'Padahal rasanya baru tadi semua biasa-biasa saja dan berjalan dengan baik seperti yang aku inginkan, tapi kenapa... Kenapa sekarang jadi begini?' Sora menangis tanpa suara di dalam bus. Gadis itu menuju ke rumah lamanya yang berada di Scarborough. Tidak ada pilihan lain, Sora ingin menjual tanah dan rumahnya untuk membayar semuanya pada Tiano, ia tidak mau Ibunya lebih kecewa lagi. Terlebih saat ini kondisi Hima benar-benar menurun drastis. "Ya Tuhan, ini sangat sulit," ucap Sora menundukkan kepalanya dan menangis. Sora telah menolak bantuan Tiano, ia meninggalkan laki-laki itu. Lebih baik ia dibenci oleh Tiano, daripada Sora harus dibenci oleh Ibunya sendiri. Perjalanan yang jauh, Sora kini sampai di rumah lamanya. Ia langsung mendatangi rumah Bibi Milly, kerabatnya yang selama ini merawat rumah Sora dan orang yang menyimpan sertifikat rumah tersebut. "Bibi Milly," panggil Sora di depan pintu. "Ya ampun Sora!" pekik wanita itu terkejut. "Ya ampun nak, apa yang membawamu ke si
Bola mata Sora melebar tak percaya dengan apa yang Tiano katakan. Dia menginginkannya, malam ini juga. Apa maksud dari menginginkannya? Sora tidak mengerti."Me-menginginkan apa maksudmu?" lirih Sora bingung.Laki-laki itu tidak menjawabnya, ia meraih tangan Sora dan menariknya. "Nanti kau akan tahu sendiri apa yang aku maksud, sekarang ayo pergi dari sini dan akan aku lunasi biaya operasi Ibumu." Sora mengikuti Tiano yang menggenggam tangannya. Dan benar saja, tidak ada orang yang peduli kepadanya selain Tiano. Dia lagi, dia lagi. Bukankah seharusnya dia bersyukur karena adanya laki-laki ini?Sora mengembuskan napasnya pelan. Mereka berada di tempat di mana Tiano membayar semua tagihan rumah sakit juga biaya operasi Hima yang akan dilangsungkan segera. "Operasinya akan kami lakukan besok pagi, kondisi Nyonya Hima sudah sangat menurun drastis, jauh dari kata standard. Jadi kami perlu penanganan yang cepat!" seru Dokter menjelaskan pada Tiano. Tiano pun mengangguk. "Aku tunggu ka
Saat kedua mata terbuka, Sora merasakan kehampaan yang luar biasa dalam hidupnya. Rasa sakit di tubuhnya, lelah, dan semuanya menjadi satu. Suara gemericik air di dalam kamar mandi membangunkannya. Sora tersentak kaget saat ia hendak bangun, tubuhnya seperti remuk dan sakit pada inti tubuhnya. "Astaga..." Gadis itu memejamkan kedua matanya. Perlahan ia meraih pakaiannya yang berada di tepi ranjang. Sora memakai pakaiannya dan duduk diam di sana, pikirannya berlarian ke mana-mana. 'Tidak ada gunanya aku menyesali semua ini. Lagipula, semuanya juga sudah hancur, tidak bisa aku kembalikan seperti semula.' Mati-matian Sora menahan air matanya agar tidak menangis. Sampai suara pintu kamar mandi terbuka. Tiano mendekatinya, laki-laki itu mengusap pucuk kepala Sora dengan lembut. "Cepat bersihkan tubuhmu," bisik Tiano mengecup pipinya singkat. "A-Aku..." "Kenapa? Kau mau gendong?" tawar Tiano, seperti tak terjadi apapun dengan mereka. Sora menggelengkan kepalanya, gadis itu beranja
'Sekarang aku benar-benar sendirian, aku sudah tidak punya siapa-siapa lagi di dunia ini... Ibu, kenapa Ibu meninggalkan Sora...' Teriakan-teriakan penuh rasa sakit yang sesak menjerit tak tertolong di dalam kepala Sora. Gadis itu diam tertunduk di atas ranjang kamarnya memeluk kedua lututnya. Gaun panjang berwarna hitam yang ia pakai masih tersisa tanah pemakaman yang menempel. Pintu kamar terbuka, ruangan gelap itu menjadi sedikit terang. Sora menyembunyikan sesuatu pada kedua lipatan tangannya di atas lutut. "Sora, bajumu kotor, gantilah dengan yang bersih dan segera makan. Kau bisa sakit..." Tiano mengulurkan tangannya mengusap pucuk kepala gadis itu. Sora menggelengkan kepalanya. "Tidak, tinggalkan aku sendiri." "Kau akan larut dalam kesedihanmu saat sendirian. Jangan berpikir kalau kau akan kesepian." Tangisan gadis itu terhenti seketika, ia mendongakkan kepalanya menatap Tiano dengan tatapan dalam. "Bagaimana mungkin aku tidak kesepian... Di dunia ini aku hanya memiliki
