karirku, ini tentang masa depan. Aku tidak boleh salah menjawab, tapi kira-kira apa yang dibutuhkan selain skill? Sesekali Tuan John menoleh memandangku, lalu fokus ke lengannya. "Carl, apa kau bisa menjawab?" Seperti diriku, Carl juga blank. Dia menggaruk kepala sangat kencang, mungkin sampai kuku jari tangannya panas. Berbeda denganku, dia bisa mengarang. "Koneksi
[POV Adrian] ----- Netraku seperti besi yang tertarik magnet, gagal berpaling dari wanita berpakaian kaos ketat dan celana jeans panjang. Dia pun salah tingkah, mengusap tengkuknya, tertunduk, mengintip ke arah wajahku berulang kali. Suara kekeh Tuan John membuatku berpaling dari bidadari dunia. Beliau berkomentar, "Sepertinya kau benar Carl, ketampanan dan kecantikan juga berpengaruh pada nasib manusia." Ucapan paman seperti balsem yang membuat wajahku memanas. Segera kuganti arah pandangan ke kertas kontrak, berniat menandatangani lembar terakhir di sana. "Ada apa Bibi Elisa?" tanya Carl, suaranya membuatku
[POV Fany] ----- Dunia bagai jungkir balik. Ini tidak benar, kan? "Kenapa, kenapa." Kubekap bibirku sebelum suara semakin keras keluar. Gontai aku berjalan mundur sambil menggeleng, berbalik badan berlari kabur seperti maling menjauh dari keluarga Melisa. Langkahku melambat di lantai satu. Menekan dinding aku berusaha mencari pembenaran untuk semua kejadian yang baru terjadi. Mungkin semua ini hanya mimpi. Ya, pasti begitu. Aku masih kecil dan tertidur di kasur Bibi Nicole. Ya, aku berharap semua itu terjadi. Akan tetapi kenapa gagal? Ayo, buka mata! Aku ingin bangun, Tuhan. Tolong biarkan aku bangun dari mimpi buruk ini! Lembut tang
[POV Fany] ----- Seperti magnet yang menarik serpihan besi, dia menangkap telapak tanganku. Berulang kali aku menarik berusaha melepaskan diri, tapi gagal. Enggan rasanya melihat dia, muak, marah, tapi dia Alfred, sosok yang selama ini menjaga, memperlakukanku bak harta karun yang dia jaga. Ya Tuhan, bagaimana ini. "Alfred, kamu mau mengantarku pulang?" Suara Melisa. Apa gadis itu tidak bisa membaca suasana? Apa dia sengaja ingin membuat Alfred memilih, antara diriku dan dirinya? Tanpa melepas genggaman, Alfred menjawab, "Sebentar." Sepertinya dia bingung. Seperti kucing, disuruh memilih whiskers dan ikan
Adrian "Aduh, aduh kakiku!" teriak Carl terlentang sambil memegang kaki kanannya. Pria besar berpakaian setelan jas hitam keluar dari mobil. Pria berkulit hitam itu berjongkok, khawatir melihat keadaan Carl. Suaranya terdengar nyata, bukan dibuat-buat, dia benar-benar menyesali perbuatannya. “Maaf, maafkan aku. Kamu baik-baik saja, Nak? Aku benar-benar tidak sengaja menabrak kalian. Sumpah demi Tuhan!" "Kejar maling itu Bro, jangan pikirkan aku!" perintah Carl, walau mukanya meringis, dia menunjuk ke arah perampok. Sepertinya uang yang dirampok sangat berharga bagi warung bunga milik Elisa. “Akan aku usahakan, Carl. Kamu tenang saja, ya.” Aku menerobos kerumunan mengejar bedebah yang sekarang panik baru mulai berlari. Aku bukan pelari yang baik. Beruntung trotoar padat oleh turis dan penjual pernak-pernik, menyebabkan maling kesulitan membuat jarak dariku. Tinggal hitungan waktu saja, sebelum aku berhasi