Gery meminta izin untuk keluar sebentar kepada kedua wanita yang saat itu sedang menikmati makan siang mereka, “saya izin keluar dulu, mungkin nanti sore atau malam saya balik lagi. Ada yang harus saya urus sebentar,” ucapnya dengan sopan.
“Iya, istirahat aja yang cukup, jangan sampe nak Gery ikut sakit juga,” jawab ibu dengan nada khawatir. “jangan khawatirin Kia, denger kan kata dokter tadi kalau besok Kia udah boleh pulang, jadi sekarang nak Gery pulang aja, ya! Jangan terlalu tergesa-gesa. Karena biasanya yang tergesa-gesa itu kurang baik hasilnya, wanita itu cuma butuh tindakan nyata tanpa perlu banyak ungkapan kata. Ngerti kan maksud ibu?” lanjut Ibu sambil menepuk-nepuk lengan Gery.Gery dengan bodohnya malah mengangguk seolah menyetujui semua nasihat yang keluar dari mulut wanita tua itu, meskipun sebetulnya tak ada yang bisa dia simpulkan dari nasihat tersebut. Dan segera dia meninggalkan kamar pasien tersebut.Selang satu jam sejak kepergian Gerry, seorang wanita paruh baya dengan penampilan yang elegan datang berkunjung ke kamar itu bersama seorang wanita muda yang sepertinya adalah asisten wanita kaya tersebut. Meski tanpa perhiasan yang menempel di tubuhnya, entah mengapa auranya begitu kersinar. Mungkin ini lagi yang disebut aura konglomerat. Pikir Ibu Kia saat bertemu Mommy Rossi, ibunda dari Gerry.“Bagaimana keadaan Kia?” tanya wanita itu dengan khawatir. “Semoga Kia suka dengan buah-buahabn yang saya bawa, soalnya saya gak tau apa yang dia suka.”“Pasti, Bu. Anak itu pasti seneng dibawain buah-buahan ini. Saya aja suka,” celetuknya sambil tersenyum melihat parsel buah-buahan yang wanita itu bawa. “Alhamdulillah, Kia udah boleh pulang besok. Tadi dia tidur setelah minum obat,” jelas ibu.“Syukur lah.” Sambil melihat sekeliling ruangan bernuansa putih itu. “Apa ibu udah ketemu anak saya?” tanya wanita itu dengan hati-hati.“Anak ibu yang mana ya?”“Namanya Gery, yang ....” “Oh, nak Gery. Jadi ibu ini ibunya Nak Gery.” Calon Besan. Tiba-tiba saja dia menggenggam tangan wanita yang kini diketahui adalah ibu dari pria yang sedang mengejar-ngejar sang putri, dengan wajah semringah. “Saya dan Kia sangat berterima kasih karena Nak Gery mau membiayai pengobatan suami saya. Entah harus dengan cara apalagi kami berterima kasih sama anak ibu yang baik itu,” ucap Ibu dengan diiringi air mata haru.Mommy Gery yang dibuat melongo dengan penuturan istri dari korban yang anaknya lakukan, tak terpikir olehnya jika Gery belum menjelaskan duduk perkara yang terjadi pada kedua wanita itu. Dan itu membuat Mommy Gery makin pusing saja, karena kini dia makin tak enak hati pada istri sang korban. Sepertinya dialah yang harus menjelaskan semua yang terjadi pada Kia dan ibunya.Mommy Gery mengambil napas dalam-dalam sebelum memulai percakapan yang menegangkan ini. Dia bahkan sudah siap jika ibu dari Kia akan menggunakan kekerasan setelah mengetahui fakta yang sesungguhnya. “memang sudah sewajarnya anak saya membayar biaya rumah sakit ini, karena ....”“Jadi Ibu juga udah tahu tentang perasaan anak ibu sama Kia?” Ibu Kia terlihat terkejut, karena pikirnya Gery sengaja menyembunyikan perasaanya selama ini karena tidak mendapat restu dari kedua orang tuanya. Seperti kejadian di drama-drama televise yang biasa ia saksikan. “apa ibu juga akan merestui hubungan mereka?”