Lizia berjalan ke kamar mandi, membersihkan tubuh dan menggosok gigi sebelum naik ke atas tempat tidur. Dia membuka ponselnya, mengetik nama Aziz di kontak pencarian.
Namun, belum sempat mengetik tombol hijau di samping kanan layar ponsel, terdengar suara mobil memasuki bagasi.
Lizia menyibakkan selimutnya. Dia menuruni tempat tidur dan langsung turun ke lantai satu.
“Selamat malam,” kata Lizia setelah membuka pintu utama.
“Selamat malam, istriku. Kenapa belum tidur?” tanya Aziz diiringi dengan tangannya yang merangkul pundak Lizia setelah menutup pintu.
“Aku mana bisa tidur kalau kamu belum pulang. Kamu lupa kalau aku enggak bisa tidur sendirian?” kata Lizia.
Lizia naik ke atas tempat tidur duluan, ia membaca beberapa halaman buku sembari menunggu Aziz yang tengah membersihkan diri di kamar mandi.
Beberapa menit kemudian, Lizia dengan senyum lebarnya meletakkan bukunya
"Di mana aku bisa terhubung dengan jaringan?" tanya Lizia kepada salah satu pekerja."Di sana, Bu. Di pertigaan pertama dari sini."Mata Lizia mengikuti arah di mana jari telunjuk pekerja tua itu. Dia kemudian mengangguk dan berterima kasih sebelum pergi dari lokasi yang akan dibangun cabang perusahaan.Lizia berdecak sebal, ia berjalan menghampiri asistennya yang tengah makan siang di salah satu pondok kayu sederhana."Nayla," panggil Lizia seiring dengan tangannya yang mengambil kunci mobil dari tasnya."Ibu mau ke mana?" tanya Nayla, asistennya yang dua tahun lebih muda darinya."Cari jaringan. Mau telepon suamiku dulu. Kamu tunggu di sini sebentar," kata Lizia. Kemudian, ia menyalakan mesin mobil, melaju dan membelah jalanan yang tidak terlalu luas di salah satu kota terpencil di Aceh.Sesampainya di sana, Lizia lang
"Aku tidak mengerti lagi dengan jalan pikir mertuaku, Sin. Rahimku sehat, aku dan Aziz juga tidak mandul. Tapi kenapa ibu Aziz ngotot sekali ingin menyewa rahim orang lain? Aku terus-menerus sakit hati setiap kali mengingat dia meragukan rahimku," kata Lizia jengkel. Dia mengambil selembar tisu di atas meja. Entah berapa banyak tisu yang akan dia ambil lagi untuk menghapus air matanya.Lizia menangis sesenggukan, menatap sahabatnya dengan mata yang merah. "Kenapa Tuhan belum memberi aku dan Aziz anak? Dan kenapa juga mertuaku harus perempuan cerewet itu? Ah!" teriak Lizia.Sindi menghela napasnya, menatap kasihan pada Lizia. "Sabar, Liz. Ada, kok, wanita yang belum dikasih anak sampai sepuluh tahun. Eh tapi akhirnya dikasih juga. Intinya, Liz ... jangan putus asa. Sedangkan mertua kamu, biarkan saja mau bilang apa." Dia mengusap pundak Lizia, mencoba memberi kekuatan kepada sahabat karibnya itu.Lizia membuang tisuny
Lizia mengabaikan sapaan dari setiap pegawainya. Dia hanya menatap lurus ke depan tanpa senyuman yang biasa ia umbar.Dia tidak dapat mengangkat ujung bibirnyasementara relung hatinya begitu pilu.Lizia menaruh tasnya di atas meja kerja dengan keras, membuat sekretaris perusahaan yang akan masuk ke ruangannya menjadi ragu."Masuklah," kata Lizia setelah menyadari keberadaan Sang sekretaris."Maaf, Bu. Saya hanya ingin mengingatkan kalau kita ada rapat dua jam lagi," ucap si sekretaris.Lizia mengangguk. Kemudian mengibaskan tangannya menyuruh wanita berhak tinggi di depannya itu keluar."Baik, Bu." Si sekretaris pun pergi setelah menutup pintu dengan hati-hati.Lizia memutar kursinya menghadap dinding kaca di belakangnya. Dia menghela, lalu menarik napas dalam-dalam.Untunglah pemandangan kota Jakarta dari bawah sini membuat suasana hatinya sedikit membaik.Lizia memijat ke
