Sekujur tubuh Edeline telah berpeluh keringat yang mengucur. Sementara mata cantiknya telah melebar karena menghadapi situasi mengerikan yang menyiksa sepasang iris matanya.
Wajah Edeline memucat. Tubuh rampingnya gemetaran sangat akibat ketakutan yang berlebihan. Bibir mungilnya ikut pula gemetaran—sampai dia kesulitan untuk berbicara.
Tepat di depan mata, Edeline begitu tersiksa oleh hal menakutkan sekaligus menjijikkan. Kulit dari jemari-jemari kotor begitu bernafsu ingin menyentuhnya. Edeline berusaha menepis agar tidak tersentuh oleh jemari-jemari menjijikkan itu.
“J-jangan ... jangan sentuh aku ...” jerit Edeline yang terbata-bata.
“Your body looks stunning, Edeline. Aku ... ah, aku tidak tahan melihatnya.”
“Biadab! Jangan ... jangan sentuh aku—”
Delusi itu hilang ketika mata Edeline terbuka paksa. Sentuhan yang menjijikkan, ancaman yang menakutkan, serta sosok yang tidak ingin dikenang pun telah menghilang tanpa jejak di depan mata.
Hanya saja, senyar-senyar yang mengerikan itu begitu membekas di pikiran Edeline. Sehingga dia masih belum sepenuhnya tersadar bahwa bayangan mengerikan itu hanya sebuah mimpi buruk.
“Dokter Edeline? Anda baik-baik saja?”
Edeline berusaha memalingkan pandangan. Dengan napas yang terengah-engah akibat sesak dan matanya sedikit berkunang, dia mencermati seseorang yang berdiri di sisi kanannya.
Situasinya sungguh jauh berbeda dengan yang tadi. Yang Edeline hadapi saat itu sangat didominasi oleh warna putih, sementara situasi mengerikan sangat gelap—pekat dan menakutkan.
Ketika perlahan-lahan pandangan mata sudah jernih sepenuhnya, Edeline menyadari telah berada di dunia nyata. Bayangan gelap di dalam benaknya lenyap seolah diterpa ombak di kala dia sadar bahwa dirinya bermimpi buruk.
“Dokter Edeline? Anda bisa mendengarkanku?”
“L-Lina ...” Edeline bersuara lemah, namun sangat jelas.
“Syukurlah Dokter sudah sadar. Aku sangat cemas melihat Dokter tadi.”
Edeline hanya tersenyum lemah. Dia sangat tahu bahwa Lina diserang panik akibat dia yang bereaksi menakutkan oleh mimpi buruk itu. Perlahan-lahan, Edeline menetralkan keadaannya sembari memastikan di mana dirinya berada.
“Dokter pingsan di sini. Saat aku dipanggil ke sini, Dokter Elvis telah memberikan penanganan kepada Anda.” Lina menjelaskan bahwa Edeline pingsan.
“Aku pingsan?” Edeline terkejut mendengar apa yang dikatakan Lina.
Lina mengangguk. “Beliau mengatakan Dokter mimisan! Lalu karena perut Dokter kosong dan kelelahan, Dokter berakhir pingsan. Beliau juga mengatakan setelah Dokter kembali pulih, Dokter diperbolehkan pulang.”
Edeline sangat memahami kondisinya yang berujung tidak sadarkan diri. Karena kegelisahan yang tidak jelas, dia tidak bernafsu makan sehingga tidak mengisi perutnya dengan nutrisi di pagi hari. Ditambah lagi dia melewatkan makan siang karena kesibukannya di IGD.
Edeline menyadari dirinya masih berada di ruangan Elvis. Gadis yang terbaring di sofa empuk itu menilai dia tidak dilarikan keluar dari ruangan itu demi meminimalisir pemberitaan negatif.
Dokter magang pingsan di hari pertama bekerja. Elvis pasti menghindari pemberitaan seperti itu.
