Sebuah keajaiban terjadi hari ini. Keajaiban yang tidak menyenangkan sama sekali..., karena, mengapa Gerald ikut menemaninya mengantar Clarissa ke bandara?
Bianca merasa, semangatnya yang 100 persen, terpangkas 20 persen begitu Gerald berada di sisinya. Bianca tau kalau Gerald tidak mau menemaninya ke bandara dan itu sangat terbaca dari ekspresi muak pria itu yang kentara. Bianca tau Gerald tidak mungkin akan menjadi pria baik hati yang mengantar istrinya bepergian, jadi, siapa yang sudah usil di sini?
Apa Melisa?
"Kgh," Bianca mau mengacak rambutnya habis-habisan karena frustasi, tapi melakukan itu hanya akan membuat rambutnya berantakan. Junie akan membunuhnya kalau dia melakukan itu.
Bianca masuk ke mobil Gerald dan menghela napas panjang-panjang. Gerald yang berada di sisinya seketika melemparkan tatapan penghakiman. Mengapa gadis itu bersikap seperti berada bersama Gerald adalah hukuman? Apa dia tidak tau seberapa banyaknya wanita di muka bumi ini yang menginginkan posisinya sekarang? Dasar wanita tidak tau bersyukur!
"Apa kita ke rumahmu terlebih dahulu atau langsung ke bandara?" tanya Gerald, ia menahan amarahnya karena mengingat nasihat panjang Melisa kalau dia harus 'membuat Bianca merasa nyaman'.
Memuakkan!
"Kau bisa menurunkanku di depan, aku akan naik taksi dari sana." Bianca menjawab sambil mengutak-atik ponselnya, ia tidak menyadari sama sekali kalau sekarang Gerald mendelik ke arahnya.
"Apa katamu?"
"Apa kurang jelas? Aku sudah memesan taksi online di depan." Bianca memasukkan ponselnya ke tas dan menoleh ke arah Gerald, dan oh Tuhan, mengapa pria itu menatapnya tajam? "A-apa? Kenapa kau menatapku seperti itu?"
"Apa kau sadar dengan kata-katamu barusan?"
"Aku..., kenapa denganku?" Apa lagi yang salah kali ini? Bianca menghela napas lagi. "Aku harus mengantar adikku, jangan mencari masalah sekarang."
"Yang mencari masalah adalah kau, idiot."
"Aku?"
Bianca sama sekali tidak menyadari kesalahannya dan itu membuat Gerald terpana. Gadis itu benar-benar tidak peka. "Sekali lagi," ulang Gerald, mencoba bersabar. "Bandara atau rumah?"
"Bandara tapi..., hei, kau tidak serius akan mengikutiku sampai bandara, kan?"
Gerald mengendikkan bahu. "Kenapa kau begitu terkejut, bukankah itu tugasku sebagai suamimu?"
"Waaaah..., itu baru. Apa yang Ibu pakai mengancammu sampai kau mengatakan hal bijaksana seperti itu?"
"Kau sepertinya begitu memandang remeh keberadaanku. Meskipun hubungan kita bermula dari perjodohan, aku cukup paham pada hal-hal yang perlu kulakukan tanpa siapa pun mengancamku."
"Yups..., seratus persen. Seseorang sudah mengancammu, jika bukan Ibu, itu sudah pasti Ayah." Bianca menolak percaya kepada ucapan Gerald yang terdengar seperti lelucon baginya. Kalau Gerald memang tau apa yang harus dia lakukan, hubungan mereka tidak akan seburuk sekarang. Mereka tidak akan bertikai kalau Gerald tau cara untuk menghormatinya. Mengatakan dia paham sekarang sudah seperti omong kosong di telinga. Bianca tidak akan percaya.
"Mengapa kau senang sekali mencari masalah kepadaku? Apa kau pikir berdebat denganku bisa membuatku menyukaimu?"
"Haaaa?" Bianca tergelak. "Bagaimana bisa kau menarik kesimpulan sejauh itu? Apa kau narsis?"
"Itu tidak jauh sama sekali. Aku sudah terbiasa dengan berbagai macam trik wanita yang mencoba mendekatiku."
