"Mbak, please tolong Mas Ahza." Wirda mengiba dengan cara menangkupkan kedua telapak tangannya.
Fatma masih tak bergeming ia malah melengos dari hadapannya. Namun, Wirda tak putus asa ia membuntuti Fatma hingga ke depan pintu kamar."Tunggu di sini!" tegas Fatma lalu menutup pintu itu sedikit keras.Ada kesal yang menyeruak dalam dadanya. Disaat sakit mereka mencari, lalu dimana mereka ketika saat itu sedang bersenang-senang? ternyata kedua orang itu hanya ingin berbagi duka, gumamnya, lalu Fatma tersenyum getir.Di dalam kamar ia lekas mencari selembar kertas dan pulpen lalu tangannya mulai menulis resep."Ini resep ramuan obat sakit lambungnya suamimu, buat saja sendiri aku malas."Fatma segera menutup pintu rapat-rapat, tanpa memberi kesempatan pada mantan adik madunya untuk bertanya, ia sudah malas jangankan untuk bicara, untuk bertatap muka saja ia risih.*Sementara di luar sana Wirda mencebik lalu mendengkus kesal.Bagaimana ia bisa membuat ramuan yang terbuat dari rempah-rempah itu?Bahkan ia tak bisa membedakan mana kunyit, jahe dan lengkuas."Ugh! Menyebalkan!" Wirda merutuk di hadapan suaminya yang sedang kesakitan."Gimana, Dek?" tanya Ahza lemah."Mbak Fatma ga mau buatkan ramuannya, Mas! Sudahlah kita ke dokter saja," jawab Wirda kesal, lebih tepatnya kesal pada mantan kakak madunya."Ga mempan, Dek, kalau minum obat kimia, Mas terbiasa minum ramuan tradisional buatan Fatma."Wirda menghentakkan kepalan tangannya ke kasur, lalu kedua rahangnya mengeras."Tau ah, Mas! Kamu ga bisa dibilangin! Ngeyel!"Bagaimana ia tak emosi jika yang keluar dari mulut suaminya selalu nama Fatma, seseorang yang pernah menjadi saingannya dulu.Kini ia sudah menjadi pemenang. Namun, kenapa seolah di hati dan pikiran Ahza sosok Fatma tak juga menghilang, bahkan sosok itu selalu hadir menghantui ketenangannya.Takut, jika Ahza akan kembali menjalin cinta dengan mantan istri pertamanya, terlebih suaminya itu selalu mencari celah untuk bicara atau sekedar memperhatikan Fatma dari kejauhan.Wirda benci itu, ia ingin menanam beribu-ribu kebencian di benaknya. Namun, bagaimana caranya? bahkan cara yang extrim pun sudah ia lakukan."Dek, Mas mules lagi nih, bantuin ke kamar mandi ya, Mas lemes banget," pinta Ahza dengan suara yang memilukan.Wirda menghela napas, raganya mulai terasa lelah, hampir seharian ini ia menuntun suaminya bolak balik ke kamar mandi."Kamu kok BAB-nya ga berhenti-berhenti sih? sudahlah kita ke dokter saja," cetus Wirda mulai geram.Ini sudah zaman modern, mengapa suaminya itu masih saja meminum ramuan tradisional? apa jangan-jangan itu hanya alasan saja untuk mencari perhatian Fatma. "Iya-iya nanti Mas ke dokter, tapi sekarang bantu Mas ke kamar mandi dulu sudah ga tahan ini."Wirda mencebik lalu menuntun suaminya menuju toilet dalam kamar itu dengan terpaksa."Aduh, Dek, kayanya Mas sudah keluar duluan ini," ucap Ahza seraya menyentuh bokongnya, seketika Wirda mencebik lalu menutupi hidungnya."Jorok banget sih kamu, Mas! Terus yang nyuci celana kamu nanti siapa?!" Wirda mulai meradang."Maaf, Dek."Hoekkk! Hoekkk! Tak berselang lama Ahza kembali memuntahkan isi dalam perutnya, alhasil lantai kamar itu menjadi kotor, muntahan Ahza berceceran di mana-mana.Wirda mulai khawatir sekaligus bingung, harus apa dan bagaimana, selama ini ia tak pernah mengurus orang sakit, wanita itu selalu di manjakan oleh kedua orang tuanya."Kok kamu muntah lagi sih, Mas! Lihat kamar ini jadi kotor 'kan karena muntahan kamu," ucap Wirda setengah berteriak."Ma-maaf," gumam Ahza lalu ia kembali muntah dan mengotori karpet lantainya."Ya ampuuun!" Bukannya menolong wanita itu malah marah-marah.Hati Ahza merana, ia teramat merindukan sosok Fatma, terlebih disaat dirinya sedang sakit seperti ini, biasanya Fatma selalu mengurusnya sepenuh hati, tak pernah mengeluh apalagi marah-marah seperti istri keduanya."Fatma tolongin, Mas," gumam Ahza setelah itu tubuhnya limbung lalu tersungkur ke lantai, ia tak pingsan hanya merasa lemas karena terlalu banyak kehilangan