“Jika aku pulang, siapa dokter yang bertanggung jawab di IGD?” Edeline kembali mencari tahu.
“Dokter tenang saja. Dokter lain telah ditugaskan di sana menggantikan Dokter. Yang terpenting Dokter harus cepat pulih.” Lina menjawab pertanyaan Edeline.
Setelah merasa cukup baik, Edeline memutuskan untuk pulang. Dan selama berada di ruangan itu, tidak sekalipun gadis cantik itu bertemu dengan sang pemilik ruangan. Entah ke mana perginya pria itu. Edeline tidak peduli! Yang mengusik pikirannya adalah ingatan dari bayangan samar-samar sebelum tidak sadarkan diri.
Dipenuhi rasa penasaran, dia berusaha menggali dan memutar memori ingatan. Edeline merasa tidak salah mengingat tentang sosok anak kecil berambut panjang yang indah. Sosoknya yang menggemaskan itu berlari ke arah Elvis. Pun Edeline juga tidak melupakan momen kejam Elvis mendorongnya sampai terjatuh. Sayup-sayup juga Edeline mendengar suara tangisan anak itu.
Dasar pria tempramental! Sampai dengan anak kecil pun dia bersikap kejam seperti itu.
Pria itu benar-benar menguras emosi dan pikiran Edeline. Sampai-sampai Edeline tidak menyadari telah tiba di kawasan perumahan elit—di mana rumah itu merupakan pemberian Abraham untuk Edeline tinggali.
Edeline masuk ke dalam rumah bergaya modern setelah sopir yang mengantar telah pergi. Gadis cantik itu disambut keheningan yang membentang. Jiwanya terhipnotis oleh kemewahan yang mendominasi di seluruh ruangan.
Abraham sangat baik kepada dirinya. Rumah itu telah dipersiapkan matang untuk dihuni olehnya. Sampai-sampai lemari es telah terisi kebutuhan makanan untuk Edeline. Hingga di satu titik Edeline merasa tidak pantas menerima kebaikan hati Abraham yang berlebihan.
“Tuan Abraham pasti akan marah jika aku menolak tidak tinggal di sini. Aku harus mencari alasan. Rumah ini terlalu mewah untuk aku tinggali,” ucapnya memutuskan sendiri.
***
“Aku sudah berulang kali mengatakan, jangan pernah bawa dia keluar rumah apalagi ke rumah sakit!” bentak Elvis memekik sakit.
Dia tidak peduli pada sosok kecil yang merunduk ketakutan—tak jauh dari posisinya berdiri. Bukan hanya itu, Elvis juga tidak peduli bagaimana efek sikap arogannya itu terhadap psikologis anak berusia lima tahu itu.
“M-maafkan saya, Tuan Elvis.” Seorang pengasuh yang berdiri di belakang anak kecil itu terpaksa bersuara. “Tapi sejak tadi Nona Muda menangis dan memaksa ingin bertemu dengan Anda—”
“Aku yang menggajimu! Jadi yang harus kau patuhi itu adalah aku!” Elvis menyela kejam tanpa celah. “Atau kau sudah bosan bekerja mengasuhnya?” lanjutnya mengancam.
Pengasuh itu tentu saja tidak berani membantah. Dia hanya menggeleng tanda patuh untuk menanggapi. Sebab, dia tidak bernyali untuk menatap Elvis telah muram dengan mata berkilatan marah. Namun, ada sedikit keberanian yang tersemat di jiwa anak kecil bernama Shopia Dalton. Sosok kecil itu merupakan awal-mula kemarahan Elvis.
“A-aku ... aku rindu pada Daddy. Kemarin Daddy tidak pulang.” Gadis kecil itu menggigit bibir bawahnya ketakutan.
Elvis menunjukkan eskpresi kesal pada suara merengek yang muak didengarkan. “Kau tuli? Atau kau sengaja tidak mengingat perintahku? Jangan pernah datang menggangguku ke rumah sakit!”
