"Dengar, hari ini Tiana akan pulang, Tino dan Tiano jangan nakal! Ingat apa yang Oma katakan, paham!" Stevani menatap dua Cucunya yang baru saja turun dari dalam mobil setelah pulang sekolah. Kedua anak itu melihat ada mobil milik Papinya di depan rumah, tandanya Tiana sudah pulang setelah sangat lama dirawat di rumah sakit. "Oma, Tiana tidak boleh diajak main ya?" tanya Tino menggandeng tangan Stevani. "Tidak boleh, Sayang." "Kita hanya boleh melihat Tiana saja," sahut Tiano. Mereka berdua berjalan masuk ke dalam rumah, di sana mereka melihat Tiana sedang bersama dengan Sebastian di depan akuarium besar baru yang Ferdi belikan. "Tiana!" teriak Tino dan Tiano berlari mendekati kembarannya. "Eitts... Tidak boleh peluk dulu!" pekik Sebastian menghentikan mereka berdua. "Pi, kita kan kangen banget!" protes Tiano cemberut. "Adik kan sakit, Sayang." Tiana tersenyum pada dua kembarannya. Anak itu menunjuk akuarium di depannya. "Beli ikan tidak bilang-bilang," seru Tiana terkikik
Malam terasa dingin saat memasuki akhir tahun dan musim dingin, Shela menyelimuti Tiana dengan selimut lembut dan tebal. Tak lupa ia memberikan kecupan di pipi putri kecilnya. Shela bahkan membelikan ranjang khusus untuk Tiana yang ia letakkan di samping ranjang besarnya. "Mimpi indah, Sayangku," bisik Shela mengusap kening Tiana. Gadis itu menoleh ke arah jam dinding yang sudah menunjukkan pukul sebelas malam, tapi Sebastian belum kembali ke kamar, dia masih di ruangan kerjanya. Sementara di lantai dua sudah gelap, tandanya Mama dan Papanya juga dua anak kembar Shela sudah tidur."Ke mana Sebastian," lirih Shela mencari-cari. Shela melangkah keluar dari dalam kamar, baru saja ia menampakkan kakinya keluar dari pintu, ia melihat sosok Sebastian mematikan penerangan rumah seraya berjalan ke arahnya menenteng tuxedo hitamnya.Sedangkan Shela masih berdiri di tempat seolah-olah menyambut Sebastian. "Kenapa belum tidur? Tiana rewel?" tanya laki-laki itu berdiri di hadapan Shela. Ny
Siang ini di kediaman Sebastian sangat banyak sekali tamu tang datang. Sengaja Sebastian tidak pergi ke kantor setelah anaknya sembuh, lain dari itu, ia juga sibuk mengurus hari menjelang pernikahannya.Sedangkan Tino dan Tiano, kedua anak itu keheranan sejak pagi hingga kini pukul sebelas siang sudah ada empat sampai lima orang. "Papi..." Tino mengetuk pintu ruangan kerja Sebastian. Suara kecil putranya membuat Sebastian mengangkat wajah, ia pun tersenyum dan melambaikan tangan. "Sini, Sayang." Ia melambaikan tangannya. Anak laki-laki berparas tampan itu berjalan masuk ke dalam sana dan ia berdiri dengan tatapan lucu juga tubuh mungilnya di hadapan sang Papa. "Kok tumben sekali Papi banyak tamunya? Kantornya pindah di rumah ya, Pi?" tanya anak itu mengerjapkan kedua matanya. Pertanyaan konyol macam apa Tino?Sebastian terkekeh, dia mengusap lembut pucuk kepala putranya dan menggendong anak itu, ia dudukkan di pangkuannya. Kedua mata Tino melebar saat di depannya kini ada tumpu
"Mami, sekarang itu hari kamis, besok baru hari jum'at!" "Mami mau ke mana sih, kok dari tadi menatap kalender terus?" Tino dan Tiano duduk di sofa menemani Maminya dan juga adik perempuan mereka. Tiana sendiri asik dengan buku gambar yang kembar belikan di sekolahnya. "Tidak ada Sayang, Mami hanya ingin melihat saja," jawab Shela tersenyum manis. "Kata Opa tadi, Mami sama Papi mau menikah. Emmm, menikah itu, apa sih, Mami?" tanya Tiano dengan polosnya. Shela tersenyum dan ia merangkul ketiga anaknya, mereka tampak asik menikmati malam ini di sofa besar di dekat perapian di ruang keluarga. "Menikah itu... Mami dan Papi akan selamanya bersama. Kita tidak jauh-jauh lagi dari Papi, Sayang." Shela menjelaskan sebisa mungkin, mereka terlalu kecil untuk memahami. "Wahh, berarti kita punya keluarga!" pekik Tino terkikik geli. Lucu sekali putranya ini, Shela pun merangkul mereka bertiga dan tersenyum bahagia. Tanpa sengaja, Sebastian yang baru saja pulang dari suatu tempat, ia berjal