cairan tubuh."Mas! Kamu kenapa?" teriak Wirda panik.Tak dihiraukan bau tubuh Ahza yang menyengat, lantas Wirda mendekap tubuh suaminya seraya terisak."Mas, kita ke rumah sakit ya," ucapnya di telinga Ahza.Lelaki yang sudah tak berdaya itu hanya mengangguk lemah, lalu Wirda beringsut bangkit."Sebentar ya, Mas."Ia melangkah untuk menemui Fatma di kamarnya.Dua kali pintu diketuk akhirnya muncullah sosok Fatma yang mengenakan mukena, kedua wanita itu saling memandang."Mbak, Mas Ahza makin parah BAB dan muntah terus, bantu aku ya kita bawa dia ke rumah sakit," pinta Wirda memelas, rasa gengsi dan malu sudah terkubur berganti dengan rasa cemas."Sudah dikasih belum ramuannya?"Wirda menggeleng pelan."Kenapa ga dibuatin? takut tanganmu jadi kotor?" Fatma mendecap."A-aku ga tahu, Mbak bahan-bahannya kaya gimana, aku mohon bantu Mas Ahza sekarang ia akan di bawa ke rumah sakit aku sudah pesen taxi online," mohon Wirda memelas.Namun, dalam hatinya ia muak melakukan hal itu."Kalau sudah pesen taxi online ya sudah pergi saja, dia itu sua
Fatma merasa geram mendengar permohonan mantan madunya."Aku ga bisa bantu, maaf!" tegasnya yang membuat Wirda semakin dilanda rasa bimbang.Bagaimana tak panik seorang perawat menyuruhnya untuk membayar biaya administrasi secepatnya, karena Ahza harus segera di pindahkan ke ruang rawat inap dengan segera.Sementara dirinya tak membawa uang lebih, bisa saja menjual kalung atau perhiasan lainnya. Namun, ia enggan lakukan itu, sayang jika perhiasan itu harus terjual."Mbak ini kenapa sih sekarang berubah? inget! Mas Ahza itu masih ada hak terhadap Mbak, kalian masih masa Iddah belum bercerai resmi, Mbak mau berdosa karena ga mau ngurus suami sendiri?!"Wirda pun mulai meluapkan emosi, lebih tepatnya ia tak ingin menghadapi kesulitan ini seorang diri, Fatma juga harus ikut andil dalam mengurus Ahza. Fikiranya.Fatma terkekeh, ia faham betul apa yang di maksud Wirda, sebenarnya ia tak ingin melalui kesulitan ini seorang diri.Curang!Licik!Disaat sulit mereka mencari sedangkan disaat sen
"Gimana, Ahza? apapun akan Mbak lakukan agar kamu dan Fatma bisa bersama lagi, Mbak yakin dia itu jodoh terbaik yang akan menemani masa tuamu kelak."Ahza dan Wirda terdiam, jika Wirda sedang dalam puncak emosi berbeda dengan Ahza, pria itu nampak menghela napas lalu menatap sang kakak dan menunduk lagi.Pilihan konyol!Untuk kedua kalinya ia terjebak dalam pilihan itu, tak dapat dipungkiri Ahza pun teramat menyayangi Wirda. Namun, ternyata berpisah dengan Fatma adalah sebuah musibah besar.Jika bisa ia ingin bersama dengan keduanya, tanpa harus ada yang ditinggalkan.Wirda menepuk pelan paha suaminya, sebagai tanda jika ia tak nyaman dengan hadirnya Mbak Hafsa, penghalang kebahagiaannya selain Fatma."Ahza, Mbak rela, ridho kalau semua warisan dari ayah di berikan ke kamu, asal kamu dan Fatma kembali, dan duri yang menempel diantara kalian harus enyah dan lenyap."Degh!Ada sesuatu yang menghantam dada Wirda, benarkah dirinya duri di kehidupan Ahza?Keterlaluan kamu, Mbak!.Aku bukan
Dada Wirda naik turun. Namun, ada sedikit kepuasan karena ia bisa memecahkan unek-uneknya, biarlah ia dan kakak iparnya akan menjadi musuh, yang penting Ahza tak lagi berpaling pada masa lalunya.Ia cinta dan sayang Ahza!"Diam kamu! Ahza itu adikku, kita lahir dari rahim yang sama juga diasuh oleh orang yang sama, aku ga akan biarkan dia berada di jalan yang salah," Balas Mbak Hafsa tak kalah sengit.Ruangan rawat inap itu sudah berubah menjadi Medan pertempuran. Wirda mendengkus dan mencebik. Merasa tak menerima dengan penuturan kakak iparnya apakah hanya Fatma wanita shaliha di dunia ini? aku juga mampu, bahkan sanggup menjadi pribadi yang lebih baik dari mantan kakak madunya itu, batinnya."Sudah-sudah, ini rumah sakit ga baik bertengkar di sini, oh ya, Mbak aku ucapkan terima kasih karena sudah menjengukku.""Aku katakan sebaiknya Mbak ga usah ikut campur tentang masalah rumah tanggaku ya, biarkan aku jalani semua ini sendiri, Fatma sudah sangat membenciku jadi kami tak mungkin