"Ahahaha...,waaaah, ini sama sekali tidak bisa dipercaya." Bianca geleng-geleng kepala. "Bagaimana kalau berpikir dengan normal terlebih dahulu, kau tau..., seperti 'Oh! Mungkin Bianca terus bertengkar denganku karena aku adalah bajingan menjengkelkan berkepala batu!', begitu?"
Gerald mendengar penuturan Bianca dan entah mengapa, alih-alih marah, ia malah tertawa. Gerald yang dingin dan selalu menatapnya penuh permusuhan, kini tertawa. Kening Bianca mengerut seketika.
Apa yang salah dari otak Gerald?
Tidak, apa yang salah dari otak Bianca? Mengapa pria itu tiba-tiba mempesona?
'Benar juga, ini pertama kalinya aku melihat Gerald tertawa.'
Pria itu memang tampan dan memiliki paras yang mampu membuat siapa pun mimisan. Namun, ketika dia tertawa, dia terlihat lebih sempurna. Seperti ada cahaya cerah mengorbit di atas kepalanya. Seperti..., malaikat?
Haaa! Omong kosong!
'Apa yang aku pikirkan?' Bianca segera menatap lurus ke jalan dan menampar pipinya.
"Sepertinya rumor itu benar."
"Rumor apa?"
Gerald melirik Bianca dari sudut matanya, menatap jejak merah yang merekah di wajah pucat Bianca. "Kau dirumorkan nyaris gila."
"Apa-apaan? Mana ada rumor seperti itu! Bilang saja kau mengataiku gila!"
***
Bertemu Clarissa kembali adalah kebahagiaan terbesar bagi Bianca, tapi itu juga menjadi sumber nelangsanya. Kendati ia memamerkan cengiran lebar kepada adiknya, memberikan dekapan hangat yang terlampau erat--, kendati ia menumpahkan afeksinya dengan sikap manja yang kekanakan dan menyebalkan, hatinya seperti menerima tikaman tajam yang menyakitkan. Ia tidak siap melepaskan Clarissa pergi jauh darinya, tapi ia harus melakukan itu demi masa depan Clarissa sendiri.
"Pokoknya, apa pun yang terjadi, kau harus menghubungiku setiap hari. Aku tidak mau tau alasan apa pun, kau harus memastikan kau baik-baik saja." Bianca masih merangkul Clarissa erat di dalam dekapannya, tidak peduli kalau sekarang Gerald dan ayahnya berdiri berdampingan menatap mereka dengan kejemuan.
"Kau bersikap seperti kau tidak akan pernah melihat adikmu lagi, Bianca." Warren menegur sambil menggelengkan kepala. "Dia sudah 18 tahun, hal yang perlu kau pesankan padanya adalah agar dia belajar dengan fokus di sana dan tidak mencemari nama baik keluarga kita!"
Bianca menoleh ke arah Warren, tapi tidak begitu peduli pada ucapan pria itu. Tidak, karena yang terpenting sekarang adalah Clarissa. "Aku percaya Clary akan melakukan yang terbaik menyangkut pendidikannya, yang lebih kucemaskan adalah keamanannya."
"Tenang saja, Bia. Aku akan menjaga diriku dengan baik."
"Kau bicara seperti itu, tapi kau tidak tau dunia perkotaan..., orang-orang di luar sana tidak ada yang bisa dipercaya, terutama pria. Jangan pernah percaya pada pria mana pun! Jangan pernah membiarkan pria asing memberikanmu minuman, jangan makan sembarangan, jangan terpedaya dengan wajah tampan."
"Ahahaha, apa-apaan?" Clarissa tertawa. "Apa Richmond bukan kota besar bagimu?"
Warren yang menyimak perbincangan kedua puterinya yang terlampau berlebihan, menoleh ke arah Gerald yang sejak tadi tidak bersuara sama sekali. Si bungsu Lagrave yang sekarang adalah menantunya tersebut berdiri cukup tenang dengan ekspresi yang insignifikan.
"Gerald," panggil Warren, "Apa kau bosan?"
"Huh? Tidak sama sekali, Sir."
"Sir?" Warren meninggikan sebelah alisnya. "Kau adalah bagian keluarga Dawson sekarang, kau tidak perlu menunjukkan formalitas yang berlebihan."
"Hmm?"
"Ayah, kau sebaiknya mulai memanggilku Ayah. Kau adalah menantuku sekarang, kalau kau lupa. Aku sudah menyerahkan puteriku padamu supaya kau menjaganya dengan aman."
