Sebelum pulang, Evan naik ke atas kursi. Tera terkesiap. Tanpa ia duga, Evan mencium pipinya. Matanya terbelalak, mengarah kepada Hayati yang melihatnya dengan tatapan tidak suka. *** “Bu, bagaimana dengan biaya rumah sakit ini?” todong Tera begitu Sanad dan keluarga kecilnya menghilang di balik pintu.Fatima duduk di kursi samping ranjang Tera. Kursi yang diduduki Evam sebelumnya. “Biaya perawatanmu kami yang tanggung. Kami minta maaf atas kejadian itu. Beruntung kamu masih bisa diselamatkan.”Tera menghela napas lega. “Syukurlah. Kamar seluas ini, saya tidak sanggup membayarnya.”“Nak, kamu tinggal di mana?”Seketika Tera terdiam. Wajahnya mendadak datar. “Supaya kami bisa memberi tahu keluargamu. Keluargamu pasti sangat mengkhawatirkanmu. Atau kamu bisa menelpon mereka dulu.”Tera menggeleng. “Tidak perlu.Terima kasih banyak atas perawatannya. Hanya Allah yang mampu membalas kebaikan ibu.”Fatima mengerutkan kening. Ia mencium ada yang disembunyikan Tera, tetapi tidak pantas ora
"Kalau sudah, kita pulang sekarang," ucap Hayati. Evan mengulurkan tangannya. Tera tertawa kecil. Ia menyambut uluran tangan kecil itu, lalu turun dari ranjang. ***Tera ternganga, rumah mewah modern kini di depan matanya. Halaman luas, hamparan rumput dengan potongan sangat rapi, tanaman di sana sini, dan tersedia kursi taman. Tidak pernah terbayangkan, kalau suatu saat ia akan menginjakkan kaki ke rumah semewah ini. Terlihat orang berlalu-lalang. Dari pakaiannya, Tera menerka mereka itu pembantu di rumah ini.“Inilah, rumah sederhana kami. Buatlah dirimu nyaman. Anggaplah rumah sendiri,” ujar Fatima. Rumah sederhana? Ternyata setiap orang berbeda nilai standar. Baginya ini terlalu mewah, seperti mimpi. Namun bagi Fatima dibilang sederhana?Tera mengangguk sedikit. “Iya, terima kasih, Bu.”“Setiap kerjaan sudah ada petugasnya, jadi kamu jangan sibukkan dirimu. Tugasmu hanya menjaga Evan,” intruski Fatima.“Inggih, Bu,” sahut Tera dengan wajah menunduk. “Kalau begitu, aku antar ke
“Jelaskan pada Ibu, bagaimana sekarang perkembangan kerupuk kita,” perintah Kembang.“Oh itu. Jangan khawatir, Bu. Sore tadi aku sudah lihat di beberapa minimarket. Terlihat rak-raknya sudah mulai kosong, Bu. Saya prediksikan, minggu depan kita bisa memproduksi lebih banyak lagi.”*** Sanad melepaskan kaca matanya, lalu meletakkan buku yang dibacanya ke atas nakas, ketika Hayati baru keluar dari kamar mandi. “Mau ke mana?” tanya Hayati.“Mau bacakan dongeng buat Evan.”“Bukannya sekarang ada Tera?! Jika Evan mau dibacakan dongeng, dia akan minta bacakan pada Tera,” sahut Hayati sambil mengusap rambutnya yang basah. “Aku tak percaya perempuan itu,” tukas Sanad, lalu hilang di balik pintu.Hayati hanya bisa menghela napas. Ia menoleh ke arah ponsel yang menyala. Bibirnya langsung tersungging senyum begitu melihat pemilik pesan itu.***Tera tersentak dengan kemunculan Sanad di kamar. Ia mengelus dadanya yang terasa ingin meledak akibat debarannya.“Ke depannya, kamu harus mengetuk pi
“Tadi katanya mau masuk ke kamar Evan, terus datang marah-marah. Siapa yang bikin kamu begini? Tera?”“Sudahlah. Malas ngomongin perempuan itu.” Sanad naik ke atas ranjang, lalu memasukkan kakinya ke dalam selimut dan berbaring.Hayati merebahkan kepalanya di bahu Sanad. Laki-laki itu langsung menyambutnya tanpa suara. Hayati ikut terdiam. Sanad memang selalu menyambut sikapnya, tetapi ia tahu hanyalah sentuhan kosong. Hati laki-laki itu tidak pernah untuknya.*** Sambil membelai rambut Hayati, Sanad memejamkan mata. Namun, pikirannya masih tertinggal di kamar Evan. Mata nyalang, tetapi berair masih melekat di benaknya. Ia memang sengaja mengucapkan hal itu untuk melihat reaksi Tera. Namun, mengapa reaksi itu di luar dugaannya.'Kenapa harus marah? Bukankah ia pernah melakukan itu?'*** “Mama tidak mengerti, ke
