Part 120. Info dari Bu usmanBu Usman berjalan tergesa-gesa menuju rumah Bu Samirah, untuk melaporkan kejadian di depan mata. Apalagi informasi yang akan disampaikan pada Bestie-nya itu sudah lengkap. Tadi Novi menceritakan hasil kekepoannya datang ke rumah Rahman. "Assalamualaikum, Mirah…Mirah," panggilnya. Bu samirah yang sedang seketika bangkit dan menjawab salam sahabatnya. "Waalaikumsalam, ada apa? Kok seperti ada hal yang darurat," tanyanya dengan muka heran melihat mimik muka Bu Usman yang tidak seperti biasanya. Seperti ada hal yang sangat mendesak sekali."Eh, Mirah, kamu sudah tau belum. Kalau adiknya Mala mau buka warung di tempat anakmu?" tanyanya dengan nafas tersengal-sengal. Karena ia berjalan setengah berlari dari rumahnya tadi. "Minimal dulu nih." Bu Samirah menyodorkan Aqua gelas yang memang telah tersedia di meja ruang tamu. Dengan gesit Bu Usman mengambilnya lalu menyedotnya hingga menimbulkan bunyi dari gelas tersebut."Pelan-pelan, Napa," tegur Bu Samirah melih
Part 121. Kembali merantau.Dua hari kemudian.Rahman telah bersiap akan kembali berangkat ke Lampung. Mala menyarankan agar mampir ke rumah mertuanya. Meski terlihat enggan, Rahman membenarkan apa kata istrinya. Seburuk apapun tabiat ibunya, beliau adalah wanita yang telah melahirkannya, mengasihinya dengan tulus. "Sana, Mas. Ke rumah ibu dulu," titah Mala. Wanita itu sibuk menggoreng ayam untuk bekal Rahman di jalan. "Aku sekalian berangkat saja ke sananya," sahut Rahman yang sedang duduk di meja makan. Ia memperhatikan sosok istrinya dari belakang, betapa hati wanita itu begitu bersih tanpa dendam dan dengki. Membuat Rahman semakin sayang pada Mala. Karena wanita seperti itulah yang ia butuhkan. Meski Rahman tahu tak mungkin kalau Mala tak merasa sakit hati oleh sikap dan ucapan ibunya. Namun istrinya begitu rapih menyimpan semua duka yang didapatkan dari ibunya..Setelah semua siap, Rahman pun pamit pada istrinya, ia memeluk erat tubuh wanita yang kini mulai kurus itu. Menghirup
Pov Mala. "Pokoknya aku gak mau beli, dan awas saja kalau sampai ada anak yang keracunan atau sakit akibat jualanmu itu," ucapnya dengan mengacungkan telunjuknya. Aku hanya memandangnya acuh. Lagian siapa yang mau jual sama kamu, gak ada dalam sejarahnya nenek-nenek doyan seblak. Ini serius, aku belum pernah mendengar ada nenek-nenek modelan Bu Usman beli seblak. "Kenapa kamu diam? Takut-kan?" ucapnya lagi. Ya…Tuhan, lepas dari mertua cerewet, kini punya tetangga absurd. Semoga hamba diberi kesabaran. "Assalamualaikum," ucap Aisyah saat setelah memarkirkan motornya. "Waalaikumsalam salam," jawabku. Aisyah membawa banyak belanjaan, anak itu ternyata pergi belanja dengan masih memakai seragamnya. Sungguh tekadnya begitu kuat untuk usahanya ini. bahkan ia tidak gengsi kepasar masih memakai seragam sekolah. Disaat anak lainnya pulang sekolah nongkrong atau pergi dengan pacarnya, tapi adikku malah pergi belanja ke pasar."Banyak banget, Is," ucapku sambil menghampiri Aisyah yang sedan
"Bu, saya memang masih sekolah. Tapi saya sudah punya kerjaan," sahut aisyah dengan bangga. Sepertinya adikku itu salah menilai tetangga tua ku, dikiranya dengan jawaban seperti itu akan membuat nenek tua itu diam. Oh, tidak semudah itu miskah. Ku lihat juga Bu Usman mencebik. Aku segera mengajak Aisyah masuk, agar ia tak meledak dengan ucapan-ucapan Bu Usman berikutnya. "Kerja apaan? Anakku yang sudah lulus kuliah saja, susah cari kerjaan. Kamu anak kecil, kok sok-sok an ngaku punya kerjaan," ucap Bu Usman. Membuat Aisyah menghentikan langkahnya. Dan berbalik menatap tajam ke arah Bu Usman. Aku mendorong punggung adikku agar segera masuk saja. "Masuk," titahku dengan menggerakkan daguku. "Tapi—" "Masuk."Aisyah mendengus dan memutar bola matanya, tapi dengan cepat juga melanjutkan langkahnya. "Hey, kamu kerja apa? Ditanya orang tua kok malah pergi, anak jaman sekarang pada gak tau sopan santun," sungutnya dengan berapi-api."Bu, saya mau sholat dzuhur. Apa tidak sebaiknya, Ibu,