"Aku mengerti," Gerald menganggukkan kepala, menahan kekesalan yang menyeruak di kepalanya.
Bagaimana mungkin ia memanggil Warren dengan sebutan Ayah? Pria keparat itu adalah sosok yang sudah merebut kebebasannya. Mengapa ia menginginkan Gerald sebagai menantunya ketika Olliver jelas-jelas ada dan lebih bijaksana? Pertanyaan itu menggentayangi benak Gerald begitu ia bersitatap dengan Warren.
"Bagaimana hubunganmu dengan Bianca belakangan ini?" Warren kembali berucap, dan ucapannya memancing kekesalan Gerald memuncak. "Aku tidak tau tentang preferensimu, tapi Bianca adalah gadis yang sangat brilian. Aku percaya dia pasti bisa memuaskanmu."
"..." Apa yang pria gila ini katakan menyangkut puterinya sendiri?
"Aku sudah mengatakan pada Bianca untuk memperlakukanmu seperti raja, tapi..., mengingat itu kembali, aku merasa pesan itu akan adil kalau kau juga memperlakukannya dengan cara yang sama. Bagaimana menurutmu?"
"Ayah tidak perlu mencemaskan caraku memperlakukan Bianca, Dia adalah istriku, dia akan diperlakukan dengan layak." jawaban Gerald berbaur dengan kemurkaan. Gerald murka terhadap sikap Warren yang arogan.
Tidak hanya pria itu sudah merebut kebebasannya, sekarang pria itu juga ingin mengontrol caranya bersikap?
Terserah bagaimana Gerald akan memperlakukan Bianca, itu tidak ada kaitannya dengan Warren karena pria itu sudah mendapatkan keuntungannya sendiri dari kerja sama ini. Dia tidak di posisi untuk berhak bicara di sini!
"Aku adalah seorang Ayah, meskipun aku melepaskannya untuk menikahimu, bukan berarti aku akan berhenti memikirkannya." Warren merangkul pundak Gerald dan terkekeh samar. "Pastikan saja dia tidak terluka, oke?"
"Aku tidak dapat menjanjikan apa pun, tapi aku akan berusaha menjadi suami yang bertanggung jawab."
'Aku akan berusaha keras, untuk tidak...' tatapan Gerald tertuju kepada Bianca, kepada istrinya yang kini menangis terisak di lengan adiknya.
'Menghancurkannya.'
Orang yang Gerald benci setengah mati adalah Warren Dawson. Pria itu sudah merebut kebebasannya, membelenggu kakinya di dalam pernikahan yang membuatnya terpaksa merelakan cinta pertamanya. Orang yang paling Gerald benci adalah Warren, tapi..., begitu ia berhadap-hadapan dengan Bianca sendirian, segala kebenciannya menyebar kepada gadis itu. Meskipun ini tidak adil sama sekali untuk Bianca, Gerald sama sekali tidak mampu bersimpati padanya.
Bagaimana bisa ia memperlakukan Bianca dengan baik ketika wanita itu adalah perwujudan dari sangkar yang melingkupinya? Bagaimana bisa ia mencintai sumber nestapanya? Gadis itu adalah kutukan di hidupnya. Gerald membencinya, sangat-sangat membencinya. Kebencian itu membakar kepalanya.
'Satu-satunya kebebasan yang kumiliki sekarang adalah kebebasan dalam mengendalikan hati dan perasaanku. Karena itu, Bianca Dawson, aku tidak akan pernah mencintaimu.'