"Kandungannya sudah masuk minggu ketiga."Aziz meremas rambutnya frustasi. Kata-kata dokter terus berputar di kepalanya. Dia beranjak dari kursi tunggu, melihat Lizia yang belum siuman usai kecelakaan satu jam yang lalu.Aziz tidak ingin masuk ke dalam ruang rawat Lizia. Hanya menunggu di luar dengan dengan harapan Lizia cepat bangun.Aziz menghela napas panjang. Dia harus menyalahkan siapa atas kematian calon bayi yang dia tunggu selama tujuh tahun lamanya?Tuhan benar-benar tidak adil pada keluarganya. Mengambil apa yang mereka nanti-nanti dengan susah payah. Tuhan seperti membuat terbang lalu menjatuhkan mereka sampai hancur berkeping-keping.Ibarat kata nasi sudah menjadi bubur, semuanya telah terjadi. Calon bayinya juga sudah pergi. Tidak ada yang bisa dia lakukan untuk memutar kembali waktu. Saat ini bukan hanya dia saja yang terluka, ada Lizia
Langkah kaki Lizia lemah saat memasuki rumahnya. Tubuhnya basah kuyup membuat lantai yang ia lewati menjadi basah. Dia langsung naik ke kamarnya untuk mengganti pakaian basahnya dengan pakaian yang kering.Setelah itu, dia naik ke atas ranjang. Tubuh dan pikirannya yang lelah membuat tak butuh waktu lama lagi bagi Lizia untuk terlelap di bawah selimut.Jam 8 malam.Lizia membuka matanya yang berat. Dia segera meninggalkan ranjang ketika melihat suasana di luar yang gelap dari jendela.Lizia menuruni setiap anak tangga dengan menopang tangannya di pegangan tangga. Kepalanya menjadi pusing setelah terkena hujan beberapa jam yang lalu. Dia langsung ke dapur dan meminum satu setengah gelas air putih.Lizia terduduk di kursi dapur. Dia kembali memikirkan kenyataan menyedihkan itu. Berharap hanya menjadi mimpi belaka saat bangun tidur.
"Sayang, kita masih bisa berjuang sama-sama untuk punya anak. Kita masih muda, sehat."Sehat? Hahaha ... Lizia menertawai dirinya dalam hati."Tujuh tahun, Sayang. Tujuh tahun bukan waktu sebentar, selama itu kita berjuang sambil ikhtiar. Jangan menyerah karena musibah kemarin. Mana Lizia yang aku kenal?" kata Aziz. Dia menatap mata Lizia begitu lekat.Lizia menghela lalu berkata, "Seperti yang kamu bilang, tujuh tahun bukan waktu sebentar, kamu benar, tujuh tahun adalah waktu yang sangat-sangat lama. Saking lamanya membuat aku lelah sama takdir yang diberikan Allah.""Hey, jangan bilang begitu. Apa pun jalan yang dikasih Allah untuk kita berdua, yakin itu jalan paling terbaik di antara terbaik.""Dan ini sudah jadi jalan aku untuk menggunakan rahim orang lain.""Sayang, jangan berpikir karena musibah kemarin aku akan tinggalkan kamu, makany
Pertama, mereka menyewa rumah di dekat tempat tinggal Aziz dan Lizia untuk Dayana. Dayana harus tinggal berdekatan agar mereka dapat setiap waktu mengecek kondisinya selama kehamilan.Kedua, biaya pendidikan S2 ke Singapura ditanggung Aziz dan Lizia. Ini adalah salah satu cara membayar jasa Dayana.Ketiga, mereka akan berdonasi 500 juta ke panti asuhan tempat Dayana tinggal.Keempat, Dayana harus meninggalkan bayi yang dilahirkannya setelah 40 hari.Selesai.4 poin inti dalam perjanjian ibu pengganti.Lizia mencap namanya di atas kertas berukuran A4 di atas meja, lalu diikuti dengan tanda tangan Aziz di bawahnya."Besok kita bertiga ke rumah sakit untuk cek kesehatan dan konsultasi," kata Aziz.Dayana mengangguk setuju, tetapi Lizia tidak. "Kayaknya aku enggak bisa, sayang. Ak
Mata Lizia fokus pada Arum, tetapi sesungguhnya pikirannya hanya tertuju pada suaminya. Curhatan Arum barusan sukses membuat pikirannya kacau, hatinya bimbang, dan dia menjadi takut. Arum sama sepertinya menyewa ibu pengganti untuk mengandung anaknya. Tetapi dia tidak menyangka nasib dari pernikahan Arum akan berakhir tragis karena pilihan yang dibuat wanita itu. Lizia merinding. Mencoba berpikir kalau nasib setiap orang berbeda-beda dan dia mungkin tidak akan berakhir seperti Arum, sebab Aziz sangat mencintainya dan dia sangat percaya pada pria itu. Ya, Lizia menyadarkan semu harapannya pada cintanya dan Aziz. Lizia berpamitan kepada teman-temannya setelah melihat jam 15:43 di tangannya. Tetapi belum sempat meninggalkan gedung reuni, langkahnya terhenti saat suara seorang pria memanggil namanya. Lizia menoleh dan mendapati Rendy di meja bersama