Bingwen hampir tidak percaya dengan apa yang dia lihat, semua yabg sebelumnya tampak baik-baik saja itu kini telah porak poranda. Firasatnya selama ini benar, rasa tidak nyaman yang dia rasakan ketika bertemu pertama kali dengan putri Tuang Feng ternyata adalah ini. "Gila, jadi selama ini kita ngobrol dengan siluman?" Ming yang pertama kali mengatakan bawah Ouji Ni adalah gadis yang paling cantik, di antara banyak gadis yang dia temui. Mungkin saat ini Ming menyesali apa yang dia ucapkan dulu, semua itu terlihat jelas dari raut wajah Ming yang pucat pasih. "Kamu kenapa?" "Haa... Aku menarik kembali yang mengatakan bahwa dia gadis yang cantik," sahut Ming. Bingwen ingin saja terkekeh saat ini, tapi sayangnya situasinya tidak tepat . Dia harus membereskan siluman yang kini tengah memporak-porandakan tempat tersebut. "Gawat, Bingwen. Dia ke mari." Ming mundur beberapa langkah, dia tidak mempunyai senjata maupun kekuatan untuk melawan musuh mereka kali ini. "Mundu
"Sekarang apa yang harus kita lakukan?" tanya Ming yang bingung melihat mayat-mayat bergelimpangan. "Apa lagi? Ya tentu saja kita pergi dari sini. Untuk apa kita menetap di tempat yang sudah hancur ini," ucap Bingwen. Ming mengikuti langkah Bingwen, keduanya mengambil barang milik mereka pribadi sebelum akhirnya meninggalkan kediaman Tuan Feng yang kini tak ubahnya seperti tempat pemakaman umum. Penduduk sekitar yang mengetahui kejadian tersebut menatap takjub pada Bingwen, sebab pemuda itulah yang telah mengalahkan siluman mengerikan itu. Ketika Bingwen dan Ming hendak keluar dari pintu gerbang, seorang gadis berlari ke arah kediaman Tuan Feng. "Bingwen, dia asli?" Ming tidak ingin terkecoh untuk kesekian kalinya, dia tidak mau berasumsi kalau gadis itu adalah putri Tuan Feng yang asli.."Nona Ouji! Benarkan ini Nona?"Dayang yang bekerja di Tuan Feng, langsung menghampiri gadis itu. Sepertinya dia benar tahu bahwa gadis itu adalah putri Tuan Feng yang asli.."Di mana Ayah? Apa
Bingwen dan Ming berhasil mengelabuhi mata-mata yang dari tadi membututi keduanya, berkat ide yang dibisikkan Bingwen. Bingwen dan Ming sebelumnya merencanakan untuk berpisah di tengah jalan, demi mengecohkan mata-mata tersebut. Beruntunglah malam itu bulan tidak tampak di permukaan, sehingga rencana mereka berjalan dengan lancar. Sesuai apa yang Bingwen duga, mata-mata itu memang menargetkan dirinya. Buktinya ketika dia meminta Ming agar berjalan ke arah yang berlawanan dengannya dan Bingwen berpura-pura masih bersama dengan Ming. Sepanjang jalan itu memang Bingwen selalu mengajak Ming berbincang, padahal tentunya Ming tidak menjawab sama sekali. Itu artinya mata-mata yang mengikutinya ini bukanlah mata-mata yang handal, atau mereka bahkan tidak tahu jika Bingwen dan Ming tidak berada dalam satu tempat. Setelah berhasil mengecoh mata-mata tadi menuju arah yang seharusnya, Bingwen pun mencari keberadaan Ming. Kondisi Ming belum lah pulih sepenuhnya, jika saja hari ini tidak ada
Suara gelak tawa dua orang anak remaja mengudara di pegunungan siang itu, mereka menertawakan salah seorang temannya yang terkapar penuh luka. "Hahaha... Dasar payah! Begitu saja kamu tidak bisa melawanku." "Benar, dia itu lemah sekali. Aku bahkan tidak tahu kenapa Guru Bao mau mengangkatnya jadi murid," sahut temannya. "Bingwen, kenapa kamu tidak menyerah saja akan mimpimu itu. Dengan fisikmu yang lemah tersebut, kamu tidak akan bisa. Melawan kami saja kamu kewalahan. Jangan mimpi menjadi seorang swordmaster!" Anak itu bangun dengan susah payah, tubuhnya yang kurus kering dan ringkih itu berusaha untuk bangkit kembali. Namanya Bingwen, remaja berusia tiga belas tahun. Namun karena fisiknya yang kecil, dia terlihat seperti anak kecil berusia sembilan tahun. "Ni Lou, apa hakmu melarangku? Guru saja tidak menghalangi mimpiku. Guru selalu berpesan agar aku terus berlatih, kelak hasil latihanku akan terlihat," balas Bingwen.Sorot mata tajam Bingwen saat membalas ucapan Ni Lou dan Ni
