Hingga pukul delapan malam belum ada tanda-tanda Devan kembali ke rumah. Kania bergerak kesana kemari merasakan kegelisahan yang melanda hatinya, bagaimana jika Sean tidak mengembalikan Devan? Bagaimana jika Devan tidak ingin kembali ke rumah mereka?"Kania, tenanglah. Kau sudah berjalan seperti selama dua jam lamanya."Kania menghela nafasnya lalu duduk di hadapan Leonard. Ya, setelah pulang bekerja Leonard menghampiri dirinya saat mendengar kabar yang diberikan oleh Kania. Meski Kania sudah melarangnya untuk datang, Leonard bersikeras menemaninya."Menurutmu Devan akan kembali? Bagaimana jika ia sangat marah dan membenciku? Aku mungkin percaya pada Sean, Leon, tapi di sana ada Sheline, aku cemas jika Devan mulai terhasut olehnya." ujar Kania dengan gelisah.Leonard mengambil tangan Kania yang gemetar lalu mengusapnya dengan perlahan. Sejenak ada rasa aman yang ia rasakan saat Leonard melakukan itu."Dia pasti akan kembali, jangan khawatir. Jika sampai besok Devan tidak kembali, aku
Kania tidak mempercayai penglihatannya saat ini, ia tidak percaya bahwa Sean akan mengambil langkah seperti ini untuk mengambil Devan."Saya akan mengkonfirmasi ini pada Pak Sean,""Tapi Bu Kania, tunggu sebentar."Tanpa menghiraukan panggilan pengacara yang bernama Nando itu, Kania masuk ke dalam mobil Leonard."Aku harus bertemu dengan Sean,""Aku tahu."Mobil Leonard segera melaju dengan kecepatan tinggi menuju kantor Sean. Dengan langkah yang terburu, ia berjalan menuju ruangan Sean."Anda datang lagi Bu Kania? Ah ada Pak Leon juga." sapa Garin dengan ramah."Mana Sean?""Silahkan tunggu di ruang tunggu Bu Kania, Pak Leonard.""Aku tidak bisa menunggu, panggil Sean sekarang juga.""Ah, baik. Anda bisa mengikuti saya."Melihat nada bicara Kania yang teramat dingin, Garin seketika menurut. Meski Kania bukan lagi istri atasannya, tapi Sean selalu memintanya untuk mengutamakan wanita itu jika ia berkunjung. Garin mengetuk pintu ruangan Sean untuk memberitahu perihal kedatangan Kania.
"Cerai?"Sheline terhenyak mendengar ucapan Sean di hadapannya. Setelah semua yang ia lakukan, Sean ingin bercerai?"Ya, aku ingin bercerai."Raut wajah Sheline yang awalnya menantang seketika berubah pucat. Ia tidak percaya kemarahannya akan membuat Sean ingin bercerai."Tapi aku... Aku tidak ingin bercerai, Sean.""Aku sungguh lelah Sheline, kita bercerai saja."Sheline mengambil tangan Sean dengan raut wajah yang memelas, "Tidak Sean, jangan ceraikan aku. Aku sangat mencintaimu."Sean menepis tangan Sheline dengan kasar, "Aku akan memberikan berkas-berkasnya besok padamu. Tunggu saja."Sheline hanya bisa tercengang mendengarnya sementara Sean bergerak meninggalkan Sheline yang terpaku di tempat. Saat Sheline hendak menyusul langkah Sean, kepalanya tiba-tiba terasa berputar lalu bruuuk...Sheline ambruk di lantai.****Sheline mengerjapkan matanya lalu terkejut saat mendapati pemandangan serba putih di hadapannya. Ia mencoba bangkit membuat sakit kepalanya yang sempat menghilang kin
"Sheline hamil?" ucap Kania dengan nada tidak percaya. Sheline terlihat tersenyum lalu mengusap-usap perutnya."Benar, aku hamil."Kania hanya terdiam, bukan ia tidak senang dengan kabar ini, hanya saja ia terlalu terkejut. Sean ikut menyentuh perut Sheline dengan lembut. Kania berdeham kecil melihat tindakan manis yang Sean lakukan untuk Sheline. Entah kenapa tindakan ini membuat perasaan Kania sedikit tidak nyaman."Sheline berjanji padaku akan berubah Kania, berikan kesempatan baginya." ujar Sean kembali.Kania masih membungkam mulutnya. Entah kenapa masih tidak percaya seorang Sheline akan berubah begitu saja. Ia merasa sangsi melihat pemandangan ini, apa benar Sheline telah berubah? Tapi mengingat perbuatan wanita licik itu selama ini, bukankah terlalu dini untuk mempercayai bahwa wanita itu telah berubah?"Selamat atas kabar kehamilannya, tapi maaf aku tidak bisa memaafkan sikap istrimu."Kania mencoba bangkit, namun Sheline segera menahannya, "Aku tahu ini sulit bagimu untuk m