Suasana di sekitar menjadi riuh, orang-orang berbondong-bondong melerai pertikaian dua wanita beda generasi tersebut."Lepaskan! Wanita ini akan kuhajar!" Wirda berusaha berontak dari cekalan beberapa pria yang berusaha melerainya.Sedangkan Mbak Hafsa, ia tertatih untuk bangun, beberapa ibu-ibu berusaha membantunya berdiri."Lihat saja, aku akan laporkan kamu ke polisi, kamu akan mendekam di penjara, sementara itu Ahza dan Fatma akan rujuk kembali."Mbak Hafsa menyeringai puas, tindakan yang Wirda lakukan bisa menjadi senjata untuk menyerang balik dirinya."Mbak, aku minta vidionya, barusan Mbak rekam 'kan?" Walau dalam keadaan diserang. Namun, ia sangat hafal jika wanita yang tak dikenalinya itu merekam kejadian barusan."Iya, Mbak boleh." Mbak Hafsa tersenyum puas."Bapak-Bapak, bisa bantu saya untuk menjauhkan orang ini?""Baik, Mbak," ucap seorang pria yang sedang memegangi tangan Wirda, lantas mereka menyeret Wirda menjauh.Sekarang Vidio beberapa detik itu sudah terkirim, Vidi
Satu Minggu sudah Ahza berada di rumah sakit, kini waktunya ia pulang ke rumah, tak ada Wirda ataupun Fatma di sampingnya.Hanya Mbak Hafsa yang setia menemani dan membantunya selama di rumah sakit."Ayo Ahza kita pulang sekarang barang-barangmu sudah siap."Mereka berdua beranjak, di luar sana sebuah taxi yang dipesan melalui aplikasi sudah terparkir menunggunya."Uwais pasti seneng lihat kamu pulang," ucap Mbak Hafsa.Wanita itu terus berbicara walau Ahza tak menanggapi, sengaja Ahza mendiamkan kakaknya sebagai hukuman karena Mbak Hafsa tak juga mencabut tuntutannya terhadap Wirda.Ahza sudah kehilangan Fatma, dan sekarang dia juga tak ingin kehilangan Wirda, ia tak sanggup jika hari-harinya akan dijalani dengan sunyi tanpa hadirnya seorang istri."Ahza, kita mau beli apa buat oleh-oleh kedua anakmu?"Kesekian kalinya Ahza diam, pandangannya sibuk melihat mobil-mobil dan pepohonan di luar sana, ia tak ingin berbicara sebelum sang kakak mencabut tuntutannya pada Wirda."Ahza! Sampai
Suara Uwais dan Fatimah yang sedang bermain di ruang keluarga, Ahza melangkah mendekati kedua anaknya, dengan harap mereka akan menyambut kedatangannya seperti yang biasa mereka lakukan.Namun, prasangka itu salah, baik Uwais ataupun Fatimah keduanya tak ada yang berhambur memeluk dan menyambutnya seperti hari-hari yang lalu.Perih, bagai tersayat hati Ahza mendapati kedua anaknya begitu acuh, seolah dia orang lain."Uwais, mainnya sudah ya, Nak, sekarang mandi sebentar lagi 'kan mau belajar bahasa arab sama Pak ustaz."Terdengar suara Fatma yang mulai mendekat, Uwais lari menuju kamar menghampiri ibunya, tak lama sosok Fatma muncul tanpa mengenakan hijab.Wanita itu terperanjat hingga kalimat istighfar keluar dari mulutnya, ia cepat-cepat menggendong Fatimah dan berlari menuju kamar karena menyadari jika auratnya terlihat oleh Ahza yang kini bukan lagi mahromnya.Ahza melangkah lalu duduk di sofa, merenungi diri Yang diselimuti rasa sepi, ia berada di rumahnya sendiri. Namun, semua p
Denting jam menemani Ahza yang sedang meringkuk di pembaringan, udara dingin menyapu wajah piasnya, matanya mengerjap lalu membulat sempurna, diliriknya sebuah jam dinding yang menunjukkan pukul 08.00 pagi.Pantas saja udara dingin menyeruak menyentuh pori-pori kulitnya, udara puncak Bogor memang sangat dingin terutama di pagi hari dan malam.Sejak sahur tadi ia ketiduran hingga lupa menjalankan salat subuh, biasanya ada Fatma yang selalu membangunkan jika dirinya tidur kebablasan, kini ia benar-benar kehilangan sosok itu.Ah, entah kapan otak ini berhenti memikirkan Fatma, wanita yang sudah 100 persen mengabaikannya, bahkan ia tak peduli pada Ahza yang bersantap sahur hanya dengan segelas air putih.Untuk apa peduli, bahkan ia sendiri tak pernah peduli pada hatinya yang terkoyak saat dulu membawa Wirda ke rumah ini sebagai madunya.Tak hanya itu ia juga kerap bersikap berat sebelah, dengan lebih mengutamakan Wirda dari pada Fatma dan kedua anaknya.Lelaki sepertiku memang tak pantas