Saat Sora sudah tertidur, Tiano melepaskan pelukannya pada gadis itu. Diam-diam ia mencuri kecupan, bahkan sesekali membelai pipi mulutnya yang putih mengkilat. Terbesit perasaan jahat dalam dirinya, ingin memiliki Sora saat ini juga. Berupaya agar Sora tak bisa kabur darinya tanpa alasan apapun. "Kelinci kecilku yang lucu," bisik Tiano, lirih dan dalam. Ibu jarinya mengusap dagu kecil gadis itu sebelum Tiano beranjak dari atas ranjang perlahan-lahan. Laki-laki itu berjalan meraih ponsel miliknya di atas meja rias. Ia keluar dari dalam kamar seraya menghubungi seseorang. "Kau sudah ada di depan? Oh... Tunggu sebentar, aku bukakan pintu untukmu." Tiano berjalan ke lantai satu, ia membuka pintu di hadapannya hingga seorang laki-laki muncul membawa sebuah berkas penting di tangannya. Mereka berdua masuk ke dalam rumah dan langsung menuju ke ruangan kerja Tiano. "Kau sudah mendapatkannya?" tanya pemuda itu menatap laki-laki dengan setelan pakaian formal berwarna abu-abu yang melet
Kedatangan Sora kali ini membuat Ibunya terkejut. Sora dengan wajah cemas mendekati Ibunya. Setelah dokter mengatakan kondisi Ibunya kembali drop, hal ini bisa mengarahkan Ibunya pada operasi jantung besar-besaran. Namun dengan kedatangan Sora, Hima terlihat tidak senang sama sekali, seperti ada yang dia sembunyikan. Meskipun Sora sibuk bercerita dan memeluknya sesekali dengan ekspresi bahagia. "Ibu... Apa Ibu tidak merindukanku? Sora bawakan kue kesukaan Ibu," ujar gadis itu meletakkan sebuah cake di atas meja. "Ibu kenapa diam saja? Ibu marah ya, Sora tidak pernah ke sini?" tanya gadis itu. Hima yang berbaring tiba-tiba menggelengkan kepalanya. Wanita itu seperti ingin menangis dan menepis tangan Sora begitu saja. Kedua mata Sora melebar dengan apa yang Ibunya lakukan. Hima memeluk bantalnya dan menangis, wanita itu menangis di hadapan putrinya yang tengah kebingungan dengan sikapnya. 'Nyonya Hima mendapatkan perawatan yang sangat berkelas di rumah sakit ini, padahal latar bel
'Padahal rasanya baru tadi semua biasa-biasa saja dan berjalan dengan baik seperti yang aku inginkan, tapi kenapa... Kenapa sekarang jadi begini?' Sora menangis tanpa suara di dalam bus. Gadis itu menuju ke rumah lamanya yang berada di Scarborough. Tidak ada pilihan lain, Sora ingin menjual tanah dan rumahnya untuk membayar semuanya pada Tiano, ia tidak mau Ibunya lebih kecewa lagi. Terlebih saat ini kondisi Hima benar-benar menurun drastis. "Ya Tuhan, ini sangat sulit," ucap Sora menundukkan kepalanya dan menangis. Sora telah menolak bantuan Tiano, ia meninggalkan laki-laki itu. Lebih baik ia dibenci oleh Tiano, daripada Sora harus dibenci oleh Ibunya sendiri. Perjalanan yang jauh, Sora kini sampai di rumah lamanya. Ia langsung mendatangi rumah Bibi Milly, kerabatnya yang selama ini merawat rumah Sora dan orang yang menyimpan sertifikat rumah tersebut. "Bibi Milly," panggil Sora di depan pintu. "Ya ampun Sora!" pekik wanita itu terkejut. "Ya ampun nak, apa yang membawamu ke si
Bola mata Sora melebar tak percaya dengan apa yang Tiano katakan. Dia menginginkannya, malam ini juga. Apa maksud dari menginginkannya? Sora tidak mengerti."Me-menginginkan apa maksudmu?" lirih Sora bingung.Laki-laki itu tidak menjawabnya, ia meraih tangan Sora dan menariknya. "Nanti kau akan tahu sendiri apa yang aku maksud, sekarang ayo pergi dari sini dan akan aku lunasi biaya operasi Ibumu." Sora mengikuti Tiano yang menggenggam tangannya. Dan benar saja, tidak ada orang yang peduli kepadanya selain Tiano. Dia lagi, dia lagi. Bukankah seharusnya dia bersyukur karena adanya laki-laki ini?Sora mengembuskan napasnya pelan. Mereka berada di tempat di mana Tiano membayar semua tagihan rumah sakit juga biaya operasi Hima yang akan dilangsungkan segera. "Operasinya akan kami lakukan besok pagi, kondisi Nyonya Hima sudah sangat menurun drastis, jauh dari kata standard. Jadi kami perlu penanganan yang cepat!" seru Dokter menjelaskan pada Tiano. Tiano pun mengangguk. "Aku tunggu ka
