Ruang tata busana di kantor studio Channel 5 merupakan tempat di mana Eva berganti pakaiannya siang itu. Eva baru saja selesai melaksanakan tugasnya membacakan berita siang di Flash Headline.
Hari itu terdapat dua berita perampokan, satu penganiayaan pada perempuan, dan sebuah berita yang menjadi headline adalah kasus korupsi salah satu pejabat pemerintahan. Bagi Eva pribadi, berita terakhir adalah yang paling kejam. Perempuan itu paling benci terhadap koruptor.
“Lho, Mbak Eva, kok mukanya ditekuk begitu? Sakit giginya kumat, ya?” Ojah, seorang office girl berbadan gemuk yang baru memasuki ruangan itu dengan membawa laundry bersih baju-baju kostum sebuah acara, menyapa Eva.
“Saya nggak sakit gigi, Jah … gigi saya tuh cuma sensitif.” Eva tersenyum pada office girl itu. “Enggak, ini … biasalah, beritanya biki
Soto Mie H. Aziz memang terkenal kelezatannya seantero jabodetabek. Namun entah kenapa sampai detik ini, Eva masih belum sempat mencoba soto mie legendaris itu, padahal jarak dari kantornya hanya lima menit berjalan kaki. Sepertinya selama ini benar kata-kata yang sering Eva dengar dari kolega-koleganya, bahwa dia terlalu gila kerja sampai tidak pernah sadar untuk beristirahat sejenak, sekadar untuk wisata kuliner di sekitaran kantor saja tidak pernah dilakukannya. “Ini dia!” ucap Tian dengan nada riang ketika tiga soto mie pesanan meja mereka telah tiba. Menghirup aroma yang menguar dari mengkok yang disajikan di depannya, Eva bisa merasakan perutnya keroncongan seketika. Gila. Wanginya sedap! “Kamu seriusan belum pernah nyoba soto mie ini, Eva?” tanya Tian sambil mengaduk mangkuknya.
Bastian mengetuk-ngetukkan kuku jarinya di atas roda kemudi. Mobil yang dikemudikannya itu, Range Rover berwarna abu-abu, melaju lurus memutari bundaran HI, melintasi jalan malam Jakarta yang bebas dari macet. Sudah lewat jam 11 malam, tapi mata Tian masih terjaga, kemeja fit body dan dasi yang sudah longgar menandakan lelaki itu baru saja kembali dari kantor Pandora. Pikiran lelaki itu berkelana karena pertanyaan asistennya, Nisa, sore tadi sempat mengulik kesadarannya. Beberapa hari yang lalu, Nisa juga sempat menyinggung hal yang sama. Nisa menanyakan tentang masa lalu Tian—tepatnya mempertanyakan pandangannya yang begitu tertutup akan masa lalu siapapun. Hal tersebut membuat Tian otomatis berpikir ... terlalu tertutupkah dia, sampai-sampai asisten yang begi
Matahari baru saja terbit, sinarnya merembes ke salah satu gedung apartemen di bagian selatan kota Jakarta. Dari kamar Eva Sania, sudah terdengar riuh suara hair dryer yang menyala. Sepagi itu, Eva sudah bersiap dengan napas segar dan rambut basah yang siap di-blow dan styling. “Gila, gila! Udah ngalah-ngalahin pengantin rempong di hari-H nya aja lu, Va!” Gerutuan itu terdengar dari arah dapur, menembus pintu kamar yang terbuka. Sahabat Eva, Ika, sedang berkutat di sana. Eva hanya bisa tersenyum maklum sambil mulai mengambil roller, menempatkan rambut depannya sehingga memberinya ruang berkonsentrasi pada bagian belakang. “Makasih loh, Ka … you’re a lifesaver!” ucap Eva tulus kepada Ika, yang kini terburu-buru memasuki kamarnya sambil menyajikan piring nasi goreng sosis-telur.