***
Setelah berpisah dengan Clarissa di bandara, Bianca merasakan kehampaan luar biasa. Kesedihan yang melingkupinya membuat ia hening sepanjang perjalanan pulang, Gerald--untungnya--tidak memancing emosinya lagi dengan perdebatan yang tidak penting. Pria itu bungkam, tampak mempunyai banyak beban pikiran. Bianca tidak tau apa, tapi dia tidak begitu peduli juga. Setiba di rumah, Gerald yang berekspresi muram langsung bersemangat saat melihat Erina menyambutnya di ruang tengah. Intonasi suaranya turun beberapa oktaf, lemah, lembut, dan bersahabat. Bianca menatap interaksi mereka sejenak sebelum berlalu dan menuju kamarnya di lantai dua. Bianca hanya ingin tidur dan melupakan realita kalau sekarang, ia jauh dari Clarissa. Ia tidak mempunyai sosok yang mampu menjadi pelipur laranya berada di dekatnya. Ia tidak memiliki siapa pun sekarang. Ia... "Bia..." Samar-samar, sapaan seseorang menyapa telinganya. Memanggil ia yang entah bagaimana, berada di anta
Gerald sudah pasti gila. Tidak ada penjelasan yang lebih masuk akal dari tindakannya selain dia gila, pria itu konslet di kepala. Bianca masih syok luar biasa ketika Gerald tiba-tiba menciumnya, dan ketika ciuman itu terlepas, ia menemukan sepasang manik kopi Gerald menyorot sinis ke arahnya, seakan-akan mengejeknya. "Selamat, kau sudah mendapatkan perhatian yang kau inginkan, apa kau puas sekarang?" "Per-per-apa?" Bianca ternganga, isi kepalanya seperti rubik jenga yang tumbang berantakan. "Apa maksudmu?" Tidak membiarkan Gerald berlalu dari hadapannya, Bianca spontan menarik kerah leher Gerald hingga pria itu tercekik bajunya sendiri. "Mengapa kau menciumku? Apa maksudmu perhatian? Siapa mencari perhatian?" "Tsk!" Gerald menepis tangan Bianca dari lehernya, matanya menatap Bianca dengan kekesalan kentara. "Jangan berlagak tolol," tukas Gerald. Ia menundukkan wajahnya sama rata dengan tatapan Bianca. "Bukankah kau mengusikku dengan
Ketika Bianca keluar dari butik bersama putera-putera Lagrave dan Erina, Bianca keluar setelah membeli 5 buah dress dengan warna-warna dominan seperti biru sapphire dan hijau tua. Ia juga membeli 3 pasang sepatu, beberapa pita rambut yang tidak dihitungnya sama sekali karena Gerald memborong seisi meja, dan beberapa lagi adalah benda yang tidak Bianca ketahui apa karena Gerald dan Olliver memencar kesana-kemari mencarikan barang yang pas untuknya. Jujur saja, daripada mengatakan Bianca lah yang berbelanja, lebih tepat untuk mengatakan kalau Olliver dan Gerald lah yang bersaing untuk menghabiskan uang mereka di sana. Bianca hanya menonton mereka bersama Erina yang lebih senyap dari biasanya. "Erina, apa kau mendapatkan barang-barang yang kau suka?" Bianca bertanya setelah memperhatikan kalau Erina hanya keluar membawa dua buah paperbag, sementara Bianca malah membutuhkan mobil terpisah untuk mengantarkan barang belanjaannya ke rumah.
"Sebenarnya aku memimpikan mendiang ibuku belakangan ini. Jadi..., daripada mengatakan aku menangis karena masalah hidupku dan Gerald, rasanya agak..., tidak tepat? Aku hanya merindukan ibuku." Ucapan Bianca terdengar samar dari balkon lantai dua. Gerald yang berdiri di balik pintu menyimak ucapannya dengan raut yang ambigu. Gerald berniat bersantai dan menghirup udara segar di balkon lantai dua, tadinya. Namun, setelah melihat Bianca dan ibunya sedang bercengkerama serius di sana, langkah Gerald terjeda. Ia bersembunyi dalam bayang-bayang, menyimak perbincangan mereka yang masih berkaitan dengan dirinya. Saat itu, andai saja Erina tidak datang dan hendak menghampirinya, Gerald mungkin saja akan mendengarkan perbincangan Bianca dan Melisa sampai akhir. Namun, karena Erina melangkah mendekatinya, Gerald terpaksa meninggalkan posisinya dan segera membawa Erina meninggalkan balkon lantai dua. Menjauh dari Bianca dan Melisa. Gerald penasar