“APAA?” Matanya bahkan terlihat membulat sempurna mendengar ucapan wanita yang sepetinya 10-15 tahun lebih muda dari dirinya itu. Tak disangka olehnya wanita di hadapannya begitu naïf hingga mengira kebaikan yang putranya lakukan karena ingin mendapatkan cinta dari sang putra. “maaf, sepertinya ibu salah menafsirkan tentang-”“Oh, jadi saya salah paham. Saya pikir ibu ke sini karena khawatir juga dengan keadaan Kia, maaf atuh.” Ibu Kia tampak menyesal. “saya ngerti sekarang. Saya akan bilang sama Kia untuk nolak Nak gery kalau begitu. Maaf Kia udah lancing selama ini karean-”“Bukan. Bukan begitu juga maksud saya, jangan salah paham.” Mommy Gery makin bingung harus menjelaskan dari mana. Sakit bingungnya, membuat kelenjar keringatnya jadi tidak normal. “Jadi sebetulnya ibu setuju apa enggak, Nak Gerry sama Kia?” Ibu Kia tak kalah bingung.Mommy Gery mengambil sapu tangan dari dalam tasnya, menyeka bulir-bulir keringat yang tiba-tiba saja membasahi wajah tuanya. “saya jadi bingung harus menjelaskan dari mana tentang kesalahpahaman ini. Mungkin emang baiknya Gery yang menjelaskannya langsung sama ibu dan Kia, karena kayaknya tiba-tiba aja tensi saya naik,” ujarnya sembari memijit-mijit pelipis dan batang hidungnya secara bergantian.“Ibu mau saya bikini teh anget? Muka ibu pucet gitu.” Ibu Kia semakin khawatir.Mommy Gery degan cepat melambaikan tangannya, “gak usah, saya gak apa-apa. Ibu gak perlu panik!” ujarnya menenangkan. Setelah itu dia langsung menghubungi asistennya yang tadi datang bersama dengannya.*****Rossi dengan lihai menekan beberapa digit angka di pintu masuk apartemen sang putra, menandakan jika wanita tua itu sudah sering berkunjung ke apartemen mewah tersebut. Lampu apartemen terlihat menyala, bahkan suara televisi dari ruang tengah terdengar nyaring, menandakan si empunya tempat memang ada di dalam sana.Wanita tua yang masih terlihat kesal itu langsung menghampiri sumber suara. Benar saja sang pembuat onar tengah terlelap di depan kaleng-kaleng bir yang beberapa di antaranya sudah terbuka. Tanpa babibu lagi, dia langsung mendaratkan dengan sekuat tenaga tas berkulit buaya ke atas tubuh sang putra beberapa kali.Gery langsung membelalakan mata saat pukulan pertama datang, awalnya dia akan membalas pukulan itu, karena pikirnya orang yang memukulnya adalah penjahat yang menyelinap masuk ke dalam apartemen. Tapi saat melihat Nyonya Besar yang menghujaninya dengan pukulan-pukulan yang cukup membuat tubunya kesakitan, Gery hanya bisa melipat tubuhnya di atas sofa, walaupun dalam kondisi kritis seperti ini dia masih saja berusaha menyelamatkan asset berharga miliknya, yaitu wajah tampan yang digadang-gadang seperti titisan Pangeran.“Ambilin Mommy minum!” titahnya dengan napas terengah-engah.Meski kesal, tapi tak urung anak semata wayang itu menuruti perintah Si Nyonya Besar. Kemudian kembali duduk di tempatnya tadi, sambil menyiapkan telinga untuk mendengarkan siraman rohani dari ibunya sendiri, dan biasanya itu tak akan mudah selesai meski sang pencermah tak pernah Gery bayar seperak pun untuk melakukan hal itu.“Mommy udah sering bilang ke kamu, jauhin minuman-minuman ini. Selain haram, ini tuh gak baik untuk kesehatan kamu, dan mungkin ini akan jadi sumber masalah di hidup kamu nanti!” Sang penceramah memulai dengan tema Miras.