Share

5 (Babi yang Mengintip di Jendela Kamar)

Sudah semakin malam, hampir jam 2, tapi Tiara belum juga bisa tidur. Ibu bapaknya—Pak Rahman—sudah terlelap di kamar mereka, bahkan mungkin Bian pun sudah ke alam mimpi jauhnya.

CETAAAR!

Di luar masih hujan deras, geledek dan petir menyambar di mana-mana. Dingin, Tiara memeluk diri. Padahal matanya ngantuk berat, tapi setiap kali mau memejamkan mata, ia merasa sulit tidur. Akhirnya perih sekali matanya, berair.

KLOTRAK!

Suara seperti gelas jatuh memasuki telinga Tiara. Suara gelas jatuh tapi tak pecah. Apakah ada tikus? Atau kucing? Tiara bertanya-tanya dalam ketakutannya.

“Bikin kaget aja. Apa itu, ya?” Ia bergumam, menyingkap selimut tebalnya dan keluar untuk memeriksa.

Rumah gelap. Biasanya kalau jam tidur memang dimatikan semua, kecuali lampu di luar rumah. Anehnya kali ini lampu dapur menyala. Tiara membekap mulut, mengira ada maling.

Ia mengendap menuju dapur tanpa membangunkan ibu bapaknya. Dan .... “Astaga Mas Bian!” Tiara mendapati Bian sedang makan mie instan tanpa dimasak, duduk di depan pintu lemari es. “Nga-ngapain di situ?”

Jelas saja Bian terkejut dan menyembunyikan mie instan itu di balik punggung. Dirinya berdiri, merasa malu. “Maaf, Ra. Aku lapar. Kami tahu seberapa lama perjalanan kita sejak masuk desamu. Dan ibumu sama sekali tidak memberiku makan. Jadi—”

“Pffft! Ya ampun Mas Bian, kenapa nggak bilang aja, sih?” Tiara terkekeh pelan, lalu berjalan menuju kompor dan menyalakan api. Dia menaruh panci mie dan mengambil dua bungkus stok mie yang ada. “Duduk aja, Mas. Saya masakin. Jangan makan yang mentah, nanti sakit perutnya karena lagi lapar makan makanan keras.”

“Hmm, ya ... oke.” Meski masih malu, Bian berusaha untuk tetap slay. Dia duduk menunggu Tiara memasak untuknya.

Bian melihat punggung Tiara dalam kebisuan. Punggung itulah yang setiap hari dia lihat di restoran. Tapi entah kenapa ketika melihatnya saat ini, Bian berpikir ini punggung yang beda.

Mie telah selesai dimasak. Mie rasa kuah soto. Bian melahapnya dengan rakus. Tiara hanya bisa memandangi dengan rasa tidak percaya. Apa iya dia Bian bos-nya? Yang benar saja, dia seperti orang yang tidak makan berhari-hari.

“Ra, kamu bener nggak mau?”

Tiara menggeleng. “Kalau saya mau, dari tadi saya masak buat saya.”

“Oh, benar.” Bian cengengesan.

“Maaf, ya Mas ibu saya mungkin lupa atau sedang lelah jadi nggak sempat nawarin Mas Bian makan.” Tiara jadi merasa bersalah, toh dia pun lupa soal itu.

“Iya untungnya kamu masakin akhirnya. Kalau enggak, udah kupotong gajimu bulan ini.”

Tambah terkekeh Tiara. “Aih, sudahlah. Saya lama-lama takut dekat Mas Bian. Salah dikit langsung kena potong gaji. Saya ke kamar lagi kalau gitu. Mas nanti mangkuknya tolong simpan saja di baskom pojok sana kalau selesai.”

Bian hanya mengangguk.

Tiara masuk ke kamarnya. Ketika baru saja menaiki ranjang, Tiara dikagetkan dengan suara aneh di luar kamar. Suara apa itu? Tiara bangun dan mendekat ke jendela yang gordennya tak tertutup sepenuhnya.

GROK! GROK!

BABI!

Babi yang sangat besar sedang menatapnya di balik jendela saat ini. Untuk beberapa detik serasa mati naluri ingin larinya. Tiara membeku dengan mata melotot seperti orang yang kena setrum.

Babi hitam itu mengeluarkan suara yang ngeri sebelum akhirnya ia pergi.

“Aaah!” Barulah Tiara bisa berteriak ketika sang babi pergi. Namun bayang-bayangnya masih membekas dalam memori seakan hal tadi masih terjadi.

Bian yang masih makan mie instan di dapur mendengar suara Tiara. Dia lekas bangkit dari duduk dan menuju kamarnya. Ibu bapaknya pun bangun karena kaget.

“Ra? Tiara? Apa yang terjadi? Kamu tidak apa-apa?” Tak dijawab ketika Bian mengetuk pintu.