Leonard mengerjapkan matanya mendapat kecupan yang tidak terduga dari Kania untuk kedua kalinya. Ia melirik ke arah bir Kania yang masih tersisa setengah, "Apa kau sudah mabuk hanya karena meminum setengah bir?" tanya Leon tidak percaya.Kania terlihat menggeleng mendengar pertanyaan Leon, "Aku sama sekali tidak mabuk," balas Kania sambil menunduk malu-malu.Leonard kembali terkejut mendengar jawaban. Jadi kecupan tadi itu?"Kurasa kau ingin melakukan hal itu sejak lama. Aku–"Belum selesai Kania menyelesaikan kalimatnya, ia tersentak saat Leonard kembali menarik wajahnya lalu menciumnya. Ciuman ini bahkan berlangsung lebih lama dan dalam daripada sebelumnya. Leonard meraub bibirnya lembut, menyesap tiap lapisan di sana dengan penuh dahaga. Leonard menggigit kecil, meminta akses kepada Kania untuk membuka mulutnya lebih dalam. Dengan lihai, Leonard mengabsen satu per satu giginya lalu membelit lidahnya. Jantung Kania bergerak tidak karuan tiap kali sentuhan bibir Leonard semakin membua
"Ini nenek kamu, Devan. Ayo beri salam,"Mata Kania seketika melebar saat mendengar ucapan Sheline. Devan sudah bersiap untuk memberikan salam pada Catherine, namun Kania segera menahannya. Masih jelas terbayang bagaimana perlakuan Catherine kepada mereka, ia tidak akan bisa menerimanya. Tidak, saat ia tepat berada di hadapan mereka."Jangan lakukan itu, Devan. Ayo kita pergi."Kania segera bangkit berdiri, ia mengambil tas tangannya yang tersampir di kursi meja makan. Raut wajahnya menunjukkan kemarahan yang teramat. Entah Sheline sengaja atau tidak, tapi kedatangan Catherine telah merusak suasana hatinya. Setelah apa yang sudah Catherine lakukan, bagaimana ia dengan tidak berdosanya mengaku ahwa dia adalah nenek Devan?Melihat Kania yang bergegas untuk pergi bersama Devan, Sheline segera menahannya,"Tunggu Kania, kenapa? Ini hari yang baik, bukan? Mama juga sudah menyesal atas perbuatannya sepertiku, bukankah seharusnya kita saling memaafkan saat ini?"Kania menepis tangan Sheline
"Hallo? Bagaimana? Apa saya bisa bicara dengan Sheline?""Ya tentu saja, bisa."Sean segera menaruh gagang telepon di samping lalu memanggil Sheline, "Sheline ada telepon."Sheline mengangkat alisnya mendengar ucapan Sean, "Telepon? Siapa?""Namanya Erik."Sean mengerutkan keningnya dengan heran saat Sheline segera melonjak lalu mengambil alih telepon mereka dengan cepat. Alisnya terangkat dengan sempurna menyadari ada yang tidak beres dalam hal ini, entah kenapa ia merasa respon Sheline sungguh berlebihan."Aku mengerti, aku pasti menghubungimu."Entah apa yang mereka bicarakan, tapi Sheline terlihat ketakutan. Dia terus menatap ke arah Sean dengan gugup, seolah-olah cemas jika Sean mencuri dengar pembicaraan. Setelah beberapa detik mereka berbincang, Sheline kembali ke meja makan."Siapa? Kau mengenalnya?""Itu hanya teman sekolahku dulu."Sean mengangkat alisnya kembali, "Teman sekolah? Tapi kenapa dia sampai harus menghubungi telepon rumah kita? Apa kau ada urusan dengannya?""Ah
Sean tidak menyangka akan bertemu dengan Erik, orang yang menelepon Sheline kemarin. Entah kebetulan atau tidak, tapi ia merasa bahwa ada yang aneh dari pria itu. Erik terlihat sangat antusias saat bertemu dengannya. Apa pria itu sengaja menunggu dan berpura-pura menemuinya secara tidak sengaja?Sean menatap Erik dengan tatapan menyelidik, "Apa Anda kenal dekat dengan istri saya?" tanya Sean penasaran."Tentu saja kami sangat dekat, apa dia tidak pernah membahas saya sebagai temannya?""Sepertinya tidak, Sheline tidak pernah membahas apapun tentang Anda.""Ah sayang sekali, sepertinya hanya saya yang merasa begitu."Sean menilik arloji di tangannya, ia ingin sekali menanyakan banyak hal pada orang di hadapannya, tapi sepertinya tidak bisa sekarang."Maaf, tapi saya benar-benar sibuk hari ini.""Ah benar, saya malah menahan Anda disini begitu saja. Saya benar-benar merasa bersalah atas baju Anda,"Pria bernama Erik itu terlihat mengambil secarik kertas kecil dari saku bajunya, "Karena