“Semalem aku gak minum, tapi tetep aja aku kena masalah,” celetuk Gery yang bisa-bisanya menyela ucapan sang pencermah tanpa gelar ustadzah itu.Kesal dengan jawaban sang putra Rossi yang memiliki tingkat kesabaran di bawah rata-rata langsung menyiramkan sisa air yang ada dalam gelasnya ke arah sang putra.Inhale…Exhale…Rossi mengatur asupan oksigen ke dalam paru-parunya. Bagaimana pun dia masih memperhatikan tekanan darahnya, wanita itu tidak mau tekanan darahnya kembali naik seperti beberapa saat lalu. “Mommy tanya kenapa kamu belum jelasin kejadian yang sebenarnya ke mereka? Terus nagpain aja kamu semaleman di sana?” tanya Rossi sambil berusaha untuk tidak berbicara nyaring.“Pas Kia sadar awalnya aku mau langsung jelasin, tapi ada aja hambatan yang bikin aku gagal jelasin sama dia. Yang tiba-tiba suster datang lah, terus disusul emaknya datang-” “Kan harusnya itu kamu jadiin momen yang tepat untuk kamu cerita!” pungkas Rossi.“Jangan maen potong aja cerita aku, dengerin dulu sama Mommy. Itu juga tadinya aku mau langsung cerita, eh tiba-tiba suster datang lagi.”“Itu suster ngapain sih keluar-masuk melulu?” Rossi ikut emosi mendengarnya.“Makanya dengerin dulu dong, Nyah!” Gery tak kalah kesal. “Suster itu masuk mau ngasih tau kalau kondisi bapaknya si Kia kritis, detak jantungnya melemah, bahkan sempet ilang,” jelas Gery.“Astagfirullah,” seru Rossi dengan wajah terkejut. “Terus sekarang gimana kondisinya? Kenapa kamu gak cerita masalah sebesar ini ke Mommy? Kenapa diem aja? Punya mulut gak sih kamu? Apa jangan-jangan kamu udah gak nganggep perempuan tua ini Mommy kamu?”Hadeeeeuuuuhh. Sudut hati Gery mencibir ocehan wanita tua yang telah melahirkannya dengan kondisi tampan 32 tahun silam itu. “Gimana aku mau cerita, datang-datang bukan ucap salam atau tanya kabar, aku malah digebukin,” cicitnya.Rossi yang sadar diri hanya diam tak mengiyakan, karena bagaimana pun ceritanya meski dia yang salah tapi dia adalah Sang Nyonya Besar yang tak pernah salah. “ehem!” Rossi mengusisr gugupnya. “terus gimana kondisi bapaknya Kia sekarang?” tanyanya lagi tapi dengan nada standar tanpa melengking.Gery pun menceritakan kondisi ayah Kia dan segala penyakit bawaan yang membuat pria itu belum sadarkan diri, sedangkan Rossi hanya mendengarkan sambil sesekali menyeka air matanya karena ikut sedih mendengar kondisi pria yang anaknya tabrak itu.“Bagaimana pun ceritanya, kamu itu penyebab dia sampe kayak gitu, jadi kamu tetap harus bertanggung jawab sepenuhnya,” ujar Rossi sambil menyeka air mata dan ingusnya.Gery hanya mengangguk mengerti, karena memang dia taka da niatan untuk lepas tangan dari apa yang menimpa Kia dan Pak Kusdi. “Mommy dari rumah sakit?” tanyanya.“Iya, dan gara-gara kamu gak langsung cerita apa yang terjadi, kondisi ini jadi semakin rumit,” jawab Rossi.“Maksud Mommy?”“Ibunya Kia dan mungkin juga Kia salah mengartikan kebaikan kamu, dia pikir kamu mau membiayai biaya rumah sakit karena kamu naksir sama anaknya,” jawabnya sembari mengeluarkan dengan kencang ingus yang menyumpat hidungnya dengan cara yang tidak elegan. “WHAAATT?”(zoom in, zoom out, biar lebih mendramatisir)“Elu mau sampe kapan ngejogrok di sini?” tanya sahabat Gery.“Bentaran ngapa Mbek. Gue bingung harus ngejelasin dengan cara apa ke mereka kalau sebetulnya gue yang bikin bokapnya si Kia koma,” keluh Gery sambil menyeruput tetes terakhir kopi pahitnya.“Yaelah, apa susahnya tinggal bilang, ‘bu, sebetulnya saya yang tabrak motor suami ibu semalem, dan dari lubuk hati ...’” “Gak usah pake lubuk hati, lubuk hati, nanti lubuk hati mereka salah penerimaan lagi,” bentak Gerry.Sahabatnya yang bernama Satria itu hanya cengengesan, melihat kegelisahan di wajah sang sahabat. “Sorry, Nyet gue lupa kalau hati elu kan buluk,” selorohnya, hingga membuat bantal sofa mendarat di wajah tampannya.Seharusnya satria ikut merasa sedih dan prihatin atas musibah yang menimpa sahabatnya, tapi entah mengapa sejak awal Gery bercerita tentang awal mula musibah itu tercipta, hingga terjadinya kesalahpahaman antara Gerry dan korban, Satria malah tidak bisa men
