Tubuh Edeline membeku mendengar apa yang dikatakan oleh Elvis. Kata-kata menusuk dan memberikan sidiran pedas padanya. Oh, God! Edeline tak mengira kalau dirinya akan mengalami hal sesial ini dalam hidupnya.
“A-aku minta maaf, Dokter Elvis.”
Suasana bingung yang sempat menguasai telah lenyap oleh permintaan maaf dari Edeline. Gadis cantik itu dengan sukarela mengalah, pun membungkukkan punggung untuk menggambarkan ketulusan dari permintaan maafnya.
Edeline kalah telak. Gadis cantik itu tak memiliki pilihan apa pun selain meminta maaf. Dia masih mencintai karirnya. Mimpinya menjadi dokter tidak boleh hancur hanya karena kebodohannya. Jadi lebih baik untuk kali ini dia mengalah minta maaf. Entah kesabarannya apakah mampu menghadapi sifat Elvis.
“Jangan galak-galak dengan Dokter Edeline, Elvis. Dia bisa tidak betah jika kau seperti itu.” Dengan nada kaku bercampur canggung, Peter membujuk Elvis. Pria paruh baya itu sedikit memberikan peringatan pada putranya.
“Tidak masalah. Hitung-hitung mental Edeline diuji untuk menjadi kuat.” Abraham mengambil alih untuk mencairkan suasana.
Sementara itu, Elvis masih melayangkan tatapan tajamnya kepada Edeline yang sudah mengangkat pandangannya. Matanya yang tajam mengirimkan isyarat bermusuhan kepada Edeline, pun menakut-nakuti Edeline untuk tidak boleh bersikap sembrono kepada dirinya.
Edeline sendiri memahami isyarat tak ramah itu. Dia hanya menelan saliva dalam diamnya, pun mulai curi-curi memalingkan pandangan dari Elvis yang mengintimidasi.
Beruntungnya saat itu Edeline sesaat terselamatkan oleh Abraham. Konglomerat berumur itu pamit undur diri setelah menyelesaikan tugasnya. Dia merasa bahwa hari ini kesialan bertubi-tubi datang.
“Terima kasih telah mengantar dan membantuku, Tuan Abraham,” ucap Edeline ketika hendak berpisah dengan Abraham di luar ruangan.
Abraham mengulas senyuman hangat. “Lakukan yang terbaik dan jangan buat kesalahan. Sore nanti kau akan dijemput oleh orang suruhanku. Dia akan mengantarmu ke rumah yang akan kau tinggali. Barang-barangmu di hotel telah aku minta untuk dirapikan dan nantinya dibawa.”
“Sekali lagi terima kasih, Tuan Abraham. Anda telah banyak membantuku.”
Edeline menyerukan rasa terima kasih yang penuh ketulusan. Namun, dia tidak bisa menyembunyikan kegelisahan di raut wajah, meski senyuman cantiknya bersusah payah menutupi.
Bagaimana tidak? Di dekatnya ada Elvis yang masih mengintimidasi. Dan sudah bisa dipastikan Edeline akan menerima penyiksaan dari Elvis. Takdir sepertinya sangat membenci dirinya.
“Tuan Abraham sudah pergi. Kau mau terus berdiri?” Elvis menegur ketus pada Edeline yang menatap kepergian Abraham bersama Peter.
Edeline menoleh dingin. Dari matanya yang tak senang terlihat sekali kesabaran Edeline sedikit menipis berhadapan dengan Elvis. “Bukankah aku sudah meminta maaf? Kenapa kau masih saja bersikap ketus seperti aku memiliki masalah fatal denganmu?”
Oh my god! Edeline sungguh berani. Dia sudah menahan diri. Tapi dadanya terasa panas. Tidak bisa tahan sama sekali.
“Tampaknya permintaan maafmu tadi tidak tulus sampai kau berbicara tidak sopan kepada dokter seniormu di rumah sakit ini. Kau itu tidak sadar diri?” seru Elvis menyindir sinis.
“Bukan begitu. Aku hanya—”
“Simpan penjelasanmu. Aku tidak mau mendengarkan. Sebaiknya kau ikuti aku! Kalau tidak, siapkan mentalmu untuk bertugas di kamar mayat.”
Edeline membelalakkan mata sementara mulutnya sudah menganga menatap Elvis yang sudah memalingkan pandangan. Gadis itu shock pada perkataan pria angkuh dan menjengkelkan itu.
Edeline benar-benar terancam jika tidak patuh. Karirnya bisa tamat jika dia membuat kesalahan pada pria pendendam itu. Hingga dengan terpaksa Edeline mengikuti langkah panjang Elvis yang cukup kelimpungan Edeline susul.
Ruangan Elvis menjadi tujuan mereka. Ruangannya cukup besar, mungkin karena Elvis sosok penting di rumah sakit itu. Hanya saja, ruangan itu tampak kosong—tidak banyak dipenuhi pernak-pernik yang menggantung di dinding ataupun di meja.
“Kau akan bertugas di pusat bedah dan jantung yang sama denganku. Itu artinya kau akan ikut di setiap jadwal operasiku. Di rumah sakit sebelumnya kau memiliki pengalaman di ruang operasi?” Elvis bertanya acuh—karena sambil memeriksa rekam medis beberapa pasien.
“Aku memiliki pengalaman yang cukup di unit bedah dan—”
“Aku hanya butuh jawaban ‘ya’ atau ‘tidak’. Aku tidak butuh omong kosongmu yang menyombongkan diri,” Elvis menyela sinis, pun matanya telah melayang tajam pada Edeline yang mulutnya dibungkam paksa. “Aku telah lebih dulu menikmati asam garam dunia kedokteran ini dibandingkan kau, Dokter Edeline.”
Arrghhh! Batin Edeline menjerit kencang atas kesombongan Elvis. Dia ingin sekali menyambut dengan kalimat sinis yang sama agar harga diri tidak hilang.
Tetapi ... ya, Edeline hanya bisa berekspektasi di dalam hati. Akalnya sudah menasihati untuk tidak cari masalah. Karena keberlangsungan karir Edeline ada di tangan pria angkuh itu.
“Aku akan melakukan yang terbaik—”
“Kau memang harus melakukan yang terbaik.” Lagi, Elvis menyela sinis seolah tidak memberi kesempatan Edeline untuk berbicara. “Jika kau melakukan satu kesalahan, maka kau akan aku pindahkan ke unit IGD. Aku beri tahu informasi sedikit, unit IGD selalu sibuk setiap harinya—di mana untuk bernapas saja kau tidak memiliki waktu.”
Aura cantik Edeline memudar oleh mata tajam yang menguarkan ekspresi tersinggung. Lewat perkataan dan sikap bermusuhan itu saja Edeline bisa menyimpulkan jika Elvis menaruh dendam pada dirinya.
Pria itu memiliki kuasa, sudah pasti dia akan menindas Edeline. Mau sebaik apa pun Edeline berusaha, Edeline menyimpulkan jika dirinya tidak akan tenang bernapas di rumah sakit milik Elvis.
“Kalau begitu tugaskan saja aku di unit IGD.” Edeline berani menantang dengan tenangnya.
Elvis bersikap tenang, tetapi matanya yang menusuk tajam ke mata Edeline tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya. “Kau yakin?”
“Kenapa aku tidak yakin? Sejak awal kau memang tidak berniat menugaskanku di unit bedah dan jantung. Aku yakin kau berniat menyiksaku karena dendam padaku.” Edeline tak ragu melampiaskan isi pikirannya yang menuduh kental. Ya Tuhan, gadis itu memang sudah tak lagi tahan dengan sikap Elvis. Walaupun kalah telak, tapi dia akan tetap berusaha memperjuangkan harga dirinya.
Elvis tersenyum kesal. “Aku dendam padamu?”
“Ya!” Edeline menyahut tegas. “Situasinya akan berbeda jika kemarin malam aku tidak menyinggung dan cari masalah denganmu. Tapi perlu kau ketahui, Dokter Elvis ... kau tidak sepenuhnya benar.” Edeline semakin percaya diri, pun matanya tidak takut beradu tajam dengan mata Elvis yang menyorot kesal.
“Kau lahir ke dunia ini berkat seorang wanita. Jika kau menyakiti dan bertindak kasar pada wanita, itu sama saja kau menyakiti wanita yang melahirkanmu. Wanita juga diciptakan dari tulang rusuknya pria. Bukankah sama saja kau sengaja melukai tubuhmu sendiri?” lanjutnya kemudian.
“Kau semakin tidak tahu diri,” Elvis mengerang kesal.
“Aku sangat tahu diri, tapi bukan berarti aku harus merendahkan harga diri.” Edeline menyambut cepat tanpa rasa takut. “Saat ini, kau memang berkuasa dibandingkan aku. Karirku di rumah sakit ini bergantung di tanganmu. Jika menggunakan emosi, aku sangat pantas menagih permintaan maaf darimu atas intimidasi yang kau lakukan kemarin. Jadi, Dokter Elvis ... kita impas!”
Batin Elvis telah berdecak kesal atas sikap Edeline yang dinilai sangat lancang. Dia merasa harga dirinya begitu terhina. Sebab, gadis itu adalah orang pertama yang berani mengibarkan bendera perlawanan kepada dirinya.
Tidak ada seorang pun di rumah sakit itu, entah itu rekan satu profesi apalagi kedua orangtuanya yang berani menentang sikapnya. Tapi di depan mata, Edeline—seorang dokter magang yang usianya terpaut 13 tahun lebih muda dari dirinya begitu berani beradu mulut dengannya.
“Kau tidak takut? Atau ... kau berani berkata seperti itu karena Tuan Abraham mem-back-up-mu?” Elvis mengejek dengan bibir mengulas senyuman menjengkelkan.
“Walaupun di belakangku tidak ada Tuan Abraham, aku tetap sama. Aku tidak boleh takut untuk menjadi orang sukses.”
Elvis terkekeh kencang mengejek pernyataan Edeline yang begitu percaya diri. “Oke! Buktikan ucapanmu itu untuk menjadi sukses di unit IGD. Jika kau tidak sanggup, kau bisa datang ke ruanganku dan berlutut untuk meminta maaf. Pintu ruanganku ini terbuka lebar selama 24 jam untukmu, Dokter Magang!”
“Tidak akan! Aku tidak akan melakukan itu!” bantah Edeline yang jelas tersinggung atas penghinaan Elvis.
Edeline tidak bisa menyembunyikan rasa curiga ketika sudah jauh tenggelam di unit IGD. Hal itu bukan karena peralatan canggih ataupun situasi menegangkan di sana.IGD merupakan trauma center utama dari setiap rumah sakit. Situasi sibuk dari setiap tenaga medis yang memberikan pertolongan pertama kepada pasien yang memenuhi ruangan itu tidak menjadi keluhan bagi Edeline.Edeline malah menyambut hangat. Dokter cantik itu bertindak sigap kepada setiap pasien yang datang. Hanya saja, ke mana semua perginya dokter yang bertugas di unit IGD?Sejak tadi, hanya Edeline sendiri yang menyambut dan memberikan pengobatan kepada setiap pasien yang datang. Dia hanya dibantu oleh perawat-perawat yang bertugas di sana.Dan benar yang Elvis katakan. Unit IGD begitu sibuk sehingga untuk bernapas tenang pun Edeline tidak bisa. Bahkan dokter cantik itu telah melewatkan jam makan siang dan tidak bisa sekadar beristirahat sejenak.Edeline tidak akan mengeluh. Sudah menjadi tugasnya menolong dan memberikan
Sekujur tubuh Edeline telah berpeluh keringat yang mengucur. Sementara mata cantiknya telah melebar karena menghadapi situasi mengerikan yang menyiksa sepasang iris matanya.Wajah Edeline memucat. Tubuh rampingnya gemetaran sangat akibat ketakutan yang berlebihan. Bibir mungilnya ikut pula gemetaran—sampai dia kesulitan untuk berbicara.Tepat di depan mata, Edeline begitu tersiksa oleh hal menakutkan sekaligus menjijikkan. Kulit dari jemari-jemari kotor begitu bernafsu ingin menyentuhnya. Edeline berusaha menepis agar tidak tersentuh oleh jemari-jemari menjijikkan itu.“J-jangan ... jangan sentuh aku ...” jerit Edeline yang terbata-bata.“Your body looks stunning, Edeline. Aku ... ah, aku tidak tahan melihatnya.”“Biadab! Jangan ... jangan sentuh aku—”Delusi itu hilang ketika mata Edeline terbuka paksa. Sentuhan yang menjijikkan, ancaman yang menakutkan, serta sosok yang tidak ingin dikenang pun telah menghilang tanpa jejak di depan mata.Hanya saja, senyar-senyar yang mengerikan itu
Ancaman itu sangat menakutkan bagi Shopia. Dia tidak mau tercekik oleh suasana menakutkan sekolah asrama. Selain itu, jika dia dipindahkan ke sekolah asrama, Shopia akan semakin kesulitan menggapai kasih sayang sosok orang tua satu-satunya yang dimiliki. Sebab, Shopia sudah kehilangan sosok ibu kandung sejak terlahir ke dunia.“Aku tidak mau, Daddy.” Shopia menggelengkan kepala sembari berlutut memohon. “Aku berjanji tidak akan mengganggu dan menyusahkan siapapun.”Mulut kejam Elvis sudah bersiap melepaskan ultimatum tegas yang kembali menyayat perasaan Shopia. Beruntungnya situasi itu teralihkan oleh handphone-nya yang berbunyi.Elvis memalingkan pandangan dari Shopia yang mengiba-iba di kakinya. Dia lebih mementingkan untuk menjawab panggilan telepon masuk dibandingkan perasaan darah dagingnya.Sosok ayah buruk itu terlihat serius mendengarkan seseorang yang berbicara dari sambungan telepon. Dan tak lama setelahnya, handphone yang menempel di sisi telinga kiri telah Elvis turunkan.
Taksi yang Edeline tumpangi telah berhenti sempurna di teras depan Omega Hospital. Gadis cantik yang mengenakan outfit casual—sporty itu menyegerakan diri keluar dari taksi itu setelah membayar tarif taksi.Edeline menghela napas kasar. “Tarif taksi dari rumah itu ke rumah sakit cukup mahal! Halte bus juga sedikit jauh! Aku harus cepat-cepat cari tempat tinggal di dekat rumah sakit. Tabunganku bisa habis kalau aku tidak hidup hemat,” keluhnya.Kakinya melangkah masuk ke dalam rumah sakit dengan tujuan ruangan dokter magang berada. Dokter cantik itu berniat mengganti pakaiannya dengan pakaian medis sebelum tenggelam di IGD.Senyum cantiknya mengembang kaku ketika berpapasan jalan dengan dokter-dokter senior. Sosok mereka begitu menyeramkan direkam benak Edeline. Ekspresi mereka begitu dingin, tidak ada kesan ramah yang membuatnya berani untuk lebih lanjut menyapa.Mungkinkah itu bentuk intimidasi senioritas?Edeline menyadari diri yang belum menyapa secara baik rekan-rekan senior di ru
Mata tajam Elvis mengekori Edeline yang beranjak pergi dari ruangannya. Seolah-olah dia tidak ingin melepas momen kepergian Edeline. Hal itu dikarenakan Edeline membisu setelah diberi syarat paling menyulitkan. Ada ketertarikan tersendiri melihat Edeline tidak keras kepala seperti sebelumnya. Elvis merasa menemukan kelemahan Edeline yang kemarin-kemarin bersikap menyebalkan terhadap dirinya.“Sepertinya akan jadi menyenangkan untuk membalas perbuatannya kemarin,” Elvis bergumam senang seperti anak kecil mendapatkan mainan baru.Pria itu terkekeh lemah setelah Edeline keluar—menutup rapat-rapat pintu ruangan. Suatu hal langkah yang Elvis tunjukkan di wajah tampannya. Sebab, wajah maskulinnya terbiasa dingin tak berperasaan.Namun, Elvis tidak menyadari hal tersebut. Dia mengacuhkan momen langka itu dan memilih untuk mencermati hal-hal penting di iPad—di sisi lain, Elvis menilai pagi itu tidak terlalu buruk—setelah kemarin malam hal-hal menjengkelkan telah merangsek ke jiwanya.Tok ...
