Aku terbangun saat mendengar bunyi bising yang segera disusul tangisan kencang Caca. Dengan mata sangat mengantuk, aku beranjak bangkit, sambil mengikat rambut melangkah menuju ruang tengah. Aku tertegun melihat Mas Zain tidur bersidekap di sebelah Caca yang terlihat begitu ketakutan. Bocah itu langsung mengulurkan tangan saat bundanya ini mendekat."Takuut." Rengeknya. Matanya basah oleh air mata. "Kenapa takut? Om Zain kan gak galak." Cuma mengerikan, imbuhku dalam hati sambil mencuri pandang ke arahnya. Lelaki itu hanya tidur mengenakan kaus dalam dan celana di bawah lutut. Tampak damai tidurnya dan sedikit mendengkur, tiba-tiba mengingatkanku akan keberadaan Mas Yoga.Sayup-sayup, terdengar suara Putri tengah berbincang dengan Ibu. Segera kugendong Caca menuju dapur. "Mau masak apa, Bu?" tanyaku sambil memperhatikan wadah sedang berisi cairan putih kental. Di sebelahnya, ada tempe yang dipotong segi tiga, diiris tipis. Ibu tersenyum. Wajahnya terlihat segar dengan rambut masih b
Aku tak mengatakan apa-apa, hanya memeluk Farhan erat. Bunda juga kangen pada ayahmu, Nak. Tapi bunda tak ingin kembali lalu disakiti lagi. Tak akan pernah ada kesempatan kedua."Bunda, aku sebentar lagi masuk sekolah, kan?" Farhan mendongak. Kuusap air jernih yang menggantung di sudut matanya."Iya, Sayang. Tunggu paketannya datang lalu bunda urus pendaftaran di sekolahmu yang baru, ya?"Farhan mengangguk antusias. Diulurkannya HP yang langsung kuterima. Ada beberapa pesan masuk dari Mas Yoga. Tanpa membaca, langsung kuhapus."Sudah siap?"Suara berat sedikit serak itu refleks membuatku menoleh ke belakang. Mas Zain berdiri di belakangku membawa kunci motor. Kuusap kepala Farhan."Bunda pergi dulu, ya? Mau cari rumah untuk kita tinggali.""Kenapa tidak tinggal di rumah ayah saja, Bun?" Farhan memandangku terlihat begitu berharap. Andai kamu tahu, Nak, tidak semudah itu menyatukan dua orang dewasa dalam satu rumah. Pernikahan itu benar-benar aneh. Tapi yang namanya anak kecil, tidak t
"Bagaimana?"Hening di antara kami."Cinta ...."Hanya lirih, tapi membuatku tersentak kaget. "Eh, ump ... gimana, ya?" Aku menggaruk rambut. Lalu menggigit bibir. Ini kebiasaan kalau sedang gugup, amat sulit dihilangkan. Keheningan ini, terus saja membuat dada berdebar tak karuan, sungguh bingung mau bilang apa. Kembali aku menggaruk rambut. Berdiri berhadapan dengan jarak yang begitu dekat, membicarakan sesuatu yang serius pula, membuatku amat tidak nyaman."Aku bertanya padamu." Tatapannya begitu lekat ke wajahku, tangannya menyentuh tempurung kelapa dengan akar mengelilinginya. Satu tangannya lagi masih menggenggam pisau tajam."Ummp ... aku ... aku gak mungkin menikah dengan lelaki yang gak kukenal, Mas." Akhirnya ucapan itu meluncur juga, sedikit membuatku lega walau belum sepenuhnya menghilangkan gemuruh dada."Kita menikah, lalu baru bisa saling mengenal." Tatapannya terus terpacak ke wajahku. Aku menggeleng pelan. "Lalu kalau gak cocok, akan bercerai, begitu?" tanyaku."Apa
Mas Zain tengah sibuk memasukkan ikan-ikan ke dalam plastik kecil transparan saat aku sampai di rumah. Segera kuletakkan barang belanjaan ke dalam kulkas lalu menidurkan Caca. Setelah ia pulas, barulah aku menuju jemuran. Langit agak mendung, jadi kuangkat milik Mas Zain sekalian, melipatnya rapi dan memasukkan ke dalam koper. Sudah rapi semua, saatnya pergi dari sini. Aku menuju dapur untuk pamit pada Mas Zain, tapi lelaki itu sudah tak ada. Di mana dia?Aku keluar dari dapur, menatap lurus ke kolam ikan, ia tak tampak. Akhirnya, aku kembali masuk rumah dan keluar dari pintu depan, menatap lurus pada area persawahan. Mas Zain ada di sana ternyata. "Mas Zaiiin!" Seruku. Ia berdiri membelakangiku, mungkin tak mendengar. Aku kembali masuk rumah untuk memastikan Caca benar-benar pulas lalu berjalan di pematang sawah menyusul Mas Zain. Di kanan dan kiriku padi-padi telah menguning, tampaknya sudah siap panen. "Sedang apa, Mas?"Mas Zain langsung menoleh. "Lihat kebun," sahutnya, tatapa
POV Zain"Bunda kenapa kok kayak ketakutan gitu?" Terdengar lagi suara Caca.Ketakutan? Maksudnya? Apa Cinta takut padaku karena pengakuanku tadi?Aku menghela napas memikirkan kemungkinannya. Bisa jadi dia juga takut padaku seperti gadis-gadis di sekitar sini. Sudah pasti orang tua mereka yang memberi tahu agar tak dekat-dekat denganku, seolah aku bakal melakukan hal yang sama seperti yang kulakukan pada Talita pada sembarang gadis."Cinta." Panggilku, tak ada sahutan juga. Ibu sebenarnya sudah mewanti-wanti agar Cinta jangan sampai tahu mengenai hal itu. Tapi aku merasa tak nyaman jika mengajaknya serius membina hubungan tanpa dia tahu tentang masa laluku."Cinta." Kuketuk lagi pintunya."Bundaa, aku lapar." Suara Caca kembali terdengar. "Buuun, makan yuuk?""Cinta." Tok tokApa dia pikir aku bakal bertindak asusila padanya? Memikirkannya, membuatku sedikit jengkel."Cinta."Atau apa jangan-jangan ... dia tidur?Tok tok."I-iya, Mas, sebentar. Aku agak enggak enak badan."Aku membal
POV Yoga"Buka, Mbak! Buka pintunya, Mbak! Mbak, apa-apaan ini?!"Tok tok tok!Brak brak brak!Bunyi gaduh itu membuatku perlahan membuka mata, sedikit menutupnya lagi karena rasa kantuk yang begitu hebat."Mas! Apa yang terjadi?! Apa yang terjadi padamu, Mas! Maas!"Terdengar pekikan histeris, lalu bahuku diguncang keras dan pipiku dipukul-pukul. Kuusap-usap mata karena kantuk yang begitu hebat."Ada apa, An, menggangguku tidur saja," kataku sambil mengusap mata."Mas, apa yang terjadi padamu, Mas?! Mana ... itu ... itumu ke mana?" Anita menatapku dengan wajah luar biasa panik. Ada gunting berlumur darah di meja. Juga plastik transparan berisi ....Aku memandangnya tercekat dengan mata melebar, tak asing dengan benda yang mengerut berlumur darah itu. Seperti ... perlahan, aku memandang ke bawah. Tampak perban di area alat vitalku. Apa-apaan, ini? Dadaku berdebar membayangkan yang bukan-bukan. Cinta. Apa yang sebenarnya telah dia lakukan?Anita meraih plastik berisi benda tak asing it
POV ZainCinta menatapku dengan wajah sulit diartikan. Apa aku keterlaluan?Entahlah. Segera kusimpan nomernya lalu mengulurkan HP padanya. Dia segera menerimanya, menatapku terlihat tak nyaman. Tingkahnya membuatku jadi merasa tak enak hati. Tapi segera kuacuhkan perasaan itu dan bersikap seolah tak terjadi apa-apa. Bukan hal aneh, bukan, meminta HP-nya dengan sedikit memaksa? Dulu saat masih sekolah, aku juga sering melakukannya pada gadis-gadis. Juga pada Talita. Bukan berarti ingin mengulangi kenakalan dulu, hanya saja, tadi terjadi secara refleks."Ump, aku pulang dulu, Mas.""Di mana kamu tinggal?" Tatapku."Rumah saudaranya temanku," sahutnya dengan tatapan ke arah lain. Ia tersenyum tampak canggung lalu melangkah menuju rumah. Aku mengiringi langkahnya menuju ruang tamu di mana Caca dan Farhan tengah makan sambil mengobrol."Ayo anak-anak, kita pulang." Cinta menatap Caca dan Farhan bergantian. Ia tersenyum kecil saat tatapan kami tak sengaja bertemu."Biar dihabiskan dulu m
POV CintaAku segera ke sanaJantungku berdegup kencang. Bahkan hanya membaca pesannya saja sudah membuat perasaanku campur aduk begini. Mana mungkin aku pergi dengan Mas Zain yang kelewat pendiam itu? Belum lagi, masa lalu kelamnya membuatku takut setengah mati.Sepuluh menit lebih, aku hanya mondar-mandir di dapur, sesekali memperhatikan Caca dan Farhan yang tampak asyik memberi makan ayam di halaman belakang."Kur kur kur kuuur!" Teriak Ibu Neni sambil terus menyawur-nyawurkan beras ke segala arah, begitu pun dengan Caca dan Farhan. Ayam-ayam jago juga betina mematuk beras sambil sesekali mengejar ayam yang lebih kecil. Aku menghela napas. Haruskah aku pergi dengan Mas Zain?Kalut. Juga bingung. Ingin menolak namun tak enak, tapi jika memilih pergi ... perasaanku juga tak nyaman. Tapi biar bagaimanapun, Mas Zain pernah begitu baik menolongku memberi tempat tinggal. Tapi kenapa perasaanku begitu tak nyaman mau pergi dengannya? Bingung. Sungguh bingung. Aku terus mondar-mandir denga