BAGIAN 4
“Gis, kamu mau ngapain?!” Mas Faris menahan tanganku erat ketika aku hendak membuka pintu lemari. Kuat kutepis, tetapi dia enggan untuk melepas.
“Lepas!”
“Nggak! Aku nggak akan ngelepasin kamu, Gis! Kamu istriku. Kamu nggak bisa seenaknya kaya gini.” Napas Mas Faris terdengar menderu. Kilatan di kedua netranya yang pekat membuatku agak gentar. Namun, kukuatkan tekad untuk memberikan perlawan ke tiap blunder yang Mas Faris buat.
“Kamu suamiku. Kamu juga nggak pantes untuk giniin aku, Mas! Satu, kamu nggak mau dengerin aku. Dua, kamu lebih mihak ke ibumu padahal dia salah. Dan tiga, jangankan mau minta maaf, yang ada malahan kamu merasa paling benar! Kamu dan Ibu sama aja, Mas. Sama-sama egois!” Kuempaskan tangan Mas Faris. Cengkeramannya yang memang mulai mengendur ketika panjang lebar kusemprot, kini terlepas sempurna.
“Oke, fine! Gista Visesa, aku minta maaf ke kamu, Sayang. Maafin Ibu. Maafin aku karena udah banyak salah.” Mas Faris berucap. Masih dengan nada yang tak terima. Sorotnya pun seolah enggan buat dibantah. Keras kepala. Ternyata itulah sifat aslinya.
Kupicingkan mata setajam mungkin. Mencoba untuk menatap pria yang mempersuntingku enam bulan lalu dengan mahar berupa 50 gram emas batangan dan seperangkat alat salat. Sifatnya yang kunilai cool, pendiam, dan penyabar, kini sirna sudah. Aku bahkan menyesal mengapa harus berjumpa dengannya di reuni akbar SMA kami, hingga menerima pinangannya yang mendadak dan super cepat. Kalau tahu akan dijadikan babu, lebih baik aku terus bekerja dengan Pak Ken sebagai sekretaris pribadi notaris beken tersebut.
“Maafmu tidak tulus, Mas. Ada dongkol di hatimu. Aku tahu itu.” Aku menunjuk dadanya dengan tekanan pada telunjuk. Lelaki itu semakin dingin dalam menatapku.
“Apa kamu ingin aku mencium kakimu, baru kamu maafin, Gis?”
Kukibaskan tangan sambil menahan senyum sakit hati. “Nggak perlu, Mas! Nggak ngaruh. Aku hanya ingin pulang ke rumah Mama-Papa. Hidup bahagia di istana mereka. Menjadi putri yang tidak perlu bangun pagi buta hanya untuk belanja dan menyiapkan makanan seperti di sini. Bukan aku tidak ikhlas ya, Mas. Aku hanya kecewa saja. Dikatakan beban oleh mertua itu rasanya sakit, Mas!”
Mas Faris tertunduk lesu. Dua tangannya lalu mengepal dengan bibir yang terkatup rapat. Aku tak peduli. Bodo amat!
Gegas kubuka lemari pakaian kami yang berwarna hitam. Semua pakaian milikku kukeluarkan. Kuambil pula sebuah tas jinjing kulit warna cokelat dari atas lemari. Seluruh barang-barang pribadiku kini berpindah ke dalam tas.
“Gis, tidak semua masalah harus diselesaikan dengan otot. Aku mohon padamu, Gis. Jangan gegabah. Tidak baik kalau kamu turun dari rumah begini. Orangtuamu nantinya akan salah paham.” Mas Faris terdengar membujuk. Tangannya lembut meraih pergelangan kiriku. Aku sontak menghentikan aktifitas sejenak. Menatap pria itu dengan pandangan penuh luka.
“Ini keputusanku. Tolong hormati, Mas. Ibumu tak senang aku di sini. Katanya, enam bulan di rumah pun, aku juga tak kunjung bunting. Kamu tahu kan, Mas, istilah bunting itu untuk hewan. Hewan, Mas! Hewan! Aku ini manusia, bukan kambing atau kucing!”
Suamiku terdiam. Pria 28 tahun itu seperti kebingungan harus berkata apalagi. Laki-laki tidak tegas! Hidupnya malah bernaung di ketiak ibu. Bahkan dia sudah tak bisa lagi membedakan mana salah mana benar.
“Aku akan ke rumah orangtuaku mulai hari ini juga. Terserah apa katamu. Aku tidak peduli. Kamu mau talak aku pun, aku tak keberatan!”
Tas yang sudah penuh terisi dengan pakaian langsung kujinjing. Mas Faris yang semula terdiam, langsung mengambil alih tasku. Matanya tampak berembun.
“Aku ikut kamu, Gis. Ikut ke mana pun kamu pergi.”
Air mata Mas Faris luruh. Tak sedikit pun membuatku iba. Astaghfirullah, hilangkah perasaanku padanya kini?