Saat kedua mata terbuka, Sora merasakan kehampaan yang luar biasa dalam hidupnya. Rasa sakit di tubuhnya, lelah, dan semuanya menjadi satu. Suara gemericik air di dalam kamar mandi membangunkannya. Sora tersentak kaget saat ia hendak bangun, tubuhnya seperti remuk dan sakit pada inti tubuhnya. "Astaga..." Gadis itu memejamkan kedua matanya. Perlahan ia meraih pakaiannya yang berada di tepi ranjang. Sora memakai pakaiannya dan duduk diam di sana, pikirannya berlarian ke mana-mana. 'Tidak ada gunanya aku menyesali semua ini. Lagipula, semuanya juga sudah hancur, tidak bisa aku kembalikan seperti semula.' Mati-matian Sora menahan air matanya agar tidak menangis. Sampai suara pintu kamar mandi terbuka. Tiano mendekatinya, laki-laki itu mengusap pucuk kepala Sora dengan lembut. "Cepat bersihkan tubuhmu," bisik Tiano mengecup pipinya singkat. "A-Aku..." "Kenapa? Kau mau gendong?" tawar Tiano, seperti tak terjadi apapun dengan mereka. Sora menggelengkan kepalanya, gadis itu beranja
'Sekarang aku benar-benar sendirian, aku sudah tidak punya siapa-siapa lagi di dunia ini... Ibu, kenapa Ibu meninggalkan Sora...' Teriakan-teriakan penuh rasa sakit yang sesak menjerit tak tertolong di dalam kepala Sora. Gadis itu diam tertunduk di atas ranjang kamarnya memeluk kedua lututnya. Gaun panjang berwarna hitam yang ia pakai masih tersisa tanah pemakaman yang menempel. Pintu kamar terbuka, ruangan gelap itu menjadi sedikit terang. Sora menyembunyikan sesuatu pada kedua lipatan tangannya di atas lutut. "Sora, bajumu kotor, gantilah dengan yang bersih dan segera makan. Kau bisa sakit..." Tiano mengulurkan tangannya mengusap pucuk kepala gadis itu. Sora menggelengkan kepalanya. "Tidak, tinggalkan aku sendiri." "Kau akan larut dalam kesedihanmu saat sendirian. Jangan berpikir kalau kau akan kesepian." Tangisan gadis itu terhenti seketika, ia mendongakkan kepalanya menatap Tiano dengan tatapan dalam. "Bagaimana mungkin aku tidak kesepian... Di dunia ini aku hanya memiliki
"Kau sangat memuaskanku malam ini, Sayang..." Suara dua insan di dalam sebuah kamar membuat tubuh Shela menegang seketika. Gadis cantik dua puluh dua tahun itu baru saja masuk ke dalam apartemen kekasihnya untuk memberikan kejutan ulang tahun pada laki-laki tersebut. Namun, Shela malah disuguhi suara dua orang yang terdengar begitu mesra dari dalam kamar. Dengan dada bergemuruh hebat, Shela mendorong pintu di hadapannya dengan kuat, membuat dua manusia di atas ranjang besar itu tersentak kaget atas kehadirannya.Kue ulang tahun di tangan Shela pun terjatuh, gadis itu membekap mulutnya dengan tangan. Air mata tak tertahankan setelah tahu siapa wanita yang tengah berduaan dengan kekasihnya. "Shela!" pekik dua orang itu bersamaan seraya berebut selimut menutupi kedua tubuh polos mereka. "Teganya kalian melakukan ini di belakangku?!" teriak Shela, masih berdiri di dekat pintu dengan tatapan tidak percaya."Shela, aku bisa jelaskan... Ini tidak seperti yang kau lihat!" Vano, kekasihnya
"Eunghh berat..."Lenguhan terdengar dari bibir Shela saat merasakan beban berat melingkarkan di pinggang kecilnya. Seseorang memeluknya dengan sangat erat dan hangat di pagi hari. Tubuh Shela terasa sakit, kebas, dan remuk. Perlahan kedua matanya terbuka, ia menatap pakaiannya yang berada di lantai hotel. Sontak Shela langsung terkejut saat menyadari sesuatu. "Astaga..." Shela langsung terbangun, kesadarannya kembali penuh. "A-apa yang sudah aku lakukan?"Shela menutup mulutnya, menatap wajah laki-laki asing di belakangnya yang tertidur lelap dengan tubuh polosnya tertutup selimut. Detak jantung Shela berpacu cepat. Ia menggelengkan kepalanya pelan dan menutupi tubuhnya. "Si-siapa dia? Ya Tuhan, bagaimana ini semua bisa terjadi?!" Tanpa suara Shela menuruni ranjang dengan sepelan mungkin. Kedua kakinya lemas tak bertenaga saat ingatan malam panas yang telah ia lewati bersama pria tampan itu. Shela bergidik saat mengingat dirinya sendiri yang ikut melayani kebuasan pria itu. "Ah.