Elvis bersuara tenang, namun tidak pada geraman kemarahan yang menggambarkan kebenciannya pada Shopia. Sampai-sampai gadis kecil tidak berdosa itu menitihkan air mata kesedihan.
“Kau mau dikurung di gudang gelap itu lagi sebagai hukuman?” seru Elvis memberikan ancaman yang tak main-main.
“A-aku tidak melakukan kesalahan apa pun, Daddy.” Suara Shopia gemetaran takut, tetapi matanya yang berkaca-kaca masih sanggup menatap Elvis.
“Kau datang ke rumah sakit, Shopia! Kau melanggar perintahku!” Elvis semakin kasar berbicara.
Elvis sangat kejam. Shopia hanya ingin menuntaskan kerinduannya pada Elvis. Dia sangat tidak pantas berkata-kata kasar pada anak kecil yang seharusnya dibanjiri oleh kasih sayang. Padahal Shopia adalah putri kandungnya—di mana di dalam tubuh kecil dan kurus itu mengalir darah Elvis. Dan tidak usah tanya bagaimana perasaan Shopia. Dari wajahnya yang basah oleh air mata saja, Shopia telah menunjukkan kesedihan yang mendalam.
“Daddy membenciku?” suara naif Shopia gemetaran ironis.
“Sejak kau hadir di rahim wanita itu, aku telah membencimu.” Elvis menyambut cepat tak berperasaan.
Air mata Sophia tak henti berlinnag. “Aku sayang pada Daddy.”
“Aku membencimu,” sahut Elvis dengan nada mencela nyata. “Kau itu lemah! Kau itu penyakitan! Kau selalu merepotkan! Kenakalanmu bisa membuat orang lain terkena kesialan! Kau harus tahu diri sehingga pengasuh ataupun orang-orang di rumah ini tidak terkena masalah! Atau ... kau mau aku mengirimmu ke sekolah asrama?”
Ancaman itu sangat menakutkan bagi Shopia. Dia tidak mau tercekik oleh suasana menakutkan sekolah asrama. Selain itu, jika dia dipindahkan ke sekolah asrama, Shopia akan semakin kesulitan menggapai kasih sayang sosok orang tua satu-satunya yang dimiliki. Sebab, Shopia sudah kehilangan sosok ibu kandung sejak terlahir ke dunia.“Aku tidak mau, Daddy.” Shopia menggelengkan kepala sembari berlutut memohon. “Aku berjanji tidak akan mengganggu dan menyusahkan siapapun.”Mulut kejam Elvis sudah bersiap melepaskan ultimatum tegas yang kembali menyayat perasaan Shopia. Beruntungnya situasi itu teralihkan oleh handphone-nya yang berbunyi.Elvis memalingkan pandangan dari Shopia yang mengiba-iba di kakinya. Dia lebih mementingkan untuk menjawab panggilan telepon masuk dibandingkan perasaan darah dagingnya.Sosok ayah buruk itu terlihat serius mendengarkan seseorang yang berbicara dari sambungan telepon. Dan tak lama setelahnya, handphone yang menempel di sisi telinga kiri telah Elvis turunkan.
