Pagi-pagi setelah selesai sarapan, aku dan Mbak Susi membawa anak-anak Gita ke rumah sakit. Aku ingin melihat keadaannya sekaligus menanyakan kepada dokter bagaimana pengobatan Gita selanjutnya. Bang Ardi menyanggupi untuk membayar semua biaya pengobatan Gita sampai sembuh. Bang Ardi mengirim seorang supir kantor ke rumah untuk mengantar kami ke rumah sakit. Setelah berkemas, kami segera naik ke dalam mobil. Pak Ujang, supir yamg di kirim Bang Ardi melajukan mobilnya dengan hati-hati. Untung saja anak-anak Gita, anak yang baik budi. Selama tidur tadi malam tidak ada yang rewel. Kata, Mbok Nah, hanya dua kali dia bangun untuk membuatkan susu untuk Farel.Kami sudah sampai di pelataran rumah sakit. Mayra tampak senang sekali karena akan bertemu Mamanya. Farel kelihatan lebih segar pagi ini."Mama masih sakit ya, Tante?" tanya Mayra ketika kami berjalan menuju ruangan tempat Gita dirawat."Iya, Sayang. Doakan agar Mama cepat sembuh, ya!" sahutku sembari mengusap lembut kepalanya. Dia m
Aku tak perlu mengingat kesalahan Gita. Dia kini sudah sadar. Sekiranya ini balasan dari kesalahannya dulu, aku memohon kepada Allah agar mengampuninya dan segera mengangkat penyakitnya. Tak tega hati ini melihat penderitaan Gita. Disaat penyakitnya sangat parah, dia terlunta-lunta di jalan, tanpa mendapatkan pengobatan yang seharusnya. Jangankan pengobatan, makan saja susah, apalagi dengan membawa kedua anaknya yang masih kecil-kecil. Pasti Gita sangat menderita sekali. "Kau sudah bertemu dengan Bang Ridwan? Aku ingin sekali bertemu dengannya, Ris. Aku ingin minta maaf karena telah mengambil seluruh uangnya. Aku juga banyak salah padanya," pinta Gita memelas. "Aku akan mengatakan hal ini pada suamiku. Biar dia yang menceritakan pada Bang Ridwan. Mudah-mudahan dia mau datang ke sini, Git. Sekarang, tenangkanlah pikiranmu. Fokus pada pengobatan, agar kau segera sembuh," ujarku lagi."Entah terbuat dari apa hatimu, Ris. Aku benar-benar malu telah membuatmu menderita dulu. Sekali lag
"Apa ada yang bernama Ridwan? Bu Gita dari tadi menyebut-nyebut nama itu," kata suster tersebut."Saya, Ridwan, Sus," sahut Bang Ridwan."Silakan masuk, Pak. Mungkin Ibu Gita ingin bertemu dengan Bapak," ujarnya lagi.Bang Ridwan menatap Tiwi sesaat. Mungkin dia tidak enak hati dengan istri barunya itu. Tiwi tersenyum seraya mengangguk, mengizinkan suaminya untuk masuk ke dalam menemui Gita. Setelah mendapat persetujuan dari istrinya, Bang Ridwan melangkah mengikuti suster, masuk ke dalam ruangan. Kami menunggu dengan cemas di sini. Kedua anak Gita yang tadinya anteng, tiba-tiba menangis.sembari memanggil-manggil Mama mereka. Tak berselang lama, Bang Ridwan keluar dari ruangan dengan mata berkaca-kaca. "Gita sudah meninggal," ucapnya sedih.Tanpa pikir panjang, aku segera menghambur ke dalam ruangan, diikuti oleh Mayra. "Mohon maaf, kami tidak dapat menyelamatkan Bu Gita. Beliau telah meninggal," ujar Dokter yang memeriksa Gita tadi, lalu dia beranjak meninggalkan ruangan ini."G
POV TIWITujuh tahun kemudian. "Gak apa-apa kalau Abang pergi sendiri ke acara itu, kan, Bang? Sebenarnya Tiwi ingin sekali ikut, tapi kondisi perut ini yang sudah semakin membesar, jadi susah gerak," ujarku sembari meletakkan beberapa potong baju ke dalam tas Bang Ridwan. "Gak apa-apa, lagian kalau tidak bisa ngapain dipaksakan. Kalau nanti terjadi apa-apa di jalan bagaimana? Abang tidak mau calon anak Abang kenapa-kenapa. Jadi, istri tercinta Abang ini istirahat saja di rumah. Abang yakin, Risa dan Ardi pasti maklum," sahut Bang Ridwan dengan senyum termanis yang dimilikinya. Hari ini Bang Ridwan akan pergi ke acara khitanan Tama, anak kandung Bang Ridwan dan Mbak Risa. Seminggu yang lalu, Bang Ardi menelpon dan mengundang kami untuk hadir di acara itu. Sebenarnya aku ingin sekali ikut ke acara itu. Kalau saja kami masih tinggal di rumah yang dulu, sudah pasti aku ikut ke sana, karena jaraknya tidak terlalu jauh. Tapi karena sekarang kami sudah pindah ke luar kota, menyebabkan j
