"Kalau mau nangis, nangis aja Mar. Jangan di tahan-tahan." ujar pak Askari dengan santainya. Setelah membuat hatiku acak-acakan begini bukannya nenangin malah di suruh nguras air mata. Ya Tuhan....Kenapa sih guru satu ini nyebelinnya over banget, melebihi mulut-mulut para netizen. Tahu gini gak bakalan mau tadi di ajak ke acara akekahan keluarganya."Gak ada yang mau nangis." sahutku secuek mungkin.Padahal mah kondisi hatiku sudah meraung-raung sedari tadi. Gak tau, kesel aja bawaannya. Dikirain bakalan tambah kepincut jika jalan bareng begini. Nah ini, kayaknya malah makin sebel."Masa? Itu bibir udah kedut-kedut loh dari tadi nahan nangis. Kalau mau nangis, nangis aja. Nih, banyak stok tisu. Tapi, jangan kelamaan juga nangisnya. Entar malah kesurupan." ujarnya lagi sembari memperlihatkan lima kotak tisu dan meletakkannya di hadapanku."Kalau Maryam kesurupan enak dong, Pak. Biar bisa nyekek Bapak sekalian." timpalku sok sengit.Namun, di detik kemudian senyum lebar seketika terb
Sebelum pak Askari benar-benar mengabulkan ucapannya aku lebih dulu melepas sepatu dan berjalan setengah berlari ke arah mereka. Siapa pula yang mau di gendong di khalayak ramai begini. Malu. "Mar...Aku ke sana dulu ya. Sepertinya ada saudara mamaku deh di sana sama suaminya. Entar aku gabung lagi. Dadah pak ganteng..." Tari menunjuk segerombolan para tamu yang tengah duduk di ujung halaman dan berlari begitu saja bahkan belum sempat ku setujui. Jadi, ini ceritanya aku akan jalan berduaan gitu, sama pak Askari? Duh, udah gak kebayang gimana nanti ceritanya kalau udah ketemu sama keluarga baru. Eh, ngarep."Pak, kita gak makan dulu, nih? Maryam udah laper banget dari tadi. Cacing di perut udah pada demo." tanyaku pada pak Askari yang menembus kerumunan begitu saja tanpa berniat singgah untuk mengambil makanan. Padahal sedari tadi aroma rendang daging sudah menguar ke penciuman, membuat selera makanku semakin naik 180 derajat. "Kita ke tempat keluarga saya dulu. Emangnya gak mau kenal
Bel istirahat akhirnya berbunyi juga. Aku sudah sedari tadi menahan pipis karena tidak di izinkan keluar oleh pak Askari. Aku tidak menyatakan alasanku karena masih memendam sakit hati, aku fikir pak Askari mendekatiku bukan karena suka padaku kecuali karena ingin menjadi suami dari kak Anjela. Obrolan mama Renata dan mbak Rachel hampir saja membuatku tidak bisa tidur semalaman. Rupanya begini rasanya sakit hati yang sering di keluhkan orang-orang.Usai pak Askari mengucapkan salam aku langsung lari ke arah pintu. Sama sekali tak ku hiraukan panggilannya karena sudah tak mampu menahan."Untuk apa, sih Bapak manggil-manggil anak penggarap sawah itu?"Masih terdengar Thalita berkomentar. Namun, karena aku sudah keburu lari entah apa lagi jawaban pak Askari menanggapi kalimat siswinya itu.Toilet sekolah letaknya di lantai satu, berdekatan dengan kelas dua belas yang sengaja ruangannya terpisah dari kelas SMA yang lain. Tujuannya karena mereka harus fokus belajar dan tidak terganggu ole
"Papa saya yang cerita. Satu minggu yang lalu beliau membeli tanah sama juragan yang bernama bapak Abidzar Mahavir. Di saat perjumpaan itulah papa saya bertanya banyak hal pada ayahmu, dan katanya dia juga memiliki putri yang bersekolah di sini. Namanya Maryam. Di sekolah ini hanya kamu, kan yang bernama Maryam? Dan setelah saya cari tahu, hanya kamu juga yang memiliki nama ayah seperti juragan tanah itu. Benar, Mar. Saya saja sempat kaget," ceritanya panjang lebar sembari terkagum-kagum.Aku dan Tari hanya manggut-manggut mendengarkan ceritanya. Entah kenapa saat mendengar penuturannya seakan tengah ada udang di balik batu. Kenapa mengajakku bertemu seperti ini setelah tahu siapa ayahku sebenarnya? Dulu, kemana saja? Bahkan melirikku saja mungkin tidak pernah."Ah, iya. Surat ini kamu bawa saja, baca di kelas atau saat berada di rumah saja. Entar malah shock lagi," lanjutnya masih tersenyum ramah.Aku menautkan alis, mencoba menerka-nerka isi dalam amplop ini hingga kak Vino terliha
