Selama makan malam, aku tahu mama akan melakukan kebiasaannya jika kami makan bersama. Mengambil nasi, lauk pauk dan meletakkannya di depanku.“Makanlah sepuasnya, ini makanan kesukaanmu,”kata mama paru goreng di piringku.“Ma, biar aku sendiri yang ambil, mama makanlah juga,”kataku sambil menyendok nasi ke piring mama.Adik-adikku tertawa melihat aku dan mama saling menambah lauk di piring makan.“Mbak lupa kebiasaan mama , terakhir makan dan menghabiskan semua makanan di meja makan.”“Iyalah kalian kan butuh lebih banyak gizi dari mama?” kata mama.“Ma, kita sudah kelebihan gizi, lihat dik Bagas, perutnya menonjol terus.” Jawab Fanny.“Yang kurang gizi sih mbak Jeje, lihat tuh tulang di lehernya menonjol ke luar.”“Apakah makanan di LA tidak sesuai dengan lidahmu?” tanya mama.“Ada sih yang sesuai tapi Jeje jaga badan, takut jadi gemuk. Ada turunan gemuk di keluarga kita.”“Siapa?” tanya kedua adikku.“Itu tuh yang perutnya menonjol,” kataku, disambut Bagas dengan tertawa .Aku me
Ekspresi wajah mama menunjukkan ada yang ingin ditanyakan. Mama menarik napas pelan, mungkin menimbang-nimbang apakah pantas dia menanyakannya dan apakah aku akan menjawab atau menolak menjawab pertanyaan mama.Mama menatapku lekat-lekat, “ Je, apakah mama berhak menanyakannya kepadamu?”“Silahkan ma, Jeje akan menjawab, jika Jeje rasa mama perlu mengetahuinya.”“Apakah hanya bermanja-manja atau lebih dari itu?” tanya mama was-was.“Maaf Ma, Jeje sangat ingin dimiliki dan memilikinya. Kami melakukannya.”“Cukup!” kata mama.Aku menatap mama, “ Jeje mencintainya ma, demikian juga oom Bulus mencintai Jeje.”“Kalau dia mencintaimu dia tidak memaksamu melakukan hubungan intim,”“Tidak ada paksaaan Ma … Jeje melakukannya karena cinta.”“Kamu tidak menanyakan apakah dia punya isteri?”“Jeje tanya, dia bilang dia lajang, tidak laku. Jeje percaya karena setiap hari kami selalu bersama. Kalau Jeje pulang kuliah ke apartemennya, tidak pernah ada perempuan.Jeje percaya. Entah mengapa Jeje malah y
Setelah syukuran sederhana, besoknya aku kembali ke Jakarta dengan bis. Aku ingi menikmati perjalanan dan memikirkan dan menyusuri jalur yang akan kutempuh nanti jika telah menemui daddy. Mengingat daddy jantungku tidak lagi berdegub kencang, tidak seperti sebelumnya begitu mengingat daddy jantung berdegub kencang dan rindu mendepak hatiku ingin bertemu dengannya.Setelah membuka blokir kenangan yang kusimpan dalam-dalam, rindu tidak berbekas lagi dalam pikiranku, malah hatiku rasanya lapang melepaskan daddy dari pikiran dan hatiku. Aku sudah tidak mempertahankan daddy dalam pikiran dan hatiku. Seperti kata mama mungkin dia sudah rujuk kembali dengan isterinya.Waktu telah menunjukkan sebentar lagi bis akan memasuki rest area, tiba-tiba ada keinginan menelpon profesor. Sudah dua hari kami tidak menelpon.“Hallo,” Mendengar suara baritone profesor aku langsung terdiam.“Hallo Jess?” terdengar kembali sapa profesor.“Hi.”Jawabku. Jantungku mendadak berdebar tak karuan, sulit bagiku u
Hidup bukanlah apa yang terjadi di sekitar anda, tetapi kebenaran hidp adalah yang terjadi pada diri anda.Kebenaran hidup dalam banyak kasus yang kuhadapi orang-orang di sekitar kita yang membuat kita bisa hampa tanpa kepastian hidup, hidup dalam kebahagiaan dan hidup dalam kegelisahan.Aku pernah mengalami hidup hampa ketika papa meninggal, semua yang ingin kuraih aku harus merangkak agar dapat lulus SMA dan menggapai cita-citaku. Keberadaan oom Bimo dan Bulus, hidupku yang merangkat, aku bisa bangkit berdiri. Tawaran oom Bulus mengikatku dalam kontrak membuatku bahagia. Aku telah melampaui hidup itu, kebahagiaan bersama oom Bulus dan profesor Black, bahagia lahir dan batin, menikmati kemewahan dan kenikmatan suatu hubungan terlarang.Sekarang aku hidup dalam kegelisahan di kamar kost, merenung apa yang akan aku lakukan mencari kebenaran hidupku yang telah dihempaskan lima tahun lalu. Langkah apa yang harus kutempuh? Diawali dari mana? Menemui keluarga oom Bimo? Apakah mereka sudah