POV TIWIEntah sejak kapan, aku tertidur di depan televisi. Aku terbangun karena mendengar suara ponsel yang berdering. aku melihat sudah jam sebelas siang. Kuraih ponsel yang tergelatak di atas meja di depanku. Ada dua panggilan tak terjawab dari Bang Ridwan. Ada apa Bang Ridwan meneleponku. Jangan-jangan ada hal penting. Aku mencoba menghubungi kembali nomor Bang Ridwan. Begitu panggilan tersambung aku langsung mengucapkan salam. "Assalammualaikum. Maaf kan Adek, Bang. Tadi ketiduran, jadi...."Kata-kataku terputus, karena ada suara wanita yang tiba-tiba saja menyahuti salam dariku. "Waalaikumsalam, halo...ini dengan siapa?" tanyanya dari seberang sana.Jantungku berdegup kencang. Aku sangat terkejut, kenapa yang mengangkat panggilanku, seorang wanita? Dimana Bang Ridwan?"Saya yang harusnya bertanya. Anda siapa? Kenapa hape suami saya ada pada anda?" ujarku heran. Gimana sih, Bang Ridwan. Kok, hapenya bisa dipegang orang. Atau jangan-jangan Bang Ridwan tak pergi sendirian, dia m
POV TIWIAku dan Bu Hindun mempercepat langkah agar cepat sampai ke ruangan itu. Begitu aku sampai di depan ruangan tempat Bang Ridwan diobati, seorang wanita datamg menghampiri."Anda Ibu Tiwi?" tanyanya. Aku mengangguk."Saya yang menelepon tadi. Ayo ikut saya, kita harus segera menemui dokter. Ibu harus segera menandatangani surat persetujuan dilakukanya operasi pada suami Ibu. Ada pembekuan darah di kepalanya, dan harus segera dioperasi."Aku mengikuti wanita itu menuju salah satu ruangan di rumah sakit ini. Setelah menandatangani surat persetujuan itu, Para perawat langsung memindahkan Bang Ridwan ke ruang operasi. Operasi terhadap Bang Ridwan segera dilakukan.Diluar ruang operasi aku menunggu dengan cemas. Mulutku serasa terkunci, aku tak mampu berbicara apa pun selama Bang Ridwan masih di dalam sana. Wanita yang meneleponku tadi juga masih di sini bersama suaminya. Aku belum sempat bertanya apa-apa pada mereka. Nanti sajalah, setelah operasinya selesai, pikirku. Sekitar sat
Malam sudah menjelma. Namun, Bang Ridwan belum juga menunjukkan tanda-tanda akan sadarkan diri. Aku semakin cemas melihat kondisinya. Sejak tadi aku belum menelan nasi sedikit pun. Entahlah, rasanya aku tak ingin meninggalkan Bang Ridwan barang sedetik pun. Kami berada di ruang tunggu dekat dengan ruang ICU. Tak seorang pun diperbolehkan masuk ke dalam sana tanpa seizin dokter. Aku hanya bisa melihat suamiku dari jendela kaca. "Bu Tiwi, makan dulu, Bu! Sejak tadi siang Ibu belum makan apa pun. Kasian calon bayi Ibu. Pikirkan dia, Bu! Jangan sampai dia kenapa-kenapa." Bu Hindun yang baru datang membawa nasi bungkus berkata memelas."Tapi, saya tidak selera makan sebelum melihat Bang Ridwan sadar, Bu," sahutku lirih. "Pikirkan calon bayi Ibu! Pak Ridwan pasti juga tidak ingin calon bayinya kenapa-kenapa. Makanlah, Bu, sedikit saja!" ujarnya lagi sembari membuka nasi bungkus untukku.Benar kata Bu Hindun. Aku tidak boleh egois. Calon bayiku tidak harus ikut tersiksa karena kesedihanku
Dengan usaha yang gigih, akhirnya anak itu datang ke acara pernikahan kami bersama ibunya, mantan istri Bang Ridwan yang dulu dia buang demi seorang wanita bernam Gita. Wanita itu sangat cantik dan anggun, Mbak Risa namanya. Setelah mendapatkan maaf dan restu darinya, Bang Ridwan merasa lega dan siap menghadapi masa depan bersamaku. Tujuh tahun sudah kami berumah tangga. Baru sekarang Allah menitipkan seorang anak di rahimku. Baru saja kami merasa bahagia akan menyambut kelahiran anak pertama kami. Namun, Bang Ridwan mengalami kecelakaan seperti ini. Akankah kebahaiaan itu harus terenggut sekarang? Tak adakah kesempatan untuk Bang Ridwan melihat wajah anaknya? entahlah, dadaku semakin sesak setiap memikirkan hal ini. Ya, Allah, izinkan anakku bertemu dengan ayahnya, digendong ayahnya, tumbuh dan berkembang dibawah asuhan ayahnya. Cukuplah Tama yang merasakan kehilangan ayah kandungnya sejak kecil. Aku tahu, Bang Ridwan sangat bersalah kepada Tama. Ampuni dia ya, Allah! Izinkan dia