"Kau sangat memuaskanku malam ini, Sayang..." Suara dua insan di dalam sebuah kamar membuat tubuh Shela menegang seketika. Gadis cantik dua puluh dua tahun itu baru saja masuk ke dalam apartemen kekasihnya untuk memberikan kejutan ulang tahun pada laki-laki tersebut. Namun, Shela malah disuguhi suara dua orang yang terdengar begitu mesra dari dalam kamar. Dengan dada bergemuruh hebat, Shela mendorong pintu di hadapannya dengan kuat, membuat dua manusia di atas ranjang besar itu tersentak kaget atas kehadirannya.Kue ulang tahun di tangan Shela pun terjatuh, gadis itu membekap mulutnya dengan tangan. Air mata tak tertahankan setelah tahu siapa wanita yang tengah berduaan dengan kekasihnya. "Shela!" pekik dua orang itu bersamaan seraya berebut selimut menutupi kedua tubuh polos mereka. "Teganya kalian melakukan ini di belakangku?!" teriak Shela, masih berdiri di dekat pintu dengan tatapan tidak percaya."Shela, aku bisa jelaskan... Ini tidak seperti yang kau lihat!" Vano, kekasihnya
"Eunghh berat..."Lenguhan terdengar dari bibir Shela saat merasakan beban berat melingkarkan di pinggang kecilnya. Seseorang memeluknya dengan sangat erat dan hangat di pagi hari. Tubuh Shela terasa sakit, kebas, dan remuk. Perlahan kedua matanya terbuka, ia menatap pakaiannya yang berada di lantai hotel. Sontak Shela langsung terkejut saat menyadari sesuatu. "Astaga..." Shela langsung terbangun, kesadarannya kembali penuh. "A-apa yang sudah aku lakukan?"Shela menutup mulutnya, menatap wajah laki-laki asing di belakangnya yang tertidur lelap dengan tubuh polosnya tertutup selimut. Detak jantung Shela berpacu cepat. Ia menggelengkan kepalanya pelan dan menutupi tubuhnya. "Si-siapa dia? Ya Tuhan, bagaimana ini semua bisa terjadi?!" Tanpa suara Shela menuruni ranjang dengan sepelan mungkin. Kedua kakinya lemas tak bertenaga saat ingatan malam panas yang telah ia lewati bersama pria tampan itu. Shela bergidik saat mengingat dirinya sendiri yang ikut melayani kebuasan pria itu. "Ah.
Tiga hari berjalan sangat cepat, hari demi hari Shela semakin tersiksa dengan banyak kenyataan pahit dalam hidupnya. Hari ini adalah hari pernikahan Mamanya, hari sakral itu digelar di sebuah hotel berbintang milik Stevani. Shela menjadi satu-satunya yang sangat tidak bahagia dengan pernikahan Mamanya. "Shela jangan murung terus, Sayang. Tidak bisakah kau ikut turut bahagia di hari pernikahan Mama, hem?" Stevani menangkup pipi Shela. "Senyum dong Sayang, tidak enak dilihat semua tamu-tamu Mama." Gadis itu menepis pelan tangan sang Mama. "Ini hanya kebahagiaan Mama, bukan kebahagiaan Shela.""Astaga anak ini..." Shela melepaskan cekalan tangan sang Mama dan pergi, namun langkahnya terhenti begitu seorang laki-laki selalu ingin Shela hindari, kini berdiri tegap melangkah hendak menghampirinya. Takdir yang pahit membuat Shela akan sering berjumpa dengannya. Sebastian berjalan semakin dekat, Shela berniat menjauh sebelum satu lengannya ditahan oleh laki-laki itu dengan cepat. "Tun
Sudah beberapa hari ini Shela merasa ada yang aneh pada dirinya, ia terus ingin muntah dan tubuhnya yang mudah tidak bertenaga membuat Shela terus menerus mengurung diri di dalam kamar. Gadis itu kini duduk di tepi ranjangnya dan mengusap perutnya yang masih tak nyaman, perasaan cemas kembali menghampirinya. "Sudah lima minggu lebih aku terlambat datang bulan, apa mungkin aku..," lirih Shela menatap pantulan dirinya di cermin. Segera Shela beranjak dari duduknya, gadis itu berjalan membuka laci meja rias. Ragu-ragu Shela mengambil sebuah test pack yang pagi tadi ia beli. Shela berjalan masuk ke dalam kamar mandi dan mengunci pintunya rapat-rapat, cukup lama ia diam di sana dan menunggu. 'Semoga firasatku ini salah Ya Tuhan, semoga dugaanku tidak terjadi,' batin Shela penuh harap. Beberapa menit Shela menunggu, gadis itu meraih test pack dengan tangan gemetar. Dua garis merah begitu jelas telihat hasil dari test pack yang Shela pegang. Dan Shela kini benar-benar tengah hamil!Bag