Teryyn hampir tertidur separuh perjalanan mereka pulang ke kota, Deva memutuskan untuk menyetir sendirian tanpa supir mereka. Sesekali Deva melirik istrinya yang benar-benar tertidur pulas. Mereka sudah memasuki kota dan sebentar lagi tiba di rumah. Akhirnya lima belas menit kemudian mobil Deva masuk pekarangan dan mesin mobil pun dimatikan.
“Yin, bangun, kita sudah sampai.” Deva mengelus pipi Terryn. Mata Terryn membuka dan badannya menggeliat pelan.
“Home sweet home.” Ujar Terryn seraya tersenyum. Dia pun segera turun, dia ingin mengambil tas serta koper mereka tapi Deva mencegahnya.
“Kayaknya kamu butuh tidur lagi deeh, biar aku yang bawa itu, kamu lanjutin istirahatnya.”Terryn tidak membantah badannya terasa sangat pegal dan dia merasa sangat kelelahan ditambah dengan nyeri di bagian bawahnya yang belum hilang.
Rumah ternyata sedang kosong karena Aluna menginap di rumah ibunya untuk persiapan lamaran. Terryn takAluna tampak anggun dan elegan dalam lamaran itu, semua orang bersuka cita menunggu hari dimana akad nikah dilaksanakan. Terryn pun tak kalah cantiknya dengan kebaya berwarna peach dan Deva yang mengenakan baju batik.Semua tampak bahagia, keluarga Roby pun sangat cepat akrab dengan keluarga Aluna seakan mereka sudah kenal dekat dalam waktu yang lama.Setelah melewati ramah tamah dua keluarga dan acara pun berakhir. Terryn membantu para asisten rumah tangga yang membersihkan dan merapikan rumah. Deva sudah melarangnya tapi Terryn beralasan hanya bantu-bantu urusan kecil saja.Terryn masuk ke kamar kerja ibu Imelda yang rupanya masih berantakan. Hanya asisten rumah tangga tertentu saja yang bisa masuk ke dalam sana dan Terryn salah satunya anggota rumah yang memiliki akses masuk ke sana.Dengan cekatan Terryn merapikan tumpukan kertas-kertas dan dokumen yang ada di meja ibu Imelda. Namun, sayang sikunya menyenggol salah satu map berisikan dokumen penting hin
Aluna memeluk Terryn dengan sangat erat, akhirnya tiba juga hari keberangkatan Aluna dan Roby ke San Fransisco.“Jadi kapan kamu akan terbang ke Jerman,Yin?”tanya Aluna lagi, matanya sembab karena banyak menangis karena harus berpisah dengan keluarganya.“Seminggu lagi, Kak. Di sana nanti Yin akan dijemput sama senior Yin di kampus sini dulu. Ada beberapa senior Yin juga mengambil S-2 di Stuttgart.” Terryn tersenyum dengan penuh keyakinan.“Jaga diri baik-baik di sana yaa, di sana lagi musim dingin, jaga kesehatan kamu, apalagi kamu gak sama Deva.” Aluna melirik adiknya yang tengah bersandar di tiang rumah sambil melipat tangannya.“Iya, Kak, Yin akan jaga kesehatan, Kak Alu
Aluna memeluk Terryn dengan sangat erat, akhirnya tiba juga hari keberangkatan Aluna dan Roby ke San Fransisco.“Jadi kapan kamu akan terbang ke Jerman,Yin?”tanya Aluna lagi, matanya sembab karena banyak menangis karena harus berpisah dengan keluarganya.“Seminggu lagi, Kak. Di sana nanti Yin akan dijemput sama senior Yin di kampus sini dulu. Ada beberapa senior Yin juga mengambil S-2 di Stuttgart.” Terryn tersenyum dengan penuh keyakinan.“Jaga diri baik-baik di sana yaa, di sana lagi musim dingin, jaga kesehatan kamu, apalagi kamu gak sama Deva.” Aluna melirik adiknya yang tengah bersandar di tiang rumah sambil melipat tangannya.“Iya, Kak, Yin akan jaga kesehatan, Kak Alu