Taksi yang Edeline tumpangi telah berhenti sempurna di teras depan Omega Hospital. Gadis cantik yang mengenakan outfit casual—sporty itu menyegerakan diri keluar dari taksi itu setelah membayar tarif taksi.Edeline menghela napas kasar. “Tarif taksi dari rumah itu ke rumah sakit cukup mahal! Halte bus juga sedikit jauh! Aku harus cepat-cepat cari tempat tinggal di dekat rumah sakit. Tabunganku bisa habis kalau aku tidak hidup hemat,” keluhnya.Kakinya melangkah masuk ke dalam rumah sakit dengan tujuan ruangan dokter magang berada. Dokter cantik itu berniat mengganti pakaiannya dengan pakaian medis sebelum tenggelam di IGD.Senyum cantiknya mengembang kaku ketika berpapasan jalan dengan dokter-dokter senior. Sosok mereka begitu menyeramkan direkam benak Edeline. Ekspresi mereka begitu dingin, tidak ada kesan ramah yang membuatnya berani untuk lebih lanjut menyapa.Mungkinkah itu bentuk intimidasi senioritas?Edeline menyadari diri yang belum menyapa secara baik rekan-rekan senior di ru
Mata tajam Elvis mengekori Edeline yang beranjak pergi dari ruangannya. Seolah-olah dia tidak ingin melepas momen kepergian Edeline. Hal itu dikarenakan Edeline membisu setelah diberi syarat paling menyulitkan. Ada ketertarikan tersendiri melihat Edeline tidak keras kepala seperti sebelumnya. Elvis merasa menemukan kelemahan Edeline yang kemarin-kemarin bersikap menyebalkan terhadap dirinya.“Sepertinya akan jadi menyenangkan untuk membalas perbuatannya kemarin,” Elvis bergumam senang seperti anak kecil mendapatkan mainan baru.Pria itu terkekeh lemah setelah Edeline keluar—menutup rapat-rapat pintu ruangan. Suatu hal langkah yang Elvis tunjukkan di wajah tampannya. Sebab, wajah maskulinnya terbiasa dingin tak berperasaan.Namun, Elvis tidak menyadari hal tersebut. Dia mengacuhkan momen langka itu dan memilih untuk mencermati hal-hal penting di iPad—di sisi lain, Elvis menilai pagi itu tidak terlalu buruk—setelah kemarin malam hal-hal menjengkelkan telah merangsek ke jiwanya.Tok ...
Pikiran Edeline sudah seperti benang kusut yang menumpuk dan tidak memiliki celah untuk kembali lurus. Gadis cantik itu masih terus memikirkan hal-hal mengenai Elvis yang mengejutkan. Bahkan, Edeline memutuskan pulang menggunakan bus dan berjalan kaki menuju rumah.Edeline melakukan itu bukan karena tertarik atau ingin mengetahui lebih dalam mengenai Elvis. Melainkan, gadis cantik itu merasa hidupnya tidak akan tenang selama berada di Manchester.Bagaimana tidak? Pada hari pertama menginjakkan kaki di Manchester, Edeline terlibat pertikaian dengan Elvis dikarenakan salah membela seseorang. Yang kini Edeline ketahui adalah tunangan Elvis. Ditambah lagi, pria itu memintanya bertemu di tempat yang sama untuk mengambil id card milik Edeline yang terjatuh di ruangan pria itu.Bagaimana jika nanti ada seseorang yang melihat dan menyalahpahami pertemuan mereka di hotel? Bagaimana jika gadis waktu itu mengetahui pertemuan pribadi Elvis dan Edeline di kamar hotel yang sama?Image Edeline pasti
Keheningan membentang ketika wanita pengasuh itu menimbang-nimbang keputusannya. Dia tampak gelisah, antara ingin menyetujui atau memutuskan yang sebaliknya.“Anda boleh tinggal sedikit lebih lama.” Wanita pengasuh itu bersuara penuh keraguan. “Mungkin ... sekitar satu atau dua jam ke depan akan aman bagi Anda membujuk Nona Shopia.”Bibir Edeline tertarik lembut saat menyimpulkan senyuman cantik—tanda terima kasih. “Aku tidak akan berlama-lama.”Tanpa mengatakan sepatah kata, wanita pengasuh itu berpaling dari kamar itu. Pintu yang dibuka olehnya telah ditutup serapat mungkin tanpa celah guna memberikan ruang pribadi pada Edeline dan Shopia.Sementara itu, Edeline telah memalingkan tatapannya pada Shopia tanpa penundaan. Caranya menatap sama seperti sebelumnya. Ada kehangatan yang turut campur ketika tangan jemari Edeline begitu penuh perhatian merapikan rambut Shopia yang agak berantakan.“Kau mau minum obat sekarang?” suara Edeline mengalun lembut.“Apa Daddy benar-benar akan pulang