Proses menghilangkan oom Bulus dari benakku sulit kulepaskan ada satu nama Adhikara Sriyanto Baskara ketika nama itu aku bisikkan perlahan-lahan. Waktu itu dengan alasan belum siap hamil, belum siap mengandung selama sembilan bulan,belum siap melahirkan dan merawatnya , naluri keibuanku yang kusembunyikan tiba-tiba menyulut keluar saat oom Herkules marah ketika aku menanyakan keberadaan anakku.Kata-kata oom Herkules ,mbak sekarang meminta hak ingin mengetahui keberadaan anak mbak?Kemana mbak selama ini? Menghilang tanpa jejak! Aku meringis bukan karena sakit tapi kata-kata pedas oom Herkules setajam silet. Aku merasa dipermalukan.Waktu itu logika yang kupakai lebih kuat daripada naluri keibuanku, membuat aku melarikan diri ke Amerika, Los Angelus dengan alasan meraih cita-citaku hanyalah puncak dari kemarahanku untuk membuat daddy menyesal karena menduakan aku dengan Herlina , isterinya. Aku ingin dinomor satukan oleh daddy , ternyata daddy lebih memilih Herlina dan mama Soray
Malam hari profesor Black menelponku, aku melirik jam delapan malam, berarti di LA jam enam pagi pasti dia menginginkanku. Benar perkiraanku, dia mengajak melakukannya lagi, aku katakan aku tidak berminat. Permainan itu tidak menyelesaikan masalahku, aku tetap stress. Terlihat wajahnya kecewa.“Kalau kau ingin lakukanlah sendiri,” kataku.“Tapi tadi sore kamu melakukannya dengan sangat baik, kau mengerang , mendesah dan menjerit.” Protesnya.“Pop, itu kenikmatan semu, aku ingin yang nyata.”“Terbanglah ke LA.” Bisiknya parau.“Masalahku belum selesai, “ kataku.“Kapan kau mulai bertindak?” tanyanya.“Besok, aku akan ke kantornya.” Kataku mantap.“Baiklah, tidurlah suaramu menandakan kau mengantuk.”“Sorry, aku tidak bisa memenuhi permintaanmu.”Kataku.“Aku bisa melakukannya dengan deasy.” Katanya.Aku tersenyum mendengar namanya, pilihan terakhir profesor Black, aku tidak cemburu pada deasy, biarlah profesor mengeksplotasinya, batinku.Akupun menghela napas, mengatur bantalku agar ter
Taksi online berhenti di apartemen Bougenville, aku memandang kea rah apartemen, perasaanku berkecamuk apakah tepat saat ini aku bertemu dengannya?“Mbak sudah sampai, ongkosnya lima puluh dua ribu rupiah.”“Oh, maaf.” Kataku lalu mengambil dompet dan memberikan uang lima puluhan dan satu puluhan ribu. Tidak usah kembaliannya. Terima kasih.”Kataku langsung membuka pintu mobil dan menurunkan kakiku yang terasa enggan melangkah keluar mobil.Firasat hatiku mengatakan akan terjadi sesuatu. Apakah pertemuanku dengan oom Bulus akan berakhir dengan penuh haru biru atau penuh dengan umpatan karena meninggalkannya sehingga oom Bulus jatuh terpuruk?Aku masuk ke lobby, resepsionis yang sibuk dengan ponselnya sempat mengacukanku. Aku melihat wajah baru , bukan mbak Santi atau mas Jorgin. Mungkin mereka sudah resign, batinku. Ada kelegaan bahwa resepsionisnya adalah orang baru sehingga memudahkanku untuk berbohong mengenai identitasku.Tiba-tiba segerombolan orang berpakaian hitam memasuki aparte
Aku membayangkan matanya yang kejam dan licik, apa yang dilakukan dengan anakku?, batinku. Tidak lama mobil hitam masuk ke halaman apartemen, sekitar delapan orang berpakaian hitam turun dari mobil, langsung masuk ke dalam apartemen.“Anakku dalam bahaya,” bisikku pelan.Aku yang semula bergeming di tempat kemudian tersentak mendengar bisikanku, naluri keibuanku terhempas keluar. Sebuah tangan kasar, kuat menahan langkahku yang akan keluar dari supermarket, perhatianku terpecah antara menyelamatkan anakku dan tangan yang memegang lenganku.Aku tertegun merasakan remasan tangannya yang kuat di lenganku, bau maskulih khas yang dimilikinya masuk melalui hidungku disertai aroma nikotin, Oom Bulus, batinku.Pria di belakangku lalu memelukku,”Jangan gegabah, mereka akan meluamtmu.” Bisiknya.“Oom Bulus?” bisikku.“Sekarang aku menjadi oom bukan daddy?” bisiknya menyebarkan aroma nikotin yang berhembus keluar dari mulutnya.Ada rasa tidak nyaman dalam pelukannya, aku berusaha waspada, siapa t