Pikiran Edeline sudah seperti benang kusut yang menumpuk dan tidak memiliki celah untuk kembali lurus. Gadis cantik itu masih terus memikirkan hal-hal mengenai Elvis yang mengejutkan. Bahkan, Edeline memutuskan pulang menggunakan bus dan berjalan kaki menuju rumah.Edeline melakukan itu bukan karena tertarik atau ingin mengetahui lebih dalam mengenai Elvis. Melainkan, gadis cantik itu merasa hidupnya tidak akan tenang selama berada di Manchester.Bagaimana tidak? Pada hari pertama menginjakkan kaki di Manchester, Edeline terlibat pertikaian dengan Elvis dikarenakan salah membela seseorang. Yang kini Edeline ketahui adalah tunangan Elvis. Ditambah lagi, pria itu memintanya bertemu di tempat yang sama untuk mengambil id card milik Edeline yang terjatuh di ruangan pria itu.Bagaimana jika nanti ada seseorang yang melihat dan menyalahpahami pertemuan mereka di hotel? Bagaimana jika gadis waktu itu mengetahui pertemuan pribadi Elvis dan Edeline di kamar hotel yang sama?Image Edeline pasti
Keheningan membentang ketika wanita pengasuh itu menimbang-nimbang keputusannya. Dia tampak gelisah, antara ingin menyetujui atau memutuskan yang sebaliknya.“Anda boleh tinggal sedikit lebih lama.” Wanita pengasuh itu bersuara penuh keraguan. “Mungkin ... sekitar satu atau dua jam ke depan akan aman bagi Anda membujuk Nona Shopia.”Bibir Edeline tertarik lembut saat menyimpulkan senyuman cantik—tanda terima kasih. “Aku tidak akan berlama-lama.”Tanpa mengatakan sepatah kata, wanita pengasuh itu berpaling dari kamar itu. Pintu yang dibuka olehnya telah ditutup serapat mungkin tanpa celah guna memberikan ruang pribadi pada Edeline dan Shopia.Sementara itu, Edeline telah memalingkan tatapannya pada Shopia tanpa penundaan. Caranya menatap sama seperti sebelumnya. Ada kehangatan yang turut campur ketika tangan jemari Edeline begitu penuh perhatian merapikan rambut Shopia yang agak berantakan.“Kau mau minum obat sekarang?” suara Edeline mengalun lembut.“Apa Daddy benar-benar akan pulang
Langkah yakin Edeline tiba-tiba saja terhenti di teras depan hotel mewah itu. Senyar keraguan masih betah hinggap di jiwa Edeline, padahal sejak tadi dia sudah berusaha keras menepis dengan tekad bulatnya.Sejujurnya, Edeline memiliki banyak pertimbangan hingga akhirnya memutuskan datang ke sana. Dia sedikit goyah untuk pindah ke asrama rumah sakit dikarenakan terlanjur berjanji akan selalu bertemu Shopia—dengan teman kecil yang baru didapatkan beberapa jam lalu.Selain itu, jiwa Edeline masih terus dihantui trauma masa lalu mengerikan yang luar biasa—yang membuatnya takut untuk bertemu secara intim dengan Elvis. Hati kecilnya membujuk Edeline untuk meminta bantuan Abraham demi mendapatkan kembali id card-nya yang hilang. Tetapi, rasa sungkan pun ikut campur menghasut Edeline untuk tahu diri—tidak lagi menyusahkan Abraham.Itu hanya masalah kecil! Edeline bisa melakukan itu—bertemu dengan Elvis demi mendapatkan id card-nya kembali. Gadis itu menghela napas kasar ketika hati memutuskan