Bianca mengalami mimpi yang sama untuk kesekian kalinya hari ini. Karena mimpi itu terus menghantuinya, ia terjaga dari pukul dua dini hari sampai pagi. Bianca tidak bisa tidur dengan pemikiran dipenuhi oleh kesedihan. Hatinya seperti ditikam ketika ia mengingat bayangan ibunya di mimpi itu, menghantuinya dengan ekspresi yang sulit terdefinisi. Seakan-akan ia menampung kesedihan di ekspresinya, kerinduan dan keprihatinan. Bianca sampai berpikir, mungkin karena dirinya yang sudah tumbuh dengan payah, makanya mendiang ibunya datang dan menghantui tidurnya. Oke, teori itu Bianca buat karena dia menjadi overthinking saja. Bianca tidak tau mengapa ibunya terus hadir dalam tidurnya, ia juga tidak tau sampai kapan ia akan memimpikan ibunya. Tapi yang pasti..., perasaan yang hadir setelah mimpi itu sudah jelas tidak menciptakan kebahagiaan di hatinya. Ia merasa seperti kebahagiaan telah disedot kering dari tubuhnya, menyisakan ia dalam kerangka yang hampa dan
Tadi pagi, ketika Gerald berangkat bersama Olliver ke kantor, ia tidak bisa menahan dirinya dan menanyakan kejanggalan sikap Olliver dalam memperlakukan Bianca, wanita yang omong-omong adalah istri Gerald. Gerald saja tidak bersikap sok ramah kepada Bianca, mengapa malah Olliver yang memberikan gadis itu sapaan dan keramahan yang berlebihan? "Seingatku, kau bukan tipe pria yang peduli pada perempuan sampai segitunya. mengapa kau tiba-tiba memperlakukan Bianca seperti tadi? Apa Ibu ada memaksamu melakukan itu?" "Kalau kau tau aku tipe pria seperti apa, kau pastinya tau kalau aku tidak akan pernah menuruti permintaan Ibu kalau itu tidak masuk akal, kan?" Jawaban Olliver lebih seperti ejekan. "Haaa..., terus? Kenapa kau tiba-tiba bersikap ramah seperti tadi?" Olliver di mata Gerald, bukanlah sosok yang baik hati. Meskipun Gerald yang dijuluki berhati dingin di antara mereka, menurut Gerald, yang lebih dingin sudah pasti kakaknya terseb
Waktu menunjukkan pukul sepuluh malam ketika Bianca duduk di depan meja riasnya, mematut penampilannya di cermin sementara Junie menyisir rambutnya dan memberikan ia pijatan ringan di kepala. Mungkin karena Bianca sudah menghapus makeup di wajahnya dan hendak tidur, kantung matanya yang tertutup concealer sepanjang hari, menjadi sangat kentara di cermin. Ini memalukan. Bahkan di hari-hari ketika ia kerap berdebat dan berujung dipukul oleh Warren, penampilan Bianca tidak pernah seterpuruk ini. 'Haruskah aku pergi ke spa?' Bianca memikirkan solusi untuk tubuhnya yang terasa begitu tegang belakangan ini. Selama ia membiarkan Junie bermain dengan rambutnya, ia dikejutkan oleh dobrakan di pintu kamarnya. Untuk kesekian kalinya, pikir Bianca, sosok yang tidak tau sopan santun itu lagi-lagi mendobrak kamarnya. Bianca terkejut pada bunyi keras yang pria itu ciptakan, tapi tidak terkejut sama sekali kalau Gerald lah yang datang. "Junie, bisa kau tinggalkan kam
"Mengapa kau masih di sini?" adalah pertanyaan yang keluar dari bibir Bianca begitu ia memperhatikan Gerald menghampiri tempat tidurnya sambil menyeret bangku dari meja riasnya. "Aku adalah suamimu, bukankah adalah kewajaran kalau aku berada di sisimu ketika kau lemah tak berdaya seperti sekarang, istriku tercinta?" Jawaban Gerald lebih seperti sindiran, Bianca memijit hidungnya dengan kejengkelan. "Aku tidak tau kau adalah suami yang perhatian, aku mau menangis." "Jangan menangis. Kau tidak punya energi yang cukup untuk itu." Kendati suaranya seperti cebikan, Gerald mengatakan kebenaran. Bianca seharusnya tidur saja sekarang. Kenapa gadis itu malah terjaga dan mengajaknya berdebat? "Gerald Lagrave..." Bianca berucap sambil menatap kepada Gerald yang kini duduk di bangku yang dia bawa. Pria itu duduk di samping tempat tidurnya, bersilang kaki sambil memperhatikan Bianca. Sebuah buku berada di pangkuannya, hendak ia baca andai saja