“Makasih Pak,” ujar Kia pada sopir keluarga Chen yang mengantarnya pulang ke kontrakan. Awalnya ia menolak dengan halus tawaran mommy bosnya untuk diantarkan pulang oleh sopir keluarga itu, malu rasanya harus menerima semua kebaikan yang sudah diberikan keluarga kaya raya itu untuknya, yang hanya mengalami cedera ringan. Tapi nyatanya tak mudah bagi Kia dan ibunya untuk menolak tawaran Nyonya Chen, karena mommy bosnya itu malah mengiba agar Kia mau diantar pulang. Jadi mau bagaimana lagi, dengan sedikit rasa terpaksa Kia akhirnya menerima tawaran baik itu. Untung saja sekarang dia sudah tahu fakta yang sebenarnya, karena jika tidak, makin besar kepala saja Kia diperlakukan baik oleh mommy bosnya.“Tunggu Mbak!” cegah sopir itu sebelum Kia dan ibunya masuk ke dalam kontrakan.“Kenapa? Ongkos?” tanya Ibu dengan polosnya.“Zbukan,” jawab si sopir cepat, sambil membuka bagasi belakang. “Ini dari Ibu Rossi, ada sedikit bingkisan kecil darinya.” Sambi
Sebetulnya bukan mau Gery jadi seperti ini. Masalah jadi tambah runyam saja sejak Kia memintanya untuk menjadikan semua biaya rumah sakit Pak Kusdi sebagai piutang, karena Gery memang tulus ingin membantu mereka sebagai bentuk penyesalan dirinya. Masa bodoh lah Kia akan membayar utangnya dengan cara apa nantinya, bahkan Gery dengan bodohnya sempat ikut menghitung jumlah populasi ternak kambing keluarga gadis itu di tiga tahun ke depan, jika dalam satu tahun induk kambing melahirkan 3 ekor anak, maka dari empat ekor kambing ada sekitar 12 anak kambing dalam satu tahun, belum lagi kambing yang melahirkan kembar, tambah banyak lagi kambing yang akan keluarga Kia miliki dan jika dikalkulasikan jumlah itu dalam tiga tahun, hasilnya adalah… Gery langsung tersadar dan segera berhenti menghitung jumlah mereka. Buang-buang waktunya saja. Sudah 20 menit dari jam kerja Kia dimulai, tapi gadis itu belum juga tercium baunya. Gerry yang memang akhir-akhir ini lebih banyak
Tangis pilu Kia pecah saat melihat kondisi sang ayah yang saat itu sedang di bisikan ayat-ayat Alquran oleh sang ibu. Sudah tak ada lagi alat bantu yang terpasang di tubuh pria tercintanya, menandakan jik para dokter sudah angkat tangan.Kia segera menghampiri tubuh yang terbujur dengan mata terpejam itu, memanggil dengan lirih orang yang begitu ia cinta. “Bapak, bangun!” ucap Kia dengan bibir bergetar. “Pak, maafin Eneng!” sambungnya sambil menggenggam erat telapak tangan yang begitu kasar itu.Gery pun tak kalah sedih melihat pemandangan memilukan di hadapan matanya itu. Kumohon jangan seperti ini.Ya Allah, biarkan aku meminta maaf secara langsung padanya. Akhirnya pria itu meminta bantuan Penciptanya.Beri kesempatan aku untuk meminta maaf secara langsung!Kumohon. Apapun yang dia inginkan, pasti akan kukabulkan. Batin Gery lirih.“Pak, tunggu anak-anak datang ya, Pak. Izinkan mereka meminta maaf pada Bapak!” ucap i
“APAAA?” seru Gery sambil berjingkat dari duduknya, kemudian mendengarkan orang yang berbicara di seberang telepon dengan seksama.“Kenapa? Ada berita buruk apa sampe muka kamu begitu?” tanya Mommy Rossi.“Pak Kusdi…” tenggorokannya tercekat saat harus melanjutkan ucapannya.“Kenapa dengan Pak Kusdi?” kali ini Papi yang bertanya dengan wajah yang tak kalah panik.Gery langsung menjatuhkan tubuhnya ke atas sofa dengan pandangan menerawang jauh ke depan. “Mom, ini pasti mimpi. Ya kan?” ucapnya pelan.“Emang ada apa dengan Pak Kusdi? Bukannya dia udah baik-baik aja, tadi siang waktu Mommy datang jenguk, dia udah keliatan jauh lebih sehat dari dua hari lalu, bahkan sempet nitip jagain Kia ke Momy,” ujar Mommy Rossi, meskipun hatinya khawatir tapi ia tetap berusaha untuk berpikiran positif.“Ger, jangan bilang kalau Pak Kusdi…” terka Papi sambil mencengkram kedua bahu putranya.Gery mengangguk perlahan dengan wajah tertunduk, wajah putihnya tampak merah dengan ur
Kedua pemeran utama kini sedang duduk bersebrangan di sebuah kafe yang jaraknya tak jauh dari tempat Gery berada. Rasa canggung dari keduanya membuat menit-menit pertama mereka hanya diisi oleh suara hembusan napas. Hingga akhirnya Gery sebagai seorang laki-laki memberanikan diri untuk membuka percakapan mereka.“Sorry soal ucapan saya di kafe tadi. Saya gak bermaksud merendahkan kamu, saya cuma terlalu-”“Saya ngerti maksud Pak Gery,” potong Kia seperti yang sudah-sudah. Wajahnya masih tertunduk, dengan hati yang terus saja mencemooh dirinya sendiri, karena bisa-bisanya dulu dia berpikiran naïf bahwa bos tampannya itu jatuh hati padanya yang hanya anak seorang tukang ojek online. Dan saat mendengar ucapan Gery tadi, Kia seperti ditampar oleh kenyataan bahwa memang tak seharusnya dia bermimpi terlalu tinggi. “maaf kalau Bapak udah nyusahin keluarga Pak Gery,” lanjutnya.“Bukan itu yang jadi masalah, karena saya emang gak terlalu memikirkan ucapan Pak Kusdi
Pukulan kembali mendarat di wajah tampan pria keturunan Cina-Indonesia itu saat ia sedang berusaha mengumpulkan kepingan nyawa yang masih berceceran entah dimana.Bughh…bughh…bughh…Tiga kali pukulan yang langsung membuat tubuh Gerry ambruk di lantai yang begitu terasa dingin saat menyentuh kulitnya.Tunggu, tunggu, kenapa bisa kulit bokongnya merasakan dinginnya lantai?Gery langsung membelalakan wajahnya kala menyadari dirinya jatuh di lantai tanpa sehelai pakaian yang menempel di tubuhnya. “Emang Anjing, lu! Bener-bener bejat lu jadi cowok!” Suara baritone Satria menggema mengisi ruangan itu. “Najis gue punya temen kayak elu!” lanjutnya dengan wajah penuh kebencian.Tapi kenapa?Apa salahnya hingga membuat Satria murka?Dan saat dia masih berusaha mengingat-ingat kesalahannya, Satria kembali terlihat akan kembali menghajarnya. Buru-buru saja Gery menyembunyikan wajahnya dengan cara melipat tubuhnya, sambil t
Malam itu, saat Kia sedang kebingungan akan dibawa kemana tubuh bosnya yang mabuk berat sambil terus saja menatap wajahnya dengan begitu mesra, tiba-tiba saja ponsel dalam saku pria tampan itu bergetar. Awalnya Kia pikir itu hanya sebuah notifikasi chat yang masuk, tapi ternyata itu adalah sebuah panggilan telepon saat Kia memeriksanya, karena ponsel itu tak henti bergetar. Buru-buru gadis cerdas itu menggeser tombol hijau untuk mengangkat panggilan itu, karena mungkin saja orang yang menelepon bosnya bisa membantunya untuk membawa pergi tubuh Gery yang begitu membebani tubuhnya.“Nyet, elu masih di klub?” tanya suara pria yang menelepon Gery.“Maaf, ini dengan Pak Thomas ya?” terka Kia saat melihat nama ‘Onta Jawa’ tertera di ponsel sang bos.“Eh, iya. Sorry, ini dengan siapa ya?”“Saya Kia, Pak. Sekarang Pak Gery lagi sama saya, dia mabok berat di klub. Tadi juga dia sempet berantem sama pengunjung lain,” ujar Kia masih kebingungan apa yang