Kei tengah membereskan barang-barangnya ketika Arka memasuki kamar. Sejenak pergerakan tangan Kei terhenti, ia tak mau menoleh meski Arka duduk di sebelah kopernya. Tak ingin menghiraukan keberadaan pria itu, Kei kembali melanjutkan kegiatannya.Ia hanya ingin cepat pergi, beberapa saat yang lalu ia sudah menghubungi Hiko agar pria itu menjemputnya. Kei belum siap pulang ke rumah orang tuanya, ia ingin mencari tempat tinggal sementara sampai ia siap mengatakan semuanya pada keluarganya."Kei, tolong pikirkan lagi. Aku tahu aku salah, dan kesalahanku sungguh besar, tapi beri aku kesempatan untuk menebus semuanya," pinta Arka. Biarlah ia menjadi pria tak tahu diri yang membuang rasa malunya demi mendapat maaf dari Kei."Kita sudah membicarakan ini mas, aku sudah memaafkan mu, aku bahkan tidak bisa membencimu. Aku bodoh bukan? Setelah semua yang sudah kamu lakukan padaku, aku tetap tidak bisa membencimu. Tapi mas, kamu sudah berjanji akan melepaskan ku saat aku dan kak Cio terbukti tidak
Hujan turun begitu deras, mengguyur bumi sejak satu jam yang lalu. Cahaya jingga sore itu tak terlihat, tertutup awan mendung yang tampak kelabu.Seorang pria tampan tengah berdiri di pintu pembatas antara kamarnya dan area balkon. Menyenderkan tubuhnya pada tiang pintu menatap guyuran hujan di luar sana. Entah apa yang pria itu pikirkan, ia begitu betah menatap hujan.Helaan nafas panjang beberapa kali terdengar berhembus dari mulutnya, sudah satu bulan ia menjalani hidupnya dengan hambar.Entahlah, sejak kepergian istrinya, warna dalam hidupnya seolah ikut pergi juga. Ia bahkan tak pernah menghubungi kekasihnya, entah bagaimana kabar gadis itu, karena gadis itu pun tak pernah menghubunginya atau mencarinya.Adalah Arka, pria yang tampak sedikit tak terurus itu menjalani hari-harinya dengan tak bersemangat. Arka menghabiskan waktunya hanya untuk bekerja dan bekerja, terkadang ia tak pulang, dengan dalih lembur dan banyak pekerjaan, pria itu menghindari rumah yang sejak dulu menjadi t
Sudah lima belas menit Arka menatap sebuah surat yang beberapa saat lalu Hiko berikan padanya. Surat yang di atasnya bertuliskan sebuah lembaga, PENGADILAN AGAMA JAKARTA PUSAT. Dalam surat itu tertera namanya dan nama Kei, dan entah mengapa, surat itu mampu mengacaukan hatinya.Satu bulan tak ada kabar, Arka kira Kei akan kembali dan semuanya akan kembali baik-baik saja. Ternyata perempuan itu tak main-main dengan keinginannya untuk berpisah. Arka pun tahu, kesalahannya pada Kei tak akan mudah di maafkan, tapi Kei benar-benar tak memberinya kesempatan untuk memperbaiki diri dan menebus semua kesalahannya.Tak ingin diam saja, ia pun beranjak untuk menemui Hiko di ruangannya. Ia harus menanyakan keberadaan Kei, karena hanya Hiko yang tahu perempuan itu dimana. Bahkan keluarganya pun tak ada yang tahu.Mengingat tentang keluarga Kei, Arka jadi teringat terakhir kali ia dan kedua orang tua Kei bertemu. Saat itu Bumi dan Elva sangat marah padanya, bahkan ia di hadiahi beberapa bogem menta
Sesuai jadwal, hari ini adalah jadwal sidang pertama perceraian Arka dan Kei. Arka sangat bersemangat untuk hadir, bukan bahagia karena akan berpisah, namun ia berharap bisa bertemu dengan Kei di pengadilan nanti.Ia akan menggunakan kesempatan itu untuk membujuk Kei agar perempuan itu mau memaafkannya dan membatalkan gugatan perceraiannya.Beberapa hari ini ia di landa rasa takut, takut jika suatu saat nanti benar-benar tak bisa bertemu dengan Kei lagi. Hari-harinya terkikis habis oleh lamunannya tentang Kei, Arka baru menyadari, ada rasa yang lain yang hadir tanpa ia sadari."Kei, aku harap kamu hadir di persidangan hari ini," batinnya. Ia tak menyangka, sesuatu yang ia sering katakan dulu ternyata begitu menyakitkan. Ia kerap mengatakan pada Kei bahwa ia tak pernah perduli dengan perempuan itu, mati sekali pun ia tak akan perduli. Nyatanya baru perpisahan karena perceraian saja sudah sangat membuatnya terluka, apalagi perpisahan karena kematian.Ia sudah berusaha mencari tahu diman
