Stefan permisi dan masuk ke kamarnya. Selama mandi dan membersihkan tubuhnya, Stefan terus berpikir apa yang sedang terjadi saat ini? Apa semua yang baru dilihatnya adalah fakta dan kenyataan? Atau semua hanya ilusi semata? Entahlah.Dibasahinya sekujur tubuhnya dengan air. Dirasakannya dingin menusuk-nusuk wajahnya. Dipijatnya kepalanya dengan lembut. Sebisa mungkin sebuah sensasi yang nikmat dan menyegarkan diresapinya. Bagi sebagian orang, mandi merupakan salah satu terapi untuk menenangkan diri.Begitu selesai mandi dan hendak berpakaian, Stefan agak bergidik badannya, sebab teringat dengan sosok Erick yang tengah berada di ruang keluarga. Stefan menghembuskan napas panjang. Meskipun tidak akrab, Stefan mengenal siapa itu Erick?Tidak ingin dinilai lemah di hadapan istri, setelah berpakain rapi, Stefan menguatkan diri lalu melangkah ke ruang keluarga tanpa ada rasa merendah sedikit pun. Sebab status menantu dan ipar masih ada pada dirinya, jadi mana mungkin dia akan diam saja.“Hei
Stefan mengemasi semua pakaian-pakaiannya dalam sebuah tas besar. Semua penghargaannya yang berada di dalam lemari dimasukkan ke dalam dua buah karung. Sebelum pergi, dibersihkan dan dirapikannya kamar tidurnya.Stefan keluar kamar, lalu mendekati istri dan ibu mertuanya bermaksud berpamitan. Namun, ibu mertuanya malah tidak peduli dan Stefan sangat dipersilakan untuk angkat kaki dari rumah ini. Dilihatnya mata istrinya, mata yang layu, sarat akan makna tapi bibirnya tak mampu bicara.Jika pergi merupakan opsi terbaik, Stefan akan melakukannya. Meski begitu, dia belum melayangkan kata cerai terhadap istrinya karena masih berharap akan ada jalan terang lain. Stefan pergi dengan membawa hati yang hancur berkeping-keping.Dia berjanji pada dirinya sendiri akan melakukan balas dendam terhadap mertua dan iparnya. Saat ini memang dia tidak bisa berbuat apa-apa, tapi suatu saat nanti mertua dan iparnya akan bertekuk lutut di hadapannya, yakin akan terjadi.Stefan akhirnya memutuskan untuk me
“Aku tidak percaya!” Stefan tercengang.“Sumpah, demi Tuhan, aku tidak bohong.”“Kenapa kau tidak bekerja di sana ikut ayahmu?”“Selain tidak dibolehkan oleh ayahku, aku juga hanya berkeinginan bekerja di Indonesia.”“Ayahmu tinggal di Jakarta, kenapa kau malah tinggal di Palembang dan bekerja di sebuah perusahaan swasta kecil?”Grace memberikan tatapan cukup tajam. “Aku ingin cari pengalaman baru. Kenapa banyak orang mau merantau ke Jawa, terutama Jakarta? Anti-mainstream. Aku ingin mencari peruntungan di sini.”Stefan memainkan ponselnya. “Chat aku dan ayahmu belum kuhapus. Jika aku menawarkan diri kembali dengan membawa namamu, apakah ada kemungkinan aku akan diterima?”“Aku tidak bisa memastikan, Stefan. Tapi nanti akan aku coba bantu. Aku akan bilang pada ayahku kalau kau pantas untuk bekerja di sana. Jika diterima, bagaimana dengan urusan keluargamu?”Stefan menyandarkan punggungnya ke dinding. “Entahlah. Otakku rasanya mau pecah kalau memikirkan rumah tangga.”===>>>∆
Kos-kosan berwarna abu-abu ini berlantai dua dengan total ada dua puluh pintu. Kos Stefan berada paling ujung lantai dua sebelah kiri. Baru saja memarkirkan sepeda motornya, Stefan yang baru pulang narik malam ini mendapat singgungan dari dua pria penghuni kos.“Kay, gacor apa hari ini?” tutur Frans dengan nada yang dikena-kenakan, penuh dengan ejekan. “Kau lihat mukaku masam dan badanku bau seperti ini. Artinya, orderan sepi sudah pergi dari pagi pulang malam.”Kay dan Frans merupakan mahasiswa di Universitas Yellow. Kalau malam, mereka selalu duduk-duduk di depan kos sambil merokok dan bercerita.“Kos di sini lumayan elit dan cukup mahal. Kami semua mahasiswa lho. Kau tidak malu apa ojol sendirian yang ngekos di sini?” umpat Frans sambil terkekeh.“Kenapa harus malu? Hm, aku kan tidak punya malu.” Kay tergelak sampai tersipit-sipit matanya.Tahu kalau dirinya sedang ditertawakan, Stefan menahan napas lalu menaiki tangga dan tidak mempedulikan ocehan dua orang itu.Tapi, Kay melolong
Minggu pagi ini Stefan bermaksud berkunjung ke rumah Bobby. Dia sudah membeli buah-buahan seperi jeruk, apel, dan anggur untuk diberikan kepada orang di rumah. Bukannya disambut dengan suka cita, Stefan malah tidak begitu dipedulikan.“Lionny, aku punya sesuatu.” Stefan meletakkan dua kantong berisi buah itu di atas meja makan.Bobby yang baru saja habis dari berolahraga berbicara tepat menghadap wajah Stefan. Kumisnya tebal bergetar-getar mengiringi goyangan mulut dan lidahnya. Ada seringai di wajah kerasnya.“Aku dipaksa oleh ayahku untuk tetap mempekerjakanmu, Menantu Sampah! Ingat! Keputusan ini bukan dari kemauanku pribadi, tapi perintah langsung dari Kakek Sanjaya. Jika sekali lagi kau melakukan kesalahan fatal, habis riwayatmu di perusahaan maupun di rumah ini.”Chyntia Dewi yang juga habis dari berolahraga ikut mencibir, ujung alisnya beradu. “Kau tidak perlu tinggal di sini. Kau bikin malu saja. Sakit kuping kami mendengar cemoohan tetangga tentang dirimu yang menyedihkan itu.