Langkah yakin Edeline tiba-tiba saja terhenti di teras depan hotel mewah itu. Senyar keraguan masih betah hinggap di jiwa Edeline, padahal sejak tadi dia sudah berusaha keras menepis dengan tekad bulatnya.Sejujurnya, Edeline memiliki banyak pertimbangan hingga akhirnya memutuskan datang ke sana. Dia sedikit goyah untuk pindah ke asrama rumah sakit dikarenakan terlanjur berjanji akan selalu bertemu Shopia—dengan teman kecil yang baru didapatkan beberapa jam lalu.Selain itu, jiwa Edeline masih terus dihantui trauma masa lalu mengerikan yang luar biasa—yang membuatnya takut untuk bertemu secara intim dengan Elvis. Hati kecilnya membujuk Edeline untuk meminta bantuan Abraham demi mendapatkan kembali id card-nya yang hilang. Tetapi, rasa sungkan pun ikut campur menghasut Edeline untuk tahu diri—tidak lagi menyusahkan Abraham.Itu hanya masalah kecil! Edeline bisa melakukan itu—bertemu dengan Elvis demi mendapatkan id card-nya kembali. Gadis itu menghela napas kasar ketika hati memutuskan
Bantingan pintu menjadi jawaban atas pertanyaan Sarah. Wanita itu benar-benar diabaikan oleh Elvis yang fokus memperhatikan gadis di dalam president suit room itu. Bahkan ketika cengkaraman Sarah semakin mengencang di lengan Elvis—guna menahan, permintaannya itu dibalas menyakitkan.Elvis menepis tangan Sarah tanpa mau menoleh. Pria itu tidak peduli pada Sarah yang mengemis-ngemis dan menangis putus asa saat membujuknya. Perlakuan Elvis itu membuat Sarah terhina. Jiwanya langsung membenci sosok gadis yang menarik perhatian Elvis. Di tengah tubuh yang gemetaran akibat emosi yang meledak itu Sarah menerka-nerka sosok gadis itu.Sarah mengingat dengan jelas jika gadis itu adalah gadis yang menolongnya beberapa malam lalu. Lalu, kenapa dia ada di dalam kamar yang sama dengan Elvis? Apakah dia bekerja sama dengan Elvis untuk mempermalukan dirinya malam itu?“Siapa pelacur itu?” suara Sarah gemetaran kesal bertanya pada Alex yang masih berdiri di sebelahnya.Alex tidak bersuara sebab dia bi
Lirikan mata Edeline tertarik pada Elvis yang meletakkan kompres ke wadah di aras meja. Jiwa gadis cantik itu dibuat penasaran melihat Elvis yang beranjak lalu mengambil dua buku beserta empat pena di atas meja.“A-apa ini?” tanya Edeline bingung ketika Elvis menyerahkan buku dan pena ke hadapannya.“Kau buta? Atau kau memang bodoh? Sehingga kau tidak tau kedua benda ini.” Elvis membalas dengan nada sarkas.Mulut sialan Elvis itu ... argh! Edeline sudah pasti tahu kedua benda itu. Hanya saja, di tengah emosi yang meledak kesal itu Edeline tidak mengerti kenapa Elvis menyodorkan kedua benda itu.“Kau pasti sedang mengumpatku di dalam hati.” Elvis menyindir Edeline yang menatap penuh dendam. “Aku peringatkan padamu, aku bisa menendangmu dari rumah sakitku dan mematikan karir doktermu jika sikapmu tidak menunjukkan bawahan yang tunduk kepada senior ataupun atasannya,” lanjutnya mengancam sembari menjatuhkan kedua benda itu ke pangkuan Edeline.Edeline terkesiap, sementara matanya tak ber