Share

Chapter 3

“Ini tentang pesta pernikahan kita. Aku sudah menemukan tempat yang lebih melindungi privasimu daripada tempat yang kemarin kau rencanakan,” jelas Neil, penuh keantusiasan dari suara lembutnya yang kudengar.

Lihat, betapa manis dan baik hatinya dia. Begitu sangat berbeda dengan seseorang. Ugh, andai posisi mereka bisa ditukar, aku tidak akan pernah mau menikah dua kali, apalagi sampai memiliki dua orang suami.

Cukup Neil dalam hidupku, dalam hatiku.

“Oh, benarkah? Neil, kau hebat. Selalu bisa membuatku bahagia. Terima ka—”

“Avaaa! Di mana handuk biruku?”

Mengejutkan saja! Aku menoleh dan melihat Jay berkacak pinggang di ambang pintu dapur. Selaannya membuat Neil terdiam di seberang.

“Maaf, aku akan menghubungimu lagi nanti.” Suara canggungku keluar dengan lembut, perlahan. Sungguh, aku tidak ingin menyakitinya.

“Iya sayang, tidak apa-apa. Aku mengerti. Sampai nanti,” jawab Neil, membalasku dengan lembut. Oh, aku memang sangat mencintai pria ini. Dia tulus, aku tahu itu.

Setelah memutuskan panggilan, aku menghampiri Jay yang belum merubah posisinya, masih berkacak pinggang.

Kulewati dia tanpa sepatah katapun menuju kamarnya sendiri. Kubuka lemari Jay, mengacak seluruh pakaiannya dan menemukan handuk biru bertuliskan ‘Honey’ dengan benang timbul di ujungnya.

Kuhampiri dia kembali yang masih berdiri di ambang pintu, berwajah kusut—meski ketampanannya sama sekali tidak hilang—dan rambut tebal berantakan yang terlihat lucu. Tapi aku tidak berniat untuk tertawa karena hal itu.

“Jaga sikapmu saat aku sedang menerima panggilan!” Kulemparkan handuk itu tepat ke wajahnya, sebelum terjatuh, Jay dengan cepat menangkapnya.

“Oh, itu tidak ada dalam surat perjanjian yang kutandatangani,” protes Jay, menyeringai.

“Lain kali aku akan lebih kejam saat mengusir para jalangmu itu dari rumah ini!” Nada ancaman yang rendah lebih berpengaruh untuk Jay, dan itu benar.

Dia terdiam di tempat, rahangnya menegang dengan tonjolan urat-urat di sekitar lehernya. Aku yakin setelah ini dia akan marah besar atau setidaknya melempar barang yang pertama kali dia lihat saat marah.

Benar, Jay menendang sebuah meja kecil di sudut, tempat beberapa miniatur mobil dan pesawat yang terbuat dari kayu terpajang rapi, kini jatuh berantakan di lantai.

Untuk hal seperti ini, aku jelas tidak ingin melawan. Biasanya, aku membiarkan Jay mengamuk sesuka hatinya, lalu dia akan membereskan semua kekacauan seperti ini sebelum aku tiba di rumah.

Di rumah ini, apapun itu, kami kerjakan masing-masing. Termasuk menyiapkan sarapan, membersihkan kamar dan rumah, kecuali mencuci pakaian. Biasanya, aku dan Jay—secara terpisah—akan membawa pakaian kotor ke penatu, beberapa hari sekali.

Bukan tanpa alasan, kami menghindari siapapun orang luar yang akan mengetahui bagaimana tidak harmonisnya kehidupan rumah tangga kami.

Dengan adanya pelayan rumah, akan menambah satu lagi hal yang pasti memicu kecurigaan dunia luar tentang bagaimana rumah tangga kami tidak berjalan sesuai apa yang menjadi panutan banyak orang.

Ya, kalimat ‘Pernikahan yang menjadi panutan banyak orang’ itu, sungguh menakutkan!

Aku dan Jay akan terus berpura-pura saling merangkul dengan wajah penuh kebahagiaan, memeluk satu sama lain bersama bahasa tubuh yang harus kupaksa menyatu dengan Jay dalam sebuah hubungan saling berlandaskan cinta, sungguh membuatku gila!

“Harusnya kau buatkan juga untukku,” protes Jay. Dia menyeret kursi makan dan duduk dengan tindakan tak sabaran, merebut sepiring pancake stroberi yang buru-buru kusiapkan untuk sarapan.

Aku tidak akan ambil pusing untuk kegilaan Jay di waktu sarapan. Jadi aku membiarkan pancake itu disantap tanpa sisa olehnya.