Parahnya, seorang OB pun berani memberikan perintah kepada Stefan.Tok! Tok!“Stefan, rekanku tidak masuk karena sakit. Jadi seluruh ruangan di lantai satu dan dua kau yang handle. Sementara aku akan bersih-bersih di lantai tiga saja,” perintah Purwanto.Stefan yang baru saja tiba di kantor pagi ini terkinjat mendengar perintah tersebut. Dia mendekati si OB lalu berujar, “Kau tahu kalau aku seorang programmer di sini.”“Aku sudah dapat perintah dari bos. Kalau butuh sesuatu, silakan meminta bantuan pada Stefan.”Stefan teringat omongan Bobby bahwa dia tidak boleh ada masalah apapun dengan karyawan kantor. Makanya dia tidak bisa mengelak meskipun hatinya menolak untuk melaksanakan tugas dari si OB. Sangat tidak make sense seorang programmer diperintah oleh OB.Purwanto melempar sapu dan alat mengepel ke ruang kerja Stefan, lalu langsung naik ke atas melalui anak-anak tangga. Stefan tak berkutik, jika dia protes keras, pasti Purwanto akan memberikan laporan kepada Bobby.Stefan pun meny
Dari sore hingga malam ini Stefan stay menunggu orderan di tempat biasa, menemani John yang seperti sudah merasa kehilangan seorang teman, padahal baru ditinggal dua tiga hari.“Aku ingin mengumpulkan uang, terus beli laptop," kata John penuh harap.“Kau sekarang kan sudah cukup tahu soal dunia IT. Manfaatkan ilmu kau itu, John.”“Banyak pekerjaan freelance di internet. Lagipula, aku sudah mulai bosan kerja di atas aspal. Kalau bisa aku ingin kerja di depan laptop saja.”“Semangat, Kawan. Beli laptop yang speknya bagus. Biar tidak gonta-ganti lagi.”“Siap!” Tiba-tiba John mengerutkan kening sembari mengusap dagunya. John melemparkan sebuah pertanyaan yang cukup menarik. “Kau kan pintar IT. Seharusnya kau sudah kaya raya, Stef.”Sebelumnya John sudah pernah melempar pertanyaan seperti itu kepada Stefan, atau mungkin jawaban waktu itu belum memuaskan hati John sehingga harus mengulanginya kembali.“Kau harus ingat, John. Aku tidak ingin mencari uang dengan cara kotor. Jika mau, tentu sek
Untuk memastikan kebenaran Stefan, Alifha menemui Grace di rumahnya sepulang dari bekerja, menanyakan problem yang sebenarnya. Apa yang disampaikan oleh Grace sama dengan apa yang disampaikan oleh Stefan. Jadi jelas sudah bahwa mereka tidak mungkin berselingkuh.“Bagaimana Stefan di kantor? Silakan diminum” tanya Grace yang barus saja menaruh dua cangkir teh hangat di atas meja.“Terima kasih, Grace,” tutur Alifha sambil memperbaiki posisi duduknya. Setelah mengeluarkan napas kasar, barulah Alifha menjawab, “Dia diperlakukan tidak pantas oleh banyak karyawan di sana. Aku dengar, Pak Bobby sengaja menyuruh karyawan agar berlaku demikian terhadap Stefan.”“Daripada dijadikan pesuruh dan diejek, mending dia keluar saja dari sana.”“Aku dengar, dia ingin buktikan kepada Pak Bobby kalau dia itu bisa bekerja dengan baik.”“Itu menurut pola pikir dia pribadi, tapi coba lihat keadