"Cil." Tera ikutan menangis. "Kenapa ngungkit itu, kan jadi nangis." Ia mengusap wajahnya kasar.
Kembang mengambilkan tisu, lalu meletakkan di tengah-tengah."Terima lah dia. Dilihat kesungguhannya ingin beli Teratai Kedua, terlihat dia sangat ingin membahagiakanmu. Masalah perbedaan, asal sama-sama mau berusaha dan terbuka, seiring waktu kalian akan bisa saling mengimbangi.""Cil." Tera meletakkan wajahnya di pangkuan Acil Nurul. Tangisnya makin menderu.Bastiah dan Kembang ikut mengusap wajahnya.Air mata Acil Nurul tak henti-hentinya mengalir. Sebelah tangannya membelai rambut Tera. "Doa Acil akan selalu menyertaimu."***Hari lamaran tiba. Mengingat Bastiah sering menyebut perbedaan, Sanad mengantisipasi dengan hanya melibatkan keluarga dari pihak ibunya yang berada di Baruh Kambang. Secara kelas social mereka tidak terlalu berbeda. Ditambah Muallim Ibrahim, keluarga Tera yang tinggal di Baruh Kambang mem"Benarkah? Janji?!""Iya …."*** Kamar Tera kini dihiasi layaknya kamar pengantin. Ada sedikit berbeda di kamar Tera dibanding kamar pengantin umumnya. Di zaman sekarang, pengantin lebih banyak menggunakan ranjang modern tipe divan bed, sedang Tera memilih tipe ranjang kelambu. Ranjang yang memiliki kanopi supaya bisa dipasang kelambu. Dulu orang Bangkau banyak memakai tipe ini, mengingat kampung mereka banyak nyamuk. Perlahan ranjang kelambu kekurangan peminatnya, karena ranjang divan bed setiap masa desainnya semakin modern dan untuk menghiasi kamar pun semakin banyak kreasinya. Soal nyamuk, itu nanti dipikirkan, yang penting terlebih dahulu menikmati sebagai sepasang raja ratu, meski hanya sehari.Berbeda dengan Tera, mengingat Sanad bukanlah orang Bangkau, tentu nyamuk bukanlah perkara bisa dianggap enteng. Pertama kali yang dipikirkannya bagaimana supaya suaminya bisa tidur dengan nyaman tanpa adanya gangguan nyamuk. Menggunakan obat nyamuk sepanjang malam bukanlah pilihan ya
"Kamu pakai parfum apa?" tanya Sanad. "Parfum yang kamu kasih." "Aku suka wanginya." Sanad tergoda membaui aroma lembut di leher Tera. Tera merasakan bulu romanya merinding. Kehangatan napas Sanad menimbulkan reaksi alamiah yang membuat Sanad semakin bersemangat."San, hati-hati, kamu tidak bisa mandi lo." Tera mengingatkan.Tera menghempaskan napasnya. Ia segera bangkit, dan menurunkan kakinya ke lantai. "Aku pingin lihat Evan. Kok nggak ada suaranya." Tangan Sanad menyambar pinggangnya. "Tadi dia sama Lilac.""Aku pingin lihat, khawatir badannya bentol-bentol."Sanad menarik bahunya hingga terbaring. Seketika tubuhnya terkunci oleh sebelah tangan kekar."Tadi aku sudah minta Lilac agar mengolesi kulitnya dengan lotion anti nyamuk." Sanad meletakkan bibirnya di leher Tera. "San, kamu berani berendam di tengah malam? Bukan mandi di kolam rumah lo.""Kita mandi bersama.""San …." Mendadak bibirnya terkunci oleh
Sebelum baca, subscribe dan klik love dulu ya❤️***Tera membuka matanya, tetapi kembali memejam disebabkan sakit yang mendera di sekujur tubuh. Sayangnya, haus dan sakit tenggorokan yang mencekik membuatnya terpaksa menyeret kaki ke dapur dengan mata setengah terbuka. Tenggorokannya sedikit nyaman setelah menghabiskan segelas air putih. Setelah itu, ia berbalik ke kamar. Tiba-tiba dari pintu kamar sebelah muncul adik iparnya dengan tatapan mencurigakan. Ia abai, dan mempercepat langkahnya menuju kamar. Tidak disangka ipar bergegas menarik lengannya. "Jangan sok jual mahal. Aku tau kamu masih mencintaiku," seru iparnya, Arbain.Tera menghentak tangannya hingga pegangan Arbain terlepas. Ia menyungging sinis. "Dulu memang, tapi itu karena aku bodoh. Hanya perempuan bodoh yang mencintaimu. Aku sangat menyesal telah membuang waktu mencintai laki-laki sepertimu. Aku sangat bersyukur tidak berjodoh denganmu.."Tera masuk ke kamar, siapa sangka ternyata Arbain mengikuti dan mendorong tubu
Flash back. [Mlm ini aku akan ke rumahmu. Bersama org tuaku]Pesan itu sukses membuat Tera tak karuan. Malam ini kekasihnya akan datang ke rumah? Bersama orang tuanya? Untuk apa lagi kalau bukan untuk melamar? Kalau sekadar bertandang, tidak perlu bersama orang tua ‘kan?Menunggu malam rasa seperti menanti entah berapa tahun. Hampir setiap jam Tera memperhatikan jam di dinding. Saatnya tiba. Kekasihnya datang bersama kedua orang tuanya. Sekarang sedang berbasa-basi di ruang tamu. Berkali-kali ia mematut diri di cermin dan masuk keluar kamar kecil. "Ngapain berdiri di situ sih, Kak? Ganggu orang lewat saja," gerutu adiknya, Kembang Ilung, biasa dipanggil Kembang. Kembang masuk ke dapur, mengambil hidangan yang sejak tadi sudah ia siapkan. "Lo, kok kamu?" tanya Tera. "La, emangnya siapa lagi yang bawa ini? Kakak? Ada-ada saja."Tera melongo, melihat adiknya membawa hidangan ke ruang tamu. "Nah, ini dia anak kami namanya Kembang. Dia kuliah satu fakultas kan dengan Arbain?"Tera m