Shela dan Sebastian pergi ke tempat di mana mereka sudah membuat janji pada seorang perancang busana pengantin ternama di kota Birmingham. Nyonya Kimberly Briliana. Di butik megahnya, Shela merasa terpana melihat banyaknya gaun pengantin yang mahal dan pastinya di tempat itu Sebastian akan mengeluarkan banyak uangnya hanya untuk sekedar membeli gaun. Laki-laki yang boros. "Ini adalah empat gaun pengantin yang Nyonya pilih kemarin, Nyonya bisa langsung mencobanya satu persatu," ujar Nyonya Kimberly menunjukkan empat gaun pada Shela. "Terima kasih Nyonya," jawab Shela tersenyum manis. Wanita itu mengangguk, dan kini Shela hanya bersama Sebastian di sana. Laki-laki itu menatapnya lekat-lekat sebelum dia kembali melirik empat gaun tanpa lengan di hadapannya. Demi Tuhan, ini bukan Shela yang memilih, tapi Tiana dan Stevani. "Aku harap istriku tidak memakai gaun menyedihkan seperti ini," ujar Sebastian duduk di sebuah sofa. "Me-menyedihkan apanya? Gaun ini sangat cantik, anggun, ahh
Shela menunjukkan sebuah buku yang ia baca sejak tadi, dia sendiri juga baru tahu kalau Sebastian ternyata dulunya gemar menulis. Laki-laki itu meraih buku bersampul abu-abu yang ada di tangan Shela. Ditatapnya wajah gadis itu sebelum Sebastian mengangkat buku tersebut. "Ah kau membaca semua isi tentang buku ini?" tanya laki-laki itu tersenyum tipis. "Ti-tidak semua, hanya beberapa saja." Bibir Shela cemberut menjelaskannya. "Lucu sekali semua isi buku-buku ini, jauh dari apa yang aku miliki. Termasuk wanita-wanita tipe idealmu." Salah satu alis Sebastian pun terangkat. Ia sudah menduga kalau Shela pasti akan membaca bagian itu. Buku itu ditutup lagi oleh Sebastian, dia melemparkan buku tersebut ke atas sebuah meja kecil dan tersenyum smirk di hadapan Shela."Apa kau masih percaya dengan isi buku ini?" tanya laki-laki itu lekas duduk di samping Shela. "Emmm, bukannya itu tulisanmu? Tentu saja aku percaya." Shela menunduk. "Eh..."Seketika ia memekik kala Sebastian meraih kedua k
"Beberapa hari menjelang pernikahanmu, jangan melakukan hal yang melelahkan. Biar di kembar Mama dan Papa yang menjaga, Tiana ingin tidur dengan Mama." Stevani menemui Shela yang tengah duduk di sofa besar di balkon lantai dua. Wanita itu bersama tiga si kembar yang kini bersembunyi di baliknya. "Tapi Ma, kalau Tiana tidur sama Mama, lantas Tino dan Tiano bagaimana man-""Kita sudah dewasa, Mami. Kita nanti mau jadi Boss! Tidak takut kok, tidur sendirian!" sahut Tiano, anak itu bersungut-sungut ingin tidur sendiri. "Iya, anak laki-laki kata Opa harus berani!" Tino mengimbuhi. Shela tersenyum tipis, ia menatap Tina yang memanyunkan bibirnya dan memeluk kaki Stevani dari belakang. Seolah-olah dia menunjukkan pada Shela kalau dirinya benar-benar ingin tidur dengan Neneknya. "Bobo sama Oma," cicit anak itu. Shela mengangguk. "Boleh, tapi jangan nakal ya, Sayang." Senyuman Tiana mengembang. "Iya Mamiku!" "Ayo Oma... Ayo tidur, Oma yang bacain kisah katak dan putri bunga ya," ajak
Dua Hari Kemudian..."Mami cantik sekali, wahh... Gaunnya sangat cantik, seperti kelopak bunga mawar putih!" "Mami seperti princess!" Tiano menyahuti kembaran laki-lakinya yang berdiri di sampingnya. "Cantik seperti Tiana," sahut Tiana dengan wajah malu-malu. Dua perias yang menemani Shela yang baru selesai berdandan pun hanya tersenyum manis. Tiga anak itu sangat manis sekali. Sedangkan Shela juga tersenyum tak kalah bahagianya dari mereka bertiga. "Terima kasih, Sayangku..." Shela mengusap pucuk kepala ketiga anaknya. "Sudah Nona," ujar salah satu perias baru saja menyelesaikan memasang perhiasan pada Shela. Shela membalikkan badannya menatap cermin di hadapannya. Ternyata pujian yang si kembar berikan memang tidak berbohong, dia sangat cantik dengan balutan gaun pengantin berlengan panjang berwarna putih salju dengan kain renda-renda yang sangat cantik. Selera Sebastian tidak main-main. "Mami cantik sekali, hemm... Kalau Tiano sudah besar nanti mau mencari pacar seperti Mam