Hari itu Nisa semangat sekali. Masbos kesayangannya, Bastian, baru saja menitahkan sebuah permintaan yang membuat asisten muda itu kegirangan sepanjang pagi. Tian mengajak Nisa berbelanja untuk memilih hadiah ulang tahun Eva. Hal yang membuat Nisa senang adalah bukan karena dia bisa keluar kantor lebih cepat dan berjalan-jalan di mall bersama Tian. Bukan, sama sekali bukan. Melainkan, adalah karena Nisa berkesempatan untuk menggali lebih dalam fakta tentang kelanjutan hubungan Tian dan Eva. Terlihat Jelas bahwa sejauh ini asisten muda itu sangat mendukung ketertarikan bosnya terhadap perempuan itu, terbukti pada saat photoshoot kemarin, Nisa sengaja meminta Wira untuk mengambil beberapa foto candid selama makan siang mereka. Niatan Nisa tentu saja untuk mengamankan barang bukti kalau sewaktu-wak
Selama 28 tahun hidup di dunia, Eva tidak pernah merasa sedongkol ini. Sepertinya setiap manusia yang ada di sekitarnya telah menyumbang bahan bakar tersendiri untuk membuatnya kesal hati. Ika, sahabat yang seharusnya mendukung Eva apapun keadaannya, kini malah bersikap netral tanpa berani menegur keluarga Eva. Mami dan Papi yang bersekongkol memanfaatkan hari ulang tahun Eva sebagai ajang memperkenalkan lelaki asing itu, tentu saja sukses membuat mood Eva menjadi anjlok. Dan lelaki ini, Raka … ah, kalau saja dia tidak cengengesan dan tersenyum sopan bagaikan anak anjing yang super manut terhadap Papi, mungkin Eva bisa lebih marah terhadapnya. Tapi yang jelas, Eva juga marah sekali terhadap satu laki-laki yang dinantikannya sejak tadi pagi, yang mem-PHP-nya dengan ja
Eva ingin tertawa. Rasanya dunia ini lucu sekali. Waktu itu, Eva sempat memenyokkan si Juki karena telepon mematikan dari Mami, yang membuatnya kini jadi kelimpungan sendiri—mencoba mendapatkan perhatian Bastian Cokro, lelaki yang secara tak sadar telah ia jadikan target sebagai kandidat baby daddy. “Eva? Kamu melamun?” Suara Bastian Cokro berhasil membawa Eva kembali ke realita. Diliriknya lelaki di sisi kanannya itu, yang ternyata sedang memandangi Eva dari balik roda kemudi. Mobil mereka berjalan dengan kecepatan lambat menyusuri jalan perumahan. “Eh, iya … sori, Mas,” ucap Eva. Bastian tersenyum. “Nggak papa. Tadi saya nanyain, arah ke rumah kamu belokan yang mana, tapi kamu malah bengong.” Tepat saat itu Eva menyada
Bastian Cokro melajukan Range Rover abu di jalan bebas hambatan dari arah Bogor ke Jakarta. Hari semakin malam, dan lalu lintas di jalur yang ditempuhnya lengang karena memang berlawanan dari arus balik tengah kota. Hari yang dilewatinya di rumah keluarga Eva sangatlah menyenangkan, membuat senyum Tian terpoles tak kunjung hilang sembari menyetir dan menikmati alunan lagu dari pemutar musik di dasbor. Lagu cinta memang akan terdengar lebih merdu bagi mereka yang kebetulan juga sedang jatuh cinta. Mood Tian yang begitu baik seakan hampir membuatnya lupa akan kejadian yang baru saja dilaluinya siang tadi. Kejadian yang membuat sisi Range Rover-nya penyok parah. Kejadian yang tak sepenuhnya ia ceritakan dengan tuntas kepada Eva. Beberapa jam sebelumnya … “Mas beneran ya
Sehari setelah ulang tahun Eva, kini perempuan itu duduk termangu di balkon apartemennya. Dia tidak mengenakan alas kaki, memandangi langit senja yang mulai menjingga, sambil menggumamkan nada lagu yang tersalur di earphone telinganya. Suara Cody Fry dalam I Hear A Symphony-nya mengalun merdu, membawa ingatan Eva ke salah satu museum tempat dia berswafoto dengan Tian, lelaki yang mengenalkannya pada lagu ini. Eva juga mulai sadar kalau dia tersenyum sendiri, tanpa ada angin dan hujan, sekadar hanya karena mengingat senyuman Tian; lesung tunggal itu sukses membuat Eva dan keluarganya luluh di acara ulang tahun kemarin. Menyadari dirinya sudah merasakan sensasi yang sudah lama sekali tak muncul ke permukaan, Eva membatin pada dirinya sendiri. Celaka, jangan-jangan aku beneran suka?