Pov Helen. Saat aku mendengar Rahman dan Mala telah pindah rumah, saat itu pula tungkai kakiku terasa tak mampu lagi menopang tubuh ini. Bahkan setelah pengakuanku dua hari lalu, ternyata tak membuat Rahman bergeming. Tega sekali laki-laki yang aku dambakan siang dan malam itu. Aku yang tiap detik memikirkan dirinya, tapi apa yang aku dapatkan sekarang? Penolakan dan diabaikan. Rahman telah berubah 180° dia yang dulu tak pernah membantah apa mauku, kini aku tak lagi mengenal dirinya. Bohong, kalau Rahman sampai bilang tak mencintai aku lagi. Aku tau, sorot matanya masih menyimpan sisa-sisa cinta kami yang dulu. Egoisnya seorang lelaki memang demikian. Tak apa, aku tak akan menyerah begitu saja. Akan ku dekati terus ibunya, hingga si Mala itu akan jengah dan memilih pergi dengan sendirinya, tanpa aku mengotori tanganku sendiri. ——Pagi ini aku bangun lebih pagi dari biasanya. seperti hari sebelumnya, hari ini pun, aku akan joging kembali mengelilingi kampung. Aku harus bisa menjaga
Dulu aku sengaja tak pernah mengurus badanku apalagi wajahku, hanya agar suamiku tak menyentuhku. Meski kami tidur satu ranjang yang sama, dia tak pernah macam-macam. Terkadang aku akan pindah ke kamar lain kalau dia telah tidur. Meski seperti itu, aku telaten mengurusnya, memberi obat sesuai jadwal dan mengantar kontrol ke rumah sakit dan mengurus usahanya.Aku tak pernah menceritakan hal ini pada siapapun, termasuk ibuku, bisa kena ceramah aku ini. Lagian aki-aki model pak Bambang memang sudah penyakitan, dia sudah tak bisa memenuhi kewajibannya sebagai suami. Aku ini sungguh beruntung, menikah tiga tahun lebih tapi tubuhku masih original. Semua aku coba pertahankan hanya untuk Rahman, hanya lelaki itu duniaku saat ini. Aku segera melangkahkan kaki keluar dari rumah. Aku berlari kecil di pinggir jalan desa. Sudah banyak orang berlalu lalang. Udara yang masih asri membuatku menghirup udara sebanyak mungkin. Aku berbelok menuju kerumunan ibu-ibu yang sedang memilih sayuran, kebetulan
Pembelaan Anton.Mala memelototkan matanya pada Helen yang sedang mengejeknya, bahkan Helen tak segan menjulurkan lidah dan mengacungkan jari tengahnya ke arah Mala. Membuat amarah Mala memuncak, namun ia segera sadar dengan mengerjakan matanya lalu beristighfar. "Bukankah buah yang busuk akan jatuh dengan sendirinya?" gumamnya dalam hati. "Biarlah mereka semena-mena padaku saat ini, aku juga yakin, hukum tabur tuai itu masih berlaku,"ucap Mala dalam hati."Sabar, ya! La," ucap Umi Hamzah sambil mengelus pundak Mala perlahan-lahan. Wanita berhijab lebar itu, sungguh tau apa yang dirasakan tetangganya ini. "Nggak apa-apa kok, Mi. Lagian sudah biasa-kan?" sahut Mala dengan seulas senyum. Umi Hamzah mengangguk pelan, senyumnya getir saat mengingat bagaimana keseharian Mala dengan mertuanya. Sebagai tetangga dekat bu Samirah, sudah sering Umi Hamzah mengingatkan wanita tua itu, namun seperti tidak pernah berbekas. Kini jalan satu-satunya adalah menenangkan Mala. "Heran sama si Helen,
Part 127. Pembelaan Anton bagian B."Heh, Anton. Itu istri adik iparmu, kamu palak juga?" seru bu Usman dengan lantang. Membuat Anton melirik ke arah bu Usman dan kawan-kawannya. "Aku pinjam, Bu. Bukan malak," jawab Anton jujur. "Halah, modus sekali," cibirnya."Jangan kau godain istri iparmu, Bang. Pamali!" Seru Helen dengan tatapan mengejek ke arah Anton dan Mala. "Sebusuk-busuknya saya, tidak akan menggoda wanita baik-baik. Apalagi keluarga sendiri," sahut Anton dengan keras. "Halah, siapa yang gak tau kamu, Bang. Warga sini juga dah tahu tabiat kamu," ejek Helen. "Lama-Lama, pasti kau embat juga istri iparmu itu, apalagi jauh dari suaminya. Atau memang kalian ada affair?"Anton yang sudah siap mendorong sepeda motornya, kembali memasang standar motor itu. Kini ia maju beberapa langkah ke arah tiga orang itu. "Eh, J*nda! Dengerin baik-baik ni. banyak orang punya masa lalu, begitupun aku. Jangan lantas kau ingat busuknya, tapi lihatlah aku sekarang. Aku memang pernah melakukan