Aluna memeluk Terryn dengan sangat erat, akhirnya tiba juga hari keberangkatan Aluna dan Roby ke San Fransisco.“Jadi kapan kamu akan terbang ke Jerman,Yin?”tanya Aluna lagi, matanya sembab karena banyak menangis karena harus berpisah dengan keluarganya.“Seminggu lagi, Kak. Di sana nanti Yin akan dijemput sama senior Yin di kampus sini dulu. Ada beberapa senior Yin juga mengambil S-2 di Stuttgart.” Terryn tersenyum dengan penuh keyakinan.“Jaga diri baik-baik di sana yaa, di sana lagi musim dingin, jaga kesehatan kamu, apalagi kamu gak sama Deva.” Aluna melirik adiknya yang tengah bersandar di tiang rumah sambil melipat tangannya.“Iya, Kak, Yin akan jaga kesehatan, Kak Alu
Willy masuk ke ruangan Deva dengan tangan yang masih dibebat dan menggunakan penyangga. Keadaannya sudah jauh lebih baik, Deva melindunginya dan mengatakan tidak terkait apa-apa dengan penculikan Terryn waktu lalu. Masih dengan perasaan bersalah Willy duduk di depan Deva dan Desta.“Yakin lu masih mau terima gue di Melda’s?” tanya Willy dengan ragu pada Deva.“Gue masih liat lu sebagai sahabat gue,Will. Toh dari awal kita bertiga yang bangun Melda’s ini, gue gak mau kehilangan salah satu pilar cemerlang perusahaan ini. Gue paham keselamatan mama lu juga terancam jadi lu terpaksa ikut permainan mereka. Tapi lain kali please, kalo ada apa-apa ngomong ke gue dan Desta, Will.” Deva menepuk bahu Willy sambil tersenyum.“Ngomon
Hawa pegunungan yang segar menyapa Terryn yang baru saja kembali dari kota untuk mengantarkan buket bunga pada toko roti kenalannya yang baru saja diresmikan. Sudah sebulan Terryn berada di desa ini dan mencoba membuka usaha florist.“Duuuh … Non Terryn, kan sudah Bibi bilang, Non gak usah ikut ke kota, nanti Non kecapean.” Seorang perempuan paruh baya datang tergopoh-gopoh menghampiri Terryn dan mengambil tas yang dicangklong Terryn di bahunya.“Gak apa-apa, Bi, Yin baik-baik saja. Yin mau istirahat dulu,ya.” Terryn masuk ke dalam kamar dan duduk di tepi ranjangnya.Bayangan suaminya Deva yang ada dalam pelukan Lisa kembali tergambar dalam benak Yin. Perempuan itu menarik nafas dan mencoba mengikhlaskannya. Dia berusaha melupakan kejadia
“Apa kau bisa mengantarku ke rumah ibu Arunika,Man?” tanya Deva dengan tergesa. Maman mengernyitkan dahinya karena sikap Deva, dari ekspresi wajah Maman tersirat permintaan penjelasan dari Deva.“Engh … aku merasa kenal dengan wanita yang kau sebut itu, kalau tidak salah dia adik junior saya di kampus dulu. Kami sudah lama tidak bertemu.”Maman ber ’ooh’ panjang meski jawaban Deva masuk akal tapi Maman tampaknya hanya percaya setengahnya saja.“Kapan Tuan ingin diantarkan ke rumah ibu Arunika?” tanya Maman hendak memastikan keseriusan majikannya itu.Deva mengatur nafasnya, sejenak dia ragu bagaimana jika bukan Terryn yang dimaksud oleh Maman. Deva mengeluarkan ponselnya dari sakunya
Bi Ira hanya menceritakan sekilas keadaan majikannya, Terryn sebenarnya bi Ira pun tak tahu banyak soal kondisi Terryn karena perempuan itu menutupi keadaan dirinya. Deva menelan ludahnya menahan rasa sedih yang begitu menohok hatinya. Dia menjadi laki-laki yang merasa paling egois dan tidak mengetahui apa yang sebenarnya terjadi pada istrinya.“Apa istri saya rutin ke dokter, Bi?” tanya Deva dengan suara yang tidak setegas tadi.“Setahu saya hanya beberapa kali saja, Tuan. Non Terryn bilang punya stok obat untuk dirinya dan cukup hingga pertemuan ke dokter di beberapa bulan lagi.”Deva menghela nafas, ditatapnya Desta yang juga tengah memandang ke arahnya. Sahabatnya itu menepuk-nepuk bahu karibnya tanda prihatin dengan keadaan yang dihadapinya sekar