“Kau tak suka pancake stroberi, itulah kenapa aku membuatnya.” Kuraih segelas susu, meneguk dengan cepat. Aku harus segera pergi menemui Neil. Selain akan mengurus pakaian pernikahan, aku juga ingin mengunjunginya tiba-tiba. Sebagai kejutan.

“Itu berarti, lain kali kau harus buatkan pancake pisang untukku,” tambah Jay, bicara dengan mulut mengunyah perlahan-lahan.

“Bukan tugasku membuatkan sarapan untukmu, Jay.” Mendorong kursi ke belakang, aku meraih kunci mobil di samping gelas susu.

“Sesekali lakukan itu, Ava. Imbalan atas kemurahan hatiku, membiarkanmu menikah lagi.”

Aku tertawa menghina, melirik tajam pada Jay, lalu mengukir senyum sinis sebelum berkata. “Kau boleh melakukan hal yang sama Jay. Kita tinggal saling menyepakati perjanjian lagi.”

“Terserah kau saja!” Melempar serbet ke atas meja, Jay ikut beranjak dari kursi. Dia berjalan menuju ke kamarnya.

Merasa menang, aku berjalan menjauhi ruang makan ke arah garasi. Tubuh, pikiran dan hatiku sudah siap menyambut bahagia bersama Neil Cedric Harrison.

***

Selesai mengurusi berbagai hal untuk persiapan pernikahan, aku sudah dalam perjalanan menuju ke rumah Neil, ketika panggilan dari Ibu mertuaku, seketika membuatku keheranan.

“Ya, halo Bu?”

“Ravabia, kau ada di mana sayang?” Tanpa basa-basi, itulah ciri khas—Vivian—Ibunya Jay.

“Di perjalanan menuju ke salah satu gerai-ku, Bu. Kenapa, Bu?”

“Waah, kebetulan, aku dan teman-temanku akan mengadakan pertemuan. Bisakah kau hadir untuk mengatur dan mempersiapkan segalanya di gerai-mu?”

Ah, sial!

“Di gerai yang mana Ibu akan mengadakan pertemuan?” Suara manisku, jauh berbeda dengan wajahku saat ini.

“Yang terdekat dengan rumahku saja. Aku tunggu kau di sana. Kau tidak keberatan, bukan?”

Sangat keberatan Ibu mertua!

“Tidak, Bu. Tentu saja tidak.” Aku meremas kemudi dengan geram. Kenapa bisa Bu Vivian yang terhormat ini, menggangguku di saat yang sangat tidak tepat?

Kekesalan meluap dari kepalaku, dengan cepat, kuputar kemudi menuju sudut kota Madeline, di salah satu gerai Vigor Food's milikku, ah, tidak, maksudku, milik keluargaku.

“Ibu mertuaku sudah tiba?” Aku bertanya pada salah satu karyawan sambil kedua mataku menyapu seluruh ruangan. Aku tiba setelah lima belas menit berlalu dengan mobil yang kulajukan bersama kecepatan di atas rata-rata.

“Sudah, Bu. Nyonya Vivian memilih taman belakang untuk acaranya. Baru lima menit yang lalu dia bertanya padaku tentang keberadaan Anda,” jelas karyawanku.

Dasar tidak sabaran! Dia persis seperti Putra liciknya itu.

“Bantu aku untuk menyiapkan semuanya dengan lancar. Kerahkan juga teman-temanmu yang lain.” Tanpa menunggu karyawanku mengangguk, aku berjalan menuju taman belakang. Biasanya tempat itu hanya digunakan oleh pelanggan yang datang bersama Anak atau keluarga besar mereka.

Aku sedikit terkejut karena dia tidak memilih ruang VIP untuk pertemuannya.

“Bagaimana, Bu? Apa yang ingin Ibu lakukan, biar aku  bisa bantu mempersiapkannya sekarang juga,” kataku ketika Ibu memilih untuk menyambutku dengan pelukan. Konon, kata Kakek, Bu Vivian sangat menyukaiku. Aku istimewa, katanya.

“Sederhana saja, sayang. Aku ingin seperti pesta kebun yang penuh kehangatan, karena acara ini bersifat santai dan tenang,” jelasnya.

“Hmm ... baiklah. Berarti semua ini diserahkan padaku?” tanyaku, memastikan. Setidaknya, setelah mengurus ini dengan cepat, aku bisa menyelinap pergi untuk bertemu Neil.

“Tentu, sayang. Atur saja. Mereka akan tiba dua puluh menit lagi.”

"Baik, Bu. Aku mengerti.” Dengan cepat aku mengangguk sambil tersenyum. Benar. Hanya butuh kurang lebih tiga puluh menit lagi untuk memastikan semuanya lancar. Maka aku bisa langsung terbang untuk bertemu kekasih hatiku.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status