"Mama …."Itulah kalimat yang terdengar di telinga Tera saat pertama kali matanya terbuka. Ia masih keheranan, mencoba mengenali ruangan yang dilihatnya juga seorang anak laki-laki kecil nan imut berusia sekitar lima tahun berambut keriting. Pintu kamar kecil terbuka, muncul seorang perempuan melewati paruh baya memakai kerudung lebar berwarna merah maroon. "Kamu sudah bangun, Nak. Syukurlah. Saya panggil dokter dulu," ucap ibu itu sambil memencet tombol di dekat kepalanya. “Ini rumah sakit? Bagaimana saya sampai di sini?” tanya Tera keheranan. Wajahnya meringis membayangkan harus membayar ruang rawat inap semewah itu. Ia juga mencermati bagian sikunya yang ditutupi kain kasa. Bahkan dahinya juga ditutupi plester. “Mama!” Bocah itu kembali memanggilnya. Seketika perempuan berkerudung itu tersentak. “Kamu sudah bisa ngomong, Cu!” “Mama!” Kali ini, bocah itu memegang tangan Tera. “Mama?” ulang Tera, masih diselimuti kebingungan. Tera menatap heran. Ia beralih ke perempuan itu m
Sebelum pulang, Evan naik ke atas kursi. Tera terkesiap. Tanpa ia duga, Evan mencium pipinya. Matanya terbelalak, mengarah kepada Hayati yang melihatnya dengan tatapan tidak suka. *** “Bu, bagaimana dengan biaya rumah sakit ini?” todong Tera begitu Sanad dan keluarga kecilnya menghilang di balik pintu.Fatima duduk di kursi samping ranjang Tera. Kursi yang diduduki Evam sebelumnya. “Biaya perawatanmu kami yang tanggung. Kami minta maaf atas kejadian itu. Beruntung kamu masih bisa diselamatkan.”Tera menghela napas lega. “Syukurlah. Kamar seluas ini, saya tidak sanggup membayarnya.”“Nak, kamu tinggal di mana?”Seketika Tera terdiam. Wajahnya mendadak datar. “Supaya kami bisa memberi tahu keluargamu. Keluargamu pasti sangat mengkhawatirkanmu. Atau kamu bisa menelpon mereka dulu.”Tera menggeleng. “Tidak perlu.Terima kasih banyak atas perawatannya. Hanya Allah yang mampu membalas kebaikan ibu.”Fatima mengerutkan kening. Ia mencium ada yang disembunyikan Tera, tetapi tidak pantas ora
"Kalau sudah, kita pulang sekarang," ucap Hayati. Evan mengulurkan tangannya. Tera tertawa kecil. Ia menyambut uluran tangan kecil itu, lalu turun dari ranjang. ***Tera ternganga, rumah mewah modern kini di depan matanya. Halaman luas, hamparan rumput dengan potongan sangat rapi, tanaman di sana sini, dan tersedia kursi taman. Tidak pernah terbayangkan, kalau suatu saat ia akan menginjakkan kaki ke rumah semewah ini. Terlihat orang berlalu-lalang. Dari pakaiannya, Tera menerka mereka itu pembantu di rumah ini.“Inilah, rumah sederhana kami. Buatlah dirimu nyaman. Anggaplah rumah sendiri,” ujar Fatima. Rumah sederhana? Ternyata setiap orang berbeda nilai standar. Baginya ini terlalu mewah, seperti mimpi. Namun bagi Fatima dibilang sederhana?Tera mengangguk sedikit. “Iya, terima kasih, Bu.”“Setiap kerjaan sudah ada petugasnya, jadi kamu jangan sibukkan dirimu. Tugasmu hanya menjaga Evan,” intruski Fatima.“Inggih, Bu,” sahut Tera dengan wajah menunduk. “Kalau begitu, aku antar ke
“Jelaskan pada Ibu, bagaimana sekarang perkembangan kerupuk kita,” perintah Kembang.“Oh itu. Jangan khawatir, Bu. Sore tadi aku sudah lihat di beberapa minimarket. Terlihat rak-raknya sudah mulai kosong, Bu. Saya prediksikan, minggu depan kita bisa memproduksi lebih banyak lagi.”*** Sanad melepaskan kaca matanya, lalu meletakkan buku yang dibacanya ke atas nakas, ketika Hayati baru keluar dari kamar mandi. “Mau ke mana?” tanya Hayati.“Mau bacakan dongeng buat Evan.”“Bukannya sekarang ada Tera?! Jika Evan mau dibacakan dongeng, dia akan minta bacakan pada Tera,” sahut Hayati sambil mengusap rambutnya yang basah. “Aku tak percaya perempuan itu,” tukas Sanad, lalu hilang di balik pintu.Hayati hanya bisa menghela napas. Ia menoleh ke arah ponsel yang menyala. Bibirnya langsung tersungging senyum begitu melihat pemilik pesan itu.***Tera tersentak dengan kemunculan Sanad di kamar. Ia mengelus dadanya yang terasa ingin meledak akibat debarannya.“Ke depannya, kamu harus mengetuk pi