Sebastian memandangi wajah Shela yang kini tertidur dengan nyenyak. Memeluk Tiana yang sudah bangun sejak beberapa menit yang lalu, namun putri kecilnya itu masih enggan melakukan apapun. "Tidur lagi, Sayang," bisik Sebastian mengecup pipi Tiana. Anak itu bergerak cepat meringkuk memeluk leher Shela dan mulai merengek-rengek seperti biasa. "Mami bangun," bisik anak itu di telinga Shela. Entah saking lelahnya, atau memang Shela mengabaikan putrinya. Gadis itu tidak membuka kedua matanya sama sekali. "Mami... Ih Mami tidak sayang Tiana lagi," cicit Tiana cemberut memainkan kancing piyama yang Shela pakai. Tingkah lucu Tiana membuat Sebastian terkekeh pelan, laki-laki itu langsung beringsut bangun. Ia turun dari atas ranjang dan mengulurkan kedua tangannya pada Tiana. Anak itu tidak mau digendong, Tiana turun sendiri dan ia berjalan dua langkah sebelum bocah itu nyaris saja terjungkal hingga Sebastian langsung menahannya. "Sayang, tidak papa?!" pekik Sebastian, ia langsung membun
"Tiana akan aku ajak jalan-jalan! Kau jangan melarangku!" Monica, wanita itu langsung merebut Tiana dari gendongan Shela saat itu juga. Semudah itu Monica mengambil Tiana dari gendongan Shela dan mendorong pundak Shela hingga terjatuh di sofa. Putri kecilnya berada dalam gendongan sang Nenek, menatap Maminya dengan tatapan sedih meronta. "Ma... Jangan, Tiana masih sakit! Ma!" Shela langsung mengejar Monica yang gegas melangkah keluar. "Ma, tunggu dulu... Ma!" Langkah kaki Monica begitu tergesa-gesa, entah kenapa Tiana pun juga tidak menangis seperti biasanya. Padahal dia melihat Shela mengejarnya. Anak itu hanya menatapi Shela dan melambaikan tangannya begitu Tiana lebih dulu Monica masukkan ke dalam mobil. "Ma tunggu!" Shela menarik lengan Monica. "Apa sih, Shela!" Monica menyentak tangan Shela dengan kuat. "Aku ini Neneknya! Aku berhak membawa Cucuku pergi jalan-jalan, makan enak, dan memanjakan dia! Aku tidak menjamin selama ini Tiana bahagia tinggal denganmu yang hidup serb
Sebastian dan Shela berlari masuk ke dalam rumah sakit, setengah jam yang lalu Monica menghubunginya dan mengatakan kalau Tiana kambuh dan dilarikan ke rumah sakit. Di lorong rumah sakit Sebastian melihat Mamanya dan Bella di sana. Shela berjalan cepat, ia menatap marah Monica dan Bella. "Di mana anakku?!" pekik Shela menatap mereka. "Shela tenang..." Sebastian merangkulnya erat dan memeluknya. Di depannya, Bella terpaku, ia terkejut bukan main. Jadi, wanita yang Sebastian sayangi, Ibu dari ketiga anaknya adalah Shela, keponakan Sebastian! "Tiana..." Shela menangis mendorong Sebastian, ia menatap ke dalam sebuah ruangan, di mana anaknya dirawat di dalam sana. "Apa yang kalian lakukan pada anakku... Kenapa kalian selalu mengusik hidupku, KENAPA?!" Shela menoleh ke arah Monica dan Bella. Ia terduduk di lantai dan menangis, lagi-lagi Sebastian memeluknya dan menenangkan Shela meskipun gadis itu mendorongnya berkali-kali. "Jangan menyentuhku lagi! Pergi kau... Ajak Mamamu pergi,
Hampir dua jam lamanya Shela berdiri di depan dinding kaca menatap putrinya yang terbaring lemah di dalam sebuah ruangan. Shela merasa hidupnya benar-benar hampa, meskipun ada dua anak lagi yang harus ia perhatikan, tapi Shela berjuang mati-matian enggan untuk mengabaikan Tiana barang satu detik pun. "Aku terlalu terlena, harusnya semua itu tetap menjadi rahasia," lirih Shela tertunduk, kakinya begitu gemetar berdiri cukup lama. "Andai semuanya masih tersembunyi, Tiana tidak akan seperti ini..." Shela terduduk di lantai yang dingin, ia menundukkan kepalanya dan kepalanya begitu sakit. Kali ini Shela merasakan sebuah rasa lelah yang luar biasa. Gadis itu mengambil ponselnya, bagaimanapun juga ia harus bercerita pada kedua orang tuanya, menceritakan segalanya tentang lima tahun ini, dan kondisi Tiana sekarang. Shela diam menunggu panggilan itu dijawab. "Halo... Halo Sayang, ada apa nak? Kenapa telfon Mama malam-malam, Sayang?" Stevani membuka suara. "Mama..." Shela benar-benar me
