Part 39
"Gak! Aku gak mau pergi!" tolak Dinda ngambek.
"Beneran, Din, kamu gak ikut?" tanya Fani memastikan.
Dinda bergeming, menatap layar ponsel dalam posisi berbaring. Abai pada sahabatnya yang merengek.
"Din, maafin aku, dong? Aku ngaku, aku salah," lirih Fani penuh penyesalan. Namun, Dinda tetap saja diam.
Menyadari ada tamu yang menunggunya, Fani meninggalkan Dinda yang masih marah.
"Dinda gak mau, Pak," adu Fani sedih.
"Masih marah?" Mata elang Arya menatap gadis yang menunduk dan mengangguk sedih.
"Ya, sudah! Ayo, kamu saja yang aku ajak pergi." Fani menatap tidak percaya dengan apa yang ia dengar. Gadis itu mengira, tadi dosen mudanya hanya ingin menghibur s
"Sheren, kamu keterlaluan! Kalaupun ada yang harus kamu salahkan, itu aku. Jangan Fani! Dia tidak tahu apa-apa. Kata-kata yang kamu ucapkan sungguh telah memperlihatkan status dan pendidikan kamu!" Arya berdecak kesal."Apa yang salah dari kata-kata aku? Dia benar-benar sudah di luar batas. Gadis macam apa yang mau sama orang yang sudah bertunangan kau bukan gadis murahan!" Ejek Sheren penuh kesombongan."Kamu benar-benar kelewatan!" ujar Arya kecewa dan meninggalkan gadis yang kedua netranya sudah basah. Tidak lupa, Arya mengambil plastik berisi makanan yang sedianya akan diberikan pada Dinda dan juga uang yang terletak di meja.Tidak peduli Sheren yang menangis, Arya segera berlari menuju mobil yang terparkir di halaman rumah makan.Setiap orang diuji dengan kadar masing-masing. Dan terkadang, ujian itu datang secara bertubi-tubi. Bukan tanpa
Aku dan Ilma memang sahabt sejak kecil. Ilma hidup tertutup dulu. Hanya aku yang jadi temannya. Karena kebetulan, Bapak bekerja di toko abahnya Ilma. Itu sebabnya dia protektif sekali. Namun, sejak kejadian itu, aku sudah tidak pernah lagi berhubungan telepon dengannya. Entahlah sekarang bagaimana kabar dia. Kamu masih suka bertemu Ilma?" tanya Doni."Kadang. Tapi, kami selalu hanya saling menatap. Kemudian, Ilma yang lebih dulu pergi.""Kamu bisa datang minggu depan?""Mas Doni ke sini untuk mengundangku atau kebetulan saja kita bertemu?""Untuk mengundang kamu. Tapi kebetulan juga Bu Nia nyuruh ke sini,""Oh," bibir Fani membulat."Sekalian mau ada acara perpisahan," lanjutnya lagi."Perpisahan apa maksudnya?"
POV ARYAAku telah bersalah pada dia. Gadis yang selalu hidup dalam kecerian. Kata-kata yang diucapkan Sheren sebagai luapan kemarahannya sangat tidak pantas. Hati ini begitu kecewa dan semakin tidak suka padanya.Kejadian hari itu sudah tentu menjadi boomerang antar keluarga kami.Malam itu juga, Pak Sandi, papah Sheren datang bersama istrinya. Kali ini mereka datang ke rumahku. Bertemu dan berbicara hanya denganku."Betul apa yang diceritakan Sheren?" tanya Pak Sandi dengan nada yang berwibawa. Meskipun perjodohan kami terkesan memaksakan kehendak, tapi sikap pria dewasa itu masih selalu sopan dan tidak terkesan mengintimidasi."Betul, Pak," aku-ku jantan.Katidak-adaan keluargaku membuat aku leluasa berbicara apapun yang ingin aku ungkapkan.
"Kalau Ibu memang tidak suka dengan apa yang saya lakukan, batalkan saja perjodohan kami. Saya akan menerima dengan senang hati," ujarku memberi umpan."Apa maksud kamu? Apa kamu mau bilang kalau kamu tidak suka sama Sheren, begitu?" tanya istri Pak Sandi terlihat tersinggung."Bila saya bilang iya?" Aku bertanya dengan tidak mempedulikan apapun resikonya nanti."Sheren sudah memberikan perasaannya sama kamu. Padahal, di luar sana banyak sekali pemuda yang ingin mempersunting dia. Tapi dia memilih kamu. Sombong sekali bilang tidak suka sama anakku. Apa kurangnya dia?" tanya mama Sheren lagi."Perasaan adalah sesuatu hal yang tidak bisa dipaksakan, Bu," ujarku lirih."Arya, sabarlah! Jangan mengambil keputusan dalam keadaan emosi. Kalian sudah menjalani hubungan sejauh ini. Jangan sampai membuat kami malu. Ini h
Hari yang ditunggu Doni tiba. Dengan penuh semangat, dirinya bersiap dari pagi. Sejak semalaman tidak bisa tidur karena sangat bahagia. Baju putih celana hitam dan juga sepatu kulit ia kenakan. Semuanya dibelikan Irsya. Begitupun dengan baju yang dipakai ibu juga kedua adiknya. Semuanya berasal dari Nia.Emak dan ketiga adiknya juga sudah dari pagi buta mempersiapkan diri untuk mengikuti acara wisuda yang terasa sangat spesial.Adik Doni yang pertama perempuan bernama Liska. Berusia sama dengan Ilma. Saat ini bekerja di sebuah apotek. Tidak melanjutkan sekolah setelah SMA karena ingin membantu keluarganya yang pas-pasan. Adik Doni yang kedua masih SMA, bisa sekolah dengan dibiayai Liska. Sementara yang terakhir duduk di bangku SMP.Mobil Nia terparkir di halaman rumah. Sengaja dipinjamkan agar Doni bisa leluasa mengajak keluarga yang ingin ia ajak.
"Din, kira-kira Si Ilma datang gak ya?" tanya Fani khawatir sambil menunggu jemputan."Kalau datang kenapa? Emang masih punya nyali buat berlagak?" tanya Dinda balik sembari memotong kuku."Kamu ikut yuk, Din," ajak Fani."Ogah ih. Kayak nyonya ma asisten nanti. Penampilan kamu sempurna gitu," tolak Dinda."Aku nanti kalau ketemu Ilma gimana? Masih trauma berurusan dengan gebetan orang,""Udah cangtip nanti kalau makan lauknya ganti! Malu-maluin kalau pesannya cuma sambal sama kerupuk!" ucap Dinda mengalihkan pembicaraan."Dinda apaan sih ah?""Lagian, kamu hobi banget makan sambel sama kerupuk sih, Fan? Habis dua bungkus lagi!""Din, aku ganti aja apa ya bajunya? Formal gini,"
POV ILMAAku masih bertahan menjalani hariku meski dengan perasaan hampa. Ingin rasanya keluar dari kampus ini dan pulang untuk menemani Umi di rumah. Karena aku merasa, sudah tidak ada lagi yang aku perjuangkan.Namun, Umi selalu mendorong aku untuk tetap bertahan. Kepada beliau, aku tidak menceritakan apapun yang tengah aku menimpaku saat ini. Karena bila beliau tahu, sudah pasti aku dimarahi."Sayang, kamu sudah sejauh ini berjalan. Tinggal sebentar lagi. Ayo, bertahanlah Ilma! Kalau ada masalah apapun, ceritakan sama Umi. Siapa tahu, Umi tahu solusinya," ujar Umi kala itu. Membuat aku tidak punya pilihan lain.Pekerjaanku dengan Pak Juan juga masih berjalan. Karena bagaimanapun, kami saling membutuhkan. Masalah Fani waktu itu, kami sudah sepakat untuk melupakan. Rasanya, aku berada di titik terhina dalam hidup. Ha
Aku segera menyalami Emak dengan sopan dan menampakkan sikap lemah lembut. Berusaha semaksimal mungkin agar Fani semakin panas."Emak apa kabar?" tanyaku basa-basi."Baik, Mbak Ilma," jawab Emak dengan raut wajah yang cemas. Entah apa yang dipikirkan."Mak datang ke sini naik apa?""Naik mobilnya Bu Nia." Hatiku yang kini jadi panas. Sejauh itukah kakak Fani melakukan pencitraan dengan barang mewahnya? Sengaja-kah membuat keluarga Mas Doni merasa berhutang jasa sama mereka?"Liska, kamu gak kerja?" Aku balik bertanya pada adik Mas Doni. Akan aku gunakan kesempatan sebelum Mbak Nia datang untuk membuat Fani meradang."Enggak, Mbak. 'Kan Mas Doni wisuda,""Ah, iya. Dasar aku. Eh, mau minum es dulu? Ayo aku traktir,"