Share

BAB 2 - KEGUGURAN

Lizia mengabaikan sapaan dari setiap pegawainya. Dia hanya menatap lurus ke depan tanpa senyuman yang biasa ia umbar. 

Dia tidak dapat mengangkat ujung bibirnya 

sementara relung hatinya begitu pilu. 

Lizia menaruh tasnya di atas meja kerja dengan keras, membuat sekretaris perusahaan yang akan masuk ke ruangannya menjadi ragu.

"Masuklah," kata Lizia setelah menyadari keberadaan Sang sekretaris. 

"Maaf, Bu. Saya hanya ingin mengingatkan kalau kita ada rapat dua jam lagi," ucap si sekretaris.

Lizia mengangguk. Kemudian mengibaskan tangannya menyuruh wanita berhak tinggi di depannya itu keluar.

"Baik, Bu." Si sekretaris pun pergi setelah menutup pintu dengan hati-hati. 

Lizia memutar kursinya menghadap dinding kaca di belakangnya. Dia menghela, lalu menarik napas dalam-dalam. 

Untunglah pemandangan kota Jakarta dari bawah sini membuat suasana hatinya sedikit membaik. 

Lizia memijat kepalanya, pusing akibat ocehan wanita setengah abad itu yang tidak pernah cuti ketika datang ke rumahnya. 

Sebenarnya, dia memaklumi keinginan mertuanya. Ibu mana juga yang tak ingin menggendong cucu? Tetapi dia hanya ingin mertuanya bersabar, dia juga sedang berusaha. Alih-alih menyalahkan dirinya, kenapa mertuanya tidak bisa memberi semangat. 

Rahim pengganti? Emosi Lizia seketika naik. 

Dia tidak memerlukan rahim wanita lain untuk mengandung anaknya. Rahimnya sendiri sempurna dan subur. Dia hanya membutuhkan waktu dan kesabaran. 

Jam 1 siang. 

Lizia keluar dari ruang rapat dengan wajah lelah. 2 jam menjelaskan dan mendengar pendapat rekan kerjanya membuatnya sakit kepala. 

Waktunya makan siang, tetapi Lizia tidak ingin meninggalkan ruangannya. Jadi, dia meminta salah satu pegawai pergi membeli makan siang untuknya. 

Lizia mengernyit saat sebuah kotak makanan disodorkan di depan wajahnya. Tidak sopan. 

Namun, detik selanjutnya Lizia tersenyum tipis saat melihat Aziz yang ternyata membawakan makan siang yang dia pesan kepada orang lain. 

"Aku juga bawa ini." Aziz menaruh sekantung eskrim vanilla di atas meja, membuat senyum Lizia semakin lebar. 

"Terima kasih, sayang."

Aziz mengangguk. Dia memang selalu memberi sekantung eskrim ketika Lizia sedang dalam perasaan yang buruk. 

"Sayang." Aziz memutar kursi Lizia ke arahnya. "Maafkan ibu aku. Perasaan ibu untuk punya cucu memang tidak bisa dikendalikan. Kamu maklumi saja, ya," kata Aziz.

"Aku memang dari dulu sudah memaklumi ibu. Tapi kali ini sudah keterlaluan," cicit Lizia. 

Aziz menghela napas berat dan tersenyum, mengusap-usap cincin pernikahan di jari manis Lizia. "Aku akan bicara sama ibu, ya. Kamu jangan sedih lagi," katanya lembut. 

Lizia mengangguk lemah. Dia menatap wajah tampan Aziz dengan mata berkaca-kaca. Suaminya itu sangat pengertian dan selalu membelanya. Itu malah membuat kesedihannya makin dalam. Tujuh tahun telah membina rumah tangga, tapi belum juga memberi anak pada suaminya yang baik. 

"Jangan menangis. Maafkan ibu aku, ya." Aziz mengusap air mata di pipi Lizia.

"Bukan karena ibu. Aku menangis karena kasihan sama kamu. Kamu menikahi wanita yang tidak bisa hamil seperti aku. Kenapa? Kenapa kamu masih bertahan?" Air matanya jatuh lagi. 

"Aku cinta sama kamu. Apa itu cukup untuk menjawab alasan aku bertahan sampai sekarang?" 

"Tapi tanpa anak, rumah tangga kita seperti tidak ada apa-apanya---" 

"Bagi aku, berumah tangga sama kamu itu sudah lebih dari cukup. Hidup aku sempurna, Liz," potong Aziz. 

Lizia tidak tahu harus berkata apa lagi. Dia menatap haru dan bangga pada Aziz. Setiap perkataan Aziz membuat hatinya tenang. Sungguh, dia berterima kasih kepada Allah telah memberi pria ini sebagai suaminya. 

Aziz kembali ke rumah sakit setelah sejam berada di kantor Lizia. Dia harus melakukan operasi. Sebelum benar-benar pergi, Lizia mengatakan akan memasak makan malam untuknya. Aziz hanya berharap Lizia tidak melupakan janjinya kali ini.

Malam hari. 

Lizia benar-benar memasak makan malam. Dia rela meninggalkan perusahaan lebih cepat agar dapat makan malam bersama Aziz. 

Jam 8 malam. Lizia menaruh semua makanan yang telah ia masak di meja makan. Menata letak    piring-piring itu dengan menarik. 

Dia tersenyum bangga.

Lizia mengambil ponselnya di atas meja, lalu menggeser layar ponselnya mencari kontak nama Aziz di sana. 

Dia menghembuskan napasnya kasar saat tidak ada jawaban dari Aziz. Beberapa kali dia menelepon, tapi tetap tidak diangkat. Mungkin sedang sibuk. 

"Aku menunggumu." Tulisnya setelah mengirim foto makanan di atas meja. Dia juga menyertakan stiker 5 hati di bawah pesannya.

Waktu terus berjalan hingga jam setengah 10. Lizia tidak beranjak dari meja makan. Dia memainkan ponselnya agar tidak bosan. Foto-foto pernikahannya kembali dilihat. Tersenyum, Lizia kembali mengenang saat pernikahan bersama Aziz tujuh tahun yang lalu. Dia tertawa kecil saat mengingat Aziz yang dulu salah mengucap namanya, dan malah menyebut nama ayahnya dalam akad. 

Tidak terasa terlewat dua jam. 

Lizia beranjak dari kursi makan dan berjalan ke pintu utama. Aziz belum juga pulang, pesannya juga belum dibaca. Lizia menjadi jenuh dan matanya hampir tertutup, dia mengantuk sekali. 

Lizia pergi ke kamarnya. Berbaring di atas tempat tidur dan perlahan menutup matanya. Menunggu Aziz membuat tubuhnya kelelahan. 

Tidak lama setelah Lizia tidur, suara mobil Aziz terdengar memasuki bagasi. Akhirnya dia pulang juga setelah membuat istrinya tidur karena lelah menunggu. 

Aziz langsung ke dapur setelah mengunci pintu dari dalam. Melihat banyaknya makanan di atas meja, dia langsung naik ke lantai dua mencari Lizia. 

Aziz membuka pintu kamar dengan pelan. Dia menghela napas lalu menutup kembali pintu setelah melihat istrinya yang terlelap dengan nyenyak. 

Rumah sakit kedatangan banyak pasien akibat kebakaran yang terjadi di salah satu pabrik makanan. Jadi, Aziz yang merupakan dokter otomatis menjadi sibuk bukan main. Bukan lagi operasi 4 jam yang menguras habis waktu dan tenaganya. 

Jadi, ketika dia melihat banyak panggilan dan pesan dari Lizia, dia langsung meminta diganti dokter lain dan segera pulang.

Aziz pun menyantap makanan yang sudah dingin sendirian dalam malam sunyi. 

Setelah menghabiskan makanannya, Aziz mematikan seluruh lampu ruangan dan pergi ke lantai atas di mana kamarnya berada.

Dia menaiki tempat tidur dengan pelan. Kemudian memeluk tubuh Lizia yang lebih kecil darinya dengan erat. 

Merasa dipeluk dari belakang, Lizia membuka matanya. "Kapan kamu pulang?" tanyanya dengan mata setengah tertutup memandang Aziz. 

"Barusan," jawab Aziz, "Aku juga sudah makan," katanya lagi. 

Lizia mengangguk lalu memeluk pinggang Aziz dan membenamkan kepalanya di dada bidang pria tampan itu. Tetapi tiba-tiba dia menjauhkan wajahnya. 

"Ada apa?" tanya Aziz bingung. 

"Kamu bau sekali. Antara bau terbakar dan bau anyir darah. Pergi mandi sana." Lizia mendorong dada Aziz pelan.

"Iya, iya!"

°°°

Setelah menunaikan ibadah sholat subuh, Lizia berdoa kepada Allah agar diberikan kesabaran, nikmat syukur, dan yang paling utama adalah disegerakan keturunan. Setelah itu, dia menyiapkan sarapan dan segelas susu untuk Aziz. 

Setelah menyiapkan sarapan, Lizia membersihkan diri dan bergegas ke kantor di jam 5 pagi. Ya, terlalu subuh, karena kemarin malam dia pulang lebih awal. Jadi, hari ini dia akan mengecek semua dokumen yang sempat tertunda kemarin.

Cup.

Lizia mengecup pipi Aziz. "Aku pergi duluan. Love you," katanya pelan ditelinga Aziz. 

Lizia pun pergi dengan menggunakan mobil yang biasa dia bawa. Sedangkan Aziz yang baru bangun menyadari bahwa sisi samping tempat tidur telah kosong. Dia beranjak dari tempat tidur dan turun ke lantai satu sambil mengucek matanya yang masih terasa berat. 

"Sayang, aku duluan. Jika susunya kurang, ambil saja di kulkas. Aku mencintaimu!" Lizia menambah banyak gambar hati di seluruh sudut kosong kertas kuning berbentuk segiempat yang dia tempel di kulkas. 

Aziz tersenyum membaca pesan Lizia. Dia tidak langsung makan. Pertama dia akan mandi dan bersiap-siap ke rumah sakit. Setelah itu baru dia sarapan dan terakhir memanaskan mobil.

Tiba-tiba ponsel Aziz berbunyi ketika dia sedang mengeringkan rambutnya dengan handuk.

"Halo, sayang---" 

"Syukurlah ternyata anda benar-benar suami Lizia Hermansyah."

Aziz mengernyit. Kenapa orang lain sedang menggunakan ponsel Lizia?

"Istri Anda mengalami kecelakaan mobil dan sekarang dalam perjalanan ke rumah sakit Medikal Harapan. Maaf juga karena harus mengatakan---"

Aziz memotong perkataan wanita di ponsel dengan cepat. Raut wajahnya ketakutan. "Istri saya masih hidup, kan? Cepat jawab!"

Terdengar helaan di seberang sana. Ketakutan Aziz semakin menjadi. 

"Istri Anda masih hidup, tapi ... Beliau mengalami keguruan."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status