Keesokan harinya, Sebastian menyusul Tino dan Tiano yang ia ajak ke rumah untuk menemui Tiana. Semalaman Tiana terus menerus menyebut-nyebut nama kembarannya, mungkin dia sangat rindu. Kedatangan Tino dan Tiano membuat Tiana tersenyum, meskipun dia sedikit irit bicara, setidaknya kembarannya mau menghiburnya. "Mam, kita semalam demam. Mungkin karena kangen Tiana ya," ujar Tino sambil memeluk sang kembaran. "Iya, kita berdua kangen banget sama Tiana." Tiano menatap lekat dan dekat wajah adik kembarannya. "Tiana, kangen aku tidak?"Tiana hanya menganggukkan kepalanya dan tersenyum, tangan mungilnya memeluk Tiano. "Cepat sembuh ya Sayang, biar bisa main lagi," ujar Shela merapikan dan mengepang dua rambut Tiana. "Mami, nanti pulang, tidak? Kita juga kangen sama Mami." Tino mendekati Shela dan memeluknya. Shela mendekap hangat tubuh Tino. "Mami juga kangen, Sayang. Tapi adik kan masih sakit, besok kalau adik sudah sembuh Mami pasti temani kalian tidur." "Tidak usah Mi, Mami temani
Dua hari Shela di rumah sakit ditemani oleh Mamanya, mereka berdua menjaga Tiana dan juga dua anak kembarnya yang lain. Dengan adanya sang Stevani, Shela benar-benar sangat tertolong. Apalagi mengasuh Tino dan Tiano bukanlah perkara yang sangat mudah. "Ihhh... Kalah! Tidak suka!" pekik Tiana melemparkan ponsel milik Shela ke atas kasur di sampingnya. "Ehh, kenapa? Apanya yang kalah, Sayang?" Stevani mendekati Cucunya. "Biasa Oma, Adik Tiana selalu marah kalau kalah main game, sudah Tino bilangan tidak usah main, masih aja main!" Tino mengomel seraya menatap kembaran perempuannya itu. Tiana malah menatap sang Kakak dengan tatapan kesal. "Tino nakal!" teriak Tiana marah-marah. Muncul Shela masuk ke dalam ruangan itu bersama dengan Tiano. Mereka baru saja mencari makan, sekalian meminta Dokter Marisa memeriksa Tiana lagi. "Loh, kenapa marah-marah, Sayang?" Shela mendekati sang putri. Di sana, Stevani menggendong Tiana lagi. Anak itu menyandarkan kepalanya di pundak sang Oma. "T
Saat pagi tiba, Sebastian terbangun lebih dulu. Di luar masih gelap, kamarnya pun masih gelap pula. Lengannya sangat kebas karena Shela yang memeluknya semalaman penuh dan menjadikan lengan kiri laki-laki itu sebagai bantalnya. Kini pun gadis itu masih lelap meringkuk memelukmu dengan erat. "Ya ampun," lirih Sebastian mengusap wajahnya pelan dan menghela napas panjang. Pelan ia melepaskan pelukannya pada Shela, ditatap wajah cantik itu beberapa detik sampai Sebastian tersenyum manis. "Lanjutkan tidurmu, Sayang," bisik Sebastian mengecup kening Shela. Barulah laki-laki itu bangkit dari duduknya. Sebastian melangkahkan kaki masuk ke dalam kamar mandi, membersihkan tubuhnya dan bersiap. Ia harus menyiapkan sarapan untuk si kembar, dan Sebastian juga sudah meminta Josh mencarikan pembantu juga, agar semua pekerjaan Shela tidak terlalu berat. Begitu Sebastian membuka pintu kamar, ia cukup terkejut saat melihat dua putranya berdiri tepat di depan pintu kamarnya. "Pagi Sayang," sapa
Sebuah cincin pernikahan bermata bening yang cantik dan indah, berjajar dengan berbagai model di hadapan Shela di dalam kotak beludru merah dan biru tua. Seumur hidup, Shela tidak pernah membayangkan kalau jarinya akan diselipi oleh cincin secantik itu. "Pilih yang mana, Shela?" Sebastian hanya berdiri di samping Shela dan menatapi wajah gadisnya. Diam dan tidak menjawab, mungkin Shela menyukai semuanya. "Sebentar, biarkan Istriku memilih," ujar Sebastian tiba-tiba pada pelayan toko itu. "Iya Tuan." Ucapan mereka membuat Shela kembali menoleh pada Sebastian. Laki-laki itu merangkul pundaknya dan menatap tiga pilihan cincin di hadapan mereka."Aku bingung," lirih Shela menggembungkan kedua pipinya. "Bagus semua. Tapi, kau benar-benar membelikan ini untukku? Kau tidak akan melamar wanita lain, kan?" Pertanyaan Shela membuat beberapa perempuan di sampingnya menoleh, bahkan karyawan toko pun menatap ke arah Sebastian juga. Sebastian berdehem, ia menundukkan kepalanya dan menggaruk