Degup jantung Bingwen menggila, setelah dia mengetahui sesuatu yang menghampirinya adalah seekor harimau. Geraman dan sorot mata harimau itu begitu tajam, hingga Bingwen merasa kalau harimau tersebut tengah mengincarnya. "S--sialan... Kenapa harus ketemu dengan harimau itu sekarang? Ternyata rumor kalau ada harimau di pegunungan ini itu benar. Apa yang harus aku lakukan?" Bingwen memutar otaknya, dia tidak mau mati konyol diterkam harimau kelaparan yang sering kali memakan hewan ternak penduduk di lereng gunung. "Ayo berpikirlah, Bingwen. Gunakan otakmu jika tubuhmu tidak bisa diajak kerja sama!" Bingwen mengutuk dirinya sendiri. Biarpun Bingwen lemah, tapi dia memiliki otak yang cerdas. Dia lambat dalam melawan balik serangan Ni Lou, tapi dengan daya observasi yang Bingwen miliki dia berhasil mengelak dari serangan Ni Lou. Kalau saja Bingwen tidak pandai mengamati gerakan lawannya, mungkin sudah lama Bingwen mati di tangan Ni Lou. "Karena aku tidak bisa lari dan juga terlalu be
Bingwen berhasil berteduh di gua yang berada di dekat dia tadi jatuh. Gua itu tidak begitu besar dan tidak pula menyeramkan. "Semoga tidak ada hal buruk lagi. Izinkan aku istirahat demi memulihkan kondisiku," gumam Bingwen. Disekanya air hujan di wajahnya, karena luka cakaran harimau itu masih mengeluarkan darah. Bingwen merobek baju yang dia kenakan, untuk menutup luka tersebut. Jangan ditanya gimana rasanya, tentu sakit sekali. Namun Bingwen tidak bisa berbuat apapun selain menahan rasa sakit itu. Mungkin akibat kelelahan dan rasa sakit di sekujur tubuhnya, Bingwen pun terlelap begitu saja. Tanpa dia mengkhawatirkan akan adanya hewan buas lainnya. Malam makin larut, hujan di luar gua juga sekarang sudah berhenti. Meninggalkan dingin yang membuat tubuh Bingwen menggigil. Bingwen terbangun dari tidurnya, kondisinya masih belum begitu pulih. Akan tetapi jauh lebih baik dari pada sebelumnya. "Syukurlah ternyata gua ini jauh lebih aman dari pada tempat latihan." Bingwen mulai mengam
"Sebaiknya kita pulang sekarang, luka luarmu harus segara ditangani juga," ucap Guru Bao setelah dirinya selesai mengobati luka dalam Bingwen. "Terima kasih banyak, Guru. Berkat Guru kondisi saya jauh lebih baik sekarang.""Masih belum, kita harus menyembuhkan luka luarmu juga. Naiklah ke punggungku, kita pulang sekarang." "A--apa? Guru, saya tidak mau merepotkan Guru lagi. Pasti berat, lagi pula jalan pegunungan juga pasti licin sehabis hujan deras tadi," ujar Bingwen. Rasa malu dan bersalah saat itu menghantui dirinya, Bingwen bukan anak yang tidak tahu diri. Dia tidak ingin merepotkan gurunya lagi. "Sudah jangan banyak mikir, kamu harus segera mendapat pengobatan," sanggah Guru Bao. Butuh waktu beberapa saat, sampai akhirnya Bingwen mau mengikuti saran dari sang guru. "Saya pasti berat, Guru. Maafkan saya karena menyusahkan Guru," ucap Bingwen setelah dia berada di punggung gurunya. "Kamu kurus begini, berat dari mana. Coba kamu cek ulang apa ada barang yang ketinggalan," tit
Beberapa hari kemudian, Bingwen yang sudah hampir sembuh segera bersiap untuk mengunjungi gua waktu itu. Anak lelaki itu sibuk menyiapkan apa yang patut dia bawa, sesekali Bingwen bersenandung. Suasana hatinya sedang bagus hari ini. Pintu rumah terbuka dan Mei Lin muncul dengan raut wajah heran, "Kamu mau ke mana?" "Aku mau ke gua waktu itu." "Ngapain? Baru juga sembuh," ucap Mei Lin lalu dia duduk di kursi yang ada di sebelah Bingwen. "Ada hal yang mau aku periksa. Gimana kamu mau ikut?" tanya Bingwen. "Hm, boleh juga. Aku bosan, Ayah juga sibuk dengan serangakaian urusannya," keluh Mei Lin. Guru Bao memang sudah dua hari ini selalu pulang pergi ke pusat kota, saat ditanya Guru Bao selalu bilang kalau dirinya punya pekerjaan tambahan. Sedangkan sesi latihan dilakukan oleh murid senior yang ditunjuk sebagai pelatih sementara. Mei Lin yang terjebak diantara para murid Guru Bao yang kebanyakan laki-laki, hanya bisa memantau dari jauh. Mei Lin tidak diizinkan untuk berlatih belad