Hari Minggu pagi, Evan bermain lempar bola dengan Tera. Evan sudah mandi dan mengenakan baju santainya. Tiba-tiba pandangan Evan tertuju pada Pak Agus, seorang pekerja khusus merawat halaman dan tanaman.“Evan?” Tera menatap Evan heran yang tidak lagi melempar bola di tangannya. Ia mengikuti tatapan Evan. Terlihat Pak Agus sedang mengaduk tanah. Tak jauh dari situ ada beberapa buah pot tanaman.“Evan mau mencoba itu?” pancing Tera.Evan menoleh ke belakang, lalu mengangguk. Tera tersenyum lebar. Dari gelagat, Tera tahu kalau bocah itu tidak diizinkan main kotor. Namun, ia memilih pura-pura tidak tahu. “Ayo!” Tera mengulurkan tangan, Evan menyambutnya, lalu ia membawa ke tempat Pak Agus yang lagi asik memasukkan tanah ke adalam pot. Tak jauh dari situ sebatang mawar yang sudah tinggi tergeletak di tanah.“Tanahnya mau diganti, Pak?”“Iya, Dik. Sudah lama, diganti lagi d
Ia masuk ke rumah, lalu ke dapur. Di sana Asih sedang sibuk merapikan sayuran di sebuah kulkas khusus sayur. Ini salah satu yang tidak bisa dimengerti Tera, mengapa mereka memiliki banyak kulkas. Ia paham, supaya tidak tercampur baunya. Namun, bukankah Asih hampir selang hari ke pasar? Mereka cukup membeli sekadarnya, hingga bau tidak sampai saling bertukar. Untuk apa stok banyak kalau sering ke pasar? “Sudahlah! Bodo amat!” Tera membatin. “Sih, Ibu sudah datang?” tanya Tera. “Belum,” jawab Asih. Ia mengambil beberapa biji tomat lalu memasukkan ke sebuah toples persegi yang Tera prediksikan untuk besok pagi.“Kamu sudah lama bekerja di sini?” tanyanya sambil duduk di kursi. “Baru dua tahun.” Asih duduk di kursi yang satunya. Mengelilingi meja yang biasa mereka gunakan untuk mempersiapkan bahan makanan.“Kamu tahu bagaimana perlakuan Tuan ke Evan?”
Hanya perlu beberapa detik, panggilan Hayati langsung terjawab. Seakan yang dipanggil sedang menunggunya."Dia ke mana?" tanya di seberang setelah mendengar desah napasnya. "Ke rumah sakit, bawa anaknya.""Oh.""Oh?" protes Hayati. Laki-laki di seberang tertawa. "Terus?""Iya, apa kek," rajuk Hayati. Laki-laki di seberang kembali tertawa. "Kamu tau, aku selalu menunggu ceritamu, meski kamu tidak mau mendengarkan saranku.""Kamu tau, aku sangat mencintainya. Aku lebih dulu mengenal Sanad dari Kaayat. Meski hanya mendapatkan jasadnya, inilah kesempatanku."Terdengar helaan panjang dari seberang sana. "Terserah lah." "Maaf. Aku serakah, Gilang. Dulu aku pikir dengan mendapatkan jasadnya, aku cukup bahagia. Ternyata tidak, aku menginginkan lebih. Aku menginginkan hatinya.""Dan sampai sekarang kau belum mendapatkannya," tukas Gilang."Aku akan mendapatkannya." "Selalu begitu. Kamu selalu mengeluh, tapi pada akhirnya tetap dengan pendirianmu." "Menurutmu bagaimana lagi, supaya aku me
Meski Evan terlihat tenang, Tera tidak bisa membuang kekhawatirannya. Sesekali ia melirik laki-laki itu yang sudah duduk di kursi pengemudi.***“Ya?” Sanad setelah menyentuh ikon panggilan berwarna hijau, tanpa mengalihkan perhatiannya dari dokumen. “Tuan benar!” Seketika Sanad tersentak. “Mereka sekarang di mana?”“Mereka bersama saya,” jawab Keane.“Bawa mereka ke sini!” perintah Sanad. “Baik, Tuan!”*** “Tuan menyuruh saya membawa kalian ke kantornya,” ucap Keane setelah mematikan panggilannya. Sesaat Tera dan Evan saling bersitatap. Tera menatap cemas, tetapi Evan tersenyum lebar. “Yakin dia anak buah Papamu?” Tera tidak bisa membuang kecemasannya. Sekali lagi Evan mengangguk. Tera memeluk badan mungil Evan. “Ya sudah! Sepertinya kamu sangat menyukainya? Kenapa?”