(Bersambung)
BAGIAN 5 “Nggak usah. Kamu di sini aja sama ibumu. Dia lebih berhak mendapatkan kasih sayang dan kehadiranmu ketimbang aku!” Aku membuang muka. Tangisan Mas Faris malah terdengar kian keras. Aku enggan untuk peduli. Gegas kukemaskan diri. Menukar pakaian dengan sepotong gamis satin bermotif abstrak warna abu-putih-merah muda. Sebuah pasmina crinkle berwarna cokelat tua pun kukenakan dengan hanya sebuah jarum pentul untuk mengencangkan bagian dagu. Selebihnya, dua sisi pasmina itu asal kulemparkan ke atas dua pundak. Tanpa perlu mematut diri di depan cermin, aku beringsut seraya menyambar tas jinjingku dari genggaman Mas Faris. “Gis … aku ikut.” Dia beru
BAGIAN 6 “Lepas!” Aku berontak. Berusaha untuk melepaskan diri dari dekapan Mas Faris. Apalagi, suara klakson di depan sana terdengar sangat membisingkan gara-gara lalu lintas sempat macet akibat aksi memalukan suamiku. “Bikin malu aja!” kataku jengkel. Mas Faris pun melepaskan pelukannya. Gegas, aku masuk ke mobil. Mukaku sudah merah sekali pasti. Rasa malu yang mendera akibat jadi tontonan orang ramai, membuatku buru-buru masuk ke mobil untuk menyembunyikan diri. Suamiku ikut masuk. Dia buru-buru menyalakan mesin. Perlahan dia memajukan mobilnya dan menyetir dalam kecepatan sedang. “Gis,
BAGIAN 7 Dua puluh menitan lebih berkendara, akhirnya kami tiba di depan halaman rumah orangtuaku. Dua minggu lalu terakhir kali aku main ke sini. Menjenguk adikku, Gio, yang terkena demam tifoid alias tipes. Rasanya, aku sudah rindu sekali ingin tidur di ranjang kamarku yang lega. Menikmati harumnya kamar masa remajaku yang penuh kenangan. Lekas aku turun dari mobil sambil menjinjing tas. Mas Faris yang secepat kilat menyusul pun, merampas tasku. Demi terlihat baik, dia membawakan tas itu sampai ke depan pintu. “Gis, aku mohon. Bicara yang baik-baik saja. Katakan kalau kamu rindu dan ingin menginap di sini,” ucap Mas Faris dengan mata yang penuh pinta. “Iya,” sahutku.
BAGIAN 8POV AUTHOR “Ma, bawa Gista ke kamar. Kamu, Gio, masuk ikut Mama. Papa mau bicara empat mata dengan laki-laki ini.” Herlambang memberikan perintah pada keluarganya. Tanpa dibantah sepatah kata pun, ketiganya langsung menurut. Hazra—istri dari Herlambang yang berkulit putih bersih dengan wajah persis mirip putri sulungnya, kini merangkul Gista untuk masuk ke kamar. Begitu juga dengan Gio. Cowok 17 tahun yang masih duduk di bangku kelas XI SMA itu pun mengikuti langkah mama dan kakaknya. Kini, tinggal Herlambang bersama sang menantu yang berdiri di ruang tamu. Tangan Herlambang yang cukup kekar dan penuh kekuatan meski usia tak muda lagi itu pun melepaskan cengkeramannya dari kerah baju Faris.&nbs
BAGIAN 9 “Gista, Mama sebenarnya … nggak mau kamu gegabah dalam mengambil keputusan.” Mama tiba-tiba menasihatiku ketika kami hanya berduaan di kamar. Beliau duduk di atas ranjangku, sementara aku berbaring di atas pangkuannya dengan air mata yang kini perlahan menitik. “S-sakit rasanya, Ma,” lirihku sambil menghapus jejak bulir kesedihan di pipi. “Iya, Mama tahu, Sayang. Tapi, kamu harus tahu, kalau setiap pernikahan itu pasti ada cobaannya. Pernikahanmu baru seumur jagung. Bukankah semuanya bisa diselesaikan baik-baik?” Kalimat demi kalimat yang Mama lontarkan begitu bijaksana. Akan tetapi, sedikit pun rasanya aku bergeming dari nasihat itu. Kugele
BAGIAN 10 “Ih, ngaco kamu!” Aku mengibaskan tangan sambil cepat-cepat mengusap ujung pelupuk. “Eh, iya nggak, sih?” “Mau hamil apa enggak, tetap aja bisa cerai. Nggak ngaruh. Aku tetap mau cerai. Titik!” Aku bersikukuh dengan segala keras kepalaku. Andai kata memang hamil, ya sudahlah. Mau bagaimana lagi? Lebih baik aku di sini membesarkan anakku, ketimbang harus bersama Mas Faris dan ibunya. Aku sudah ogah! “Kamu mau tes urin, nggak? Apa mau aku beliin?” Gio yang penuh perhatian itu bertanya sambil menatapku dalam. Aku yang masih agak eneg, hanya bisa menerawang ke langit
BAGIAN 11 Ponsel terlepas dari genggamanku. Telepon dari Farah tak lagi kugubris. Aku kini sibuk dengan muntahan yang berbentuk cairan kuning tanpa isi sisa makanan apa pun. Bahkan cairan kuning pahit itu lambat laun sudah enggan keluar dari lambung. Sepertinya, isi perutku sudah terkuras habis. “Gista!” Sontak aku menoleh ke muka pintu sana. Terlihat, sosok Mama dengan piyama rumahannya yang berwarna merah muda dengan motif burung flamingo itu pun gegas mendatangi ranjang. Rautnya khawatir sekali. “Kenapa kamu, Gis?” tanya Mama. Beliau tampak membeliakkan mata demi menatap selimutku yang kini terkena muntahan.&nb
BAGIAN 12 Takut-takut aku masuk ke mobil Pak Ken. Sebuah Jeep Wrangler Rubicon dengan warna merah yang ngejreng itu kini menjadi saksi bisu betapa berdegupnya jantungku. “P-pak … aku minta maaf,” ucapku tergagap ketika duduk di sebelah kursi kemudi. Pak Ken diam. Lelaki yang melinting kemejanya hingga siku itu fokus menyetir. Kulihat sekitar, dia tak membawa tas kerjanya. Kutoleh lagi ke bangku belakang. Tidak atas tas ataupun laptop di atas bangku penumpang. Jadi, aku mau dibawa ke mana? “Pak, ada klien yang mau ditemui?” tanyaku pelan. Lelaki itu masih diam. Dia menatap lurus ke depan de