"Saya berharap, kamu bisa memberikanku jawaban secepatnya, ya Mar. Tidak harus besok, tapi boleh dalam minggu ini supaya kamu juga bisa shalat istikharah." Imbuhnya lagi yang langsung melegakan perasaanku. Setidaknya ia tidak menuntutku memberi jawaban besok pagi, karena akupun tak tahu harus menjawab seperti apa. Namun, suara ketua osis SMA dari bibir pintu membuatku seketika menoleh. Disana, ketua Osis bernama Ihsan itu tengah berdiri di atas kursi yang di belakangnya terdapat para siswa dan beberapa orang guru."Terima...Terima...Terima...!"Ya Tuhan....Rasanya sudah mau pingsan saja di sini. Apalagi di halaman sana tampak bu Dewi, bu Meri dan sebagian besar anak kelas SMA tengah mensupport adegan memalukan ini. Mereka semua terus bersorak-sorak tanpa tahu bagaimana isi hatiku saat ini. Bagaimana mungkin aku menerima kak Vino padahal hatiku saja baru tumbuh dalam mengenal asmara? Jika hati ini jatuh perdana untuknya mungkin tak masalah, namun sayangnya bukan. Bukan dia yang mengen
"Bapak tadi lihat......""Enggak. Cuma karena viral aja," potongnya cepat yang membuatku semakin gugup."Duh, Pak. Maafin Maryam, ya. Semua ini gak seperti yang Bapak dengar dari cerita orang lain, kok.""Kenapa harus minta maaf? Toh hati tidak bisa dipaksakan, bukan?""Sebagaimana hati Bapak yang gak bisa dipaksakan untuk mencintai Maryam?"Ups!Kenapa sampai kelepasan begini. Aduuh!Tanpa pamit aku langsung mengambil langkah seribu, menaiki jenjang menuju lantai dua. Semoga saja perkataanku tadi tidak di dengar pak Askari, jika ia dengar bisa-bisa hancur harga diri.Tari turut berlari mengejar langkahku hingga kini kami berjalan bersisian. Detak jantungku masih jauh di atas normal, aku harus butuh penarikan nafas dalam secara berulang-ulang sebelum memutuskan masuk ke dalam kelas."Ciee....Yang udah mulai jujur dengan perasaan sendiri." ejek Tari merangkul pundakku."Ih...Mana ada. Tadi itu kecoplosan doang, Tar.""Karena kecoplosan itulah, Say. Tanpa sengaja unek-unek di hati tersa
Pak Burhan terlihat kikuk, dan sama sekali tak menjawab pertanyaan pak Askari. Namun, di detik berikutnya beliau meminta izin kepada kami untuk keluar sebentar dengan mengikuti langkah pak Askari yang sudah lebih dulu meninggalkan ruang kelas. Perasaanku jadi tidak enak dibuatnya, masalah kecil seperti ini malah mengakibatkan perpecahan pula di antara dua guru muda itu."Pak Askari tiba di waktu yang tepat," lirih Tari yang membuatku seketika menoleh."Maksudmu?""Aku yang memberitahu pak Askari kalau kamu di omeli sama pak Burhan," ujarnya tanpa merasa berdosa."Ya ampun Tari.....Gimana kalau hubungan mereka sampai renggang?""Salah pak Burhan sih, kenapa memutuskan masalah secara sepihak."Aku mendengkus, kemudian meminta izin pada ketua kelas untuk keluar sebentar. Aku ingin tahu apa yang terjadi di pojok balkon sana, mereka tak sepatutnya ribut hanya karena persoalan siswanya."Aku ikut, Say...." Tari mengejarku."Eh Tari! Gak boleh izin dua orang. Kembali lagi ke kursimu!" panggi
"Maksud saya, Bapak belum bisa menjelaskan pembelajaran dengan baik hingga siswa belum ada yang mengerti," jelas Afkar tegas. Sedangkan kami semua sudah merasa merinding. Takut jika tiba-tiba emosi pak Burhan meledak dan menghukum kami semua."Kalau anda protes, silahkan keluar!"Pak Burhan mengarahkan sebelah tangannya ke ambang pintu yang sedikit terbuka. Wajahnya merah padam, giginya bergeletuk dengan sebelah tangan yang terlihat mengepal."Saya memang harus keluar. Tapi, alangkah baiknya jika Bapaklah dulu yang angkat kaki dari kelas ini. Percuma kami datang jauh-jauh ke sini jika penjelasan bapak hanya untuk diri bapak sendiri.""Kamu yang salah! kenapa tidak belajar duluan di rumah?" protes pak Burhan. "seharusnya, kalian belajar lebih dulu di rumah hingga saat pembelajaran di berikan guru kalian sudah faham.""Jika kami mengandalkan belajar di rumah, untuk apa lagi ada bapak di sini?"Pak Burhan terdiam. Dadanya terlihat naik turun menahan gejolak amarah. Dan detik berikutnya,