Langkah Kei terhenti saat di depan sana Arka dan Starla berdiri menatap kedatangannya. Begitu pun dengan Cio dan kedua orang tua Kei yang datang untuk mendampingi Kei di persidangan. Sejenak tatapan mereka bertemu, namun Kei memutusnya lebih dulu. Perempuan itu memalingkan wajah lalu kembali melanjutkan langkah. Dari debaran di jantungnya yang masih sama, Kei sadar bahwa satu bulan tak cukup untuk membuatnya mengubur cinta pada pria itu.Tapi ia tak akan mundur, untuk apa ia bertahan sendirian? Sementara Arka mempunyai kekasih. Tanpa menoleh pada Arka dan Starla, Kei berjalan memasuki ruang sidang. Karena saat ia tiba, ternyata gilirannya memasuki ruang persidangan juga tiba.Sesaat Cio menatap Starla, gadis cantik yang dulu sempat menjebaknya, gadis yang sebenarnya menjadi akar dari penderitaan yang Kei alami. Karena dendam yang sebenarnya hanya salah paham, Arka menciptakan neraka dalam pernikahannya dan Kei."Cio.." Starla menahan tangan Cio, berharap ia bisa meminta maaf atas sem
Kedua mata yang masih terpejam itu perlahan mengerjap. Lalu terbuka dengan sempurna, orang yang pertama kali ia lihat adalah suaminya. Pria itu tengah menggenggam tangannya dengan erat."Mama.." lirihnya. Adalah Kei, perempuan yang baru saja di nyatakan tengah mengandung itu mengedarkan pandangan mencari keluarganya. Mengapa di ruangan itu hanya ada Arka? Pria yang ingin ia hindari.Mendengar suara lirih Kei, Arka menoleh, ia tersenyum lega melihat istrinya membuka mata, "Kei, kamu sudah sadar? Mana yang sakit? Apa yang kamu rasakan sekarang? Kamu baik-baik saja kan?" Dengan mata berbinar ia tatap perempuan itu, ia usap puncak kepala istrinya dengan lembut.Mendengar gerombolan pertanyaan yang di layangkan Arka, Kei justru enggan menjawab. Ia tarik tangannya dari genggaman pria itu, "Mana mama?""Mama ada di luar sayang, mau aku panggilkan?" Mendengar kata sayang meluncur bebas dari mulut Arka, Kei bergeming. Entah mengapa ia ingin menangis, akhir-akhir ini emosinya memang tak stabil
Bau harus tanah dan dedaunan yang baru saja tersiram air hujan membuat Kei betah berlama-lama berada di balkon kamarnya. Tetesan air dari sisa-sisa hujan pun masih tampak menetes dari daun dan benda apa saja yang beberapa saat lalu terkena air langit tersebut.Suasana hati perempuan itu tengah buruk, sedari pulang sidang siang tadi, Kei tak keluar kamar. Keputusan hakim membuatnya tercengang, terkejut dan putus asa.Ia tahu sidang perceraiannya pasti di tunda mengingat ia tengah mengandung, tapi ia tak mengira, bahwa hakim juga memutuskan ia harus kembali tinggal satu atap dengan Arka. Atas dalih sebagai percobaan perdamaian atau rujuk selama masa kehamilan, dengan harapan dari kedua belah pihak akan mempertimbangkan ulang perpisahan karena adanya seorang anak, Kei harus menuruti putusan hakim.Mau tidak mau, suka tidak suka, Kei tak bisa membantah. Jika dia membantah, maka Arka berhak melapor pada pihak pengadilan.Hal itu lah yang sedari tadi membuat perempuan itu murung. Apalagi ke
Sinar matahari mulai menyusup masuk melalui celah-celah balkon. Tapi sang penghuni kamar masih enggan keluar padahal sudah bangun sejak pagi-pagi buta.Tadi malam tidurnya tak nyenyak, rasa gundah membuat perempuan itu terus membuka mata. Entah memikirkan apa, ia sendiri tak tahu kenapa ia segundah itu. Entah karena takut jika suaminya memasuki kamar, atau karena ia belum terbiasa kembali tidur di kamar itu.Adalah Kei, perempuan yang tengah hamil muda itu sibuk melamun. Memikirkan bagaimana ia bisa menjalani kehamilannya di samping suaminya yang kejam. Namun suara pintu di ketuk membuat lamunannya buyar. Dengan sedikit malas ia beranjak untuk membuka pintu."Selamat pagi, Kei. Aku buatkan susu untukmu, minum ini dulu sambil nunggu sarapan siap," Arka menyodorkan segelas susu hamil pada istrinya. Senyum mengembang begitu manis dari bibirnya. Melihat Kei tak juga mengambil susu yang ia sodorkan, ia pun kembali berkata, "Ini hanya susu hamil Kei, sekejam-kejamnya aku, aku tidak mungkin