Ibu bapak Tiara tak sabar, langsung membuka pintu. Tampaklah Tiara yang menekuk lutut di bawah lantai, gemetaran.

“Ada apa Tiara?” Bu Rafat dan Pak Rahman panik bukan main.

“Bu, a-ada ... ada babi.” Dengan suara serak nyaris hilang terbawa angin, Tiara mengatakannya sembari menunjuk kaca jendela.

“APA?!” Kedua orang tuanya saling pandang. Pak Rahman lalu segera menutup gorden rapat-rapat.

“Tuh, apa saya bilang. Ada babi besar banget, kan?” sela Bian. Meski dia pun ikut takut sekarang, ada rasa puas karena akhirnya dia bisa membuktikan tentang melihat babi besar itu lewat Tiara.

Namun, Bian dan Tiara pasti lebih takut lagi jika tahu kalau itu bukanlah babi biasa. Melainkan babi jadi-jadian.

***

“Apa?! Ma-maksud ibu babi yang tadi itu babi ....”

“Benar. Babi ngepet. Sudah hampir setahun desa kita diteror babi ngepet. Masih untung hanya uang yang hilang, Ra. Tapi nyawa! Nyawa, Ra! Sudah tiga yang tewas tak wajar di sini. Makanya Ibu tidak pernah mau kamu pulang. Tapi ternyata ... apa katamu tadi? Nurmaya yang memintamu pulang? Dia kurang waras, ya?” Bu Rafat marah ketika dengar kalau Nurmaya lah yang memanggilnya untuk pulang.

Tiara segera mengusap bahu ibunya. “Jangan takut, Bu. Kita punya Allah buat meminta pertolongan. Tiara yakin akan baik-baik saja selama di sini.”

“Tetap saja ibu khawatir. Apalagi babi jadi-jadian itu sudah melihat kamu dan Nak Bian, ibu tambah khawatir. Pokoknya besok langsung kembali ke kota, ya?” pinta Bu Rafat dengan mata memohon.

Tiara menghela napas dalam-dalam. Demi apa pun sangat terkejut ternyata sedang terjadi musibah di desanya. Dia benar-benar merasa bersalah karena membuat orang tuanya cemas sekarang. Harus bagaimana? Pulang? Hatinya mulai bimbang.

“Kita kembali sekarang, Ra. Kamu ikut atau tidak?” Bian angkat suara. Amit-amit jabang bayi jika Bian pikir harus mati konyol jadi tumbal di kampung pegawainya sendiri.

‘Ini gila, aku harus pulang apa pun yang terjadi!’ batinnya sambil membayangkan teror sang babi hitam besar itu. Ia mulai menyadari satu hal, sesuatu yang dia sebut sebagai sapi kala di jalan menuju desa ini, mungkin saja itu adalah makhluk yang sama. Babi jadi-jadian.

“Apa? Se-sekarang?” Tiara lihat jam di dinding masih menunjukkan pukul 3 kurang. Tidak mungkin, kan?

“Menunggu sampai pagi rasanya seperti menunggu giliran untuk ditangkap. Apalagi babi itu sudah melihat aku dan kamu. Bisa saja saat kita tidur makhluk itu nyerang kita, Ra. Aku tidak mau mati konyol di sini. Kamu ikut atau tidak terserah, aku mau siap-siap. Permisi, Bu, Pak ....” Bian si penakut segera ke kamar untuk membereskan baju yang sudah dia bongkar dari kopernya.

Keputusan Bian disambut baik oleh ibu bapak Tiara, tapi tidak dengan Tiara sendiri. Dia ingin tetap ada di sana walau berbahaya. Sahabatnya baru saja mati, menjadi salah satu yang mati tidak wajar, bukankah harus diusut? Mungkin dia pun menjadi salah satu yang ditumbalkan?

“Jangan gila Tiara! Dia sudah meninggal, ngapain kamu urus? Cepat ikut dengan bos kamu, dan jangan pernah kembali lagi ke sini sebelum semuanya selesai.”

“Tapi, Bu, Pak ....” Air mata Tiara tak lagi bisa dibendung. Sedih karena harus meninggalkan ibu bapaknya di desa yang bak tengah dapat kutukan. Sangat membuat sakit.

“Cepat, benar kata bos kamu, kembali malam ini juga.” Bapak Tiara setuju, mendorong putrinya untuk masuk ke kamar, menyuruhnya untuk mengemasi pakaian.

***

Pada akhirnya ... mau tak mau Tiara kembali ke kota bersama Bian. Meski berat, meski ibu bapaknya tak bisa dibujuk ikut, meski, meski, dan banyak lagi meski lainnya yang membuat Tiara tak kuasa menahan diri.

Sepanjang mobil melaju, dia terus menangis.

Sementara Bian, dia hanya bisa menyimak tangisannya dalam kebisuan. Sesekali waspada, takut tiba-tiba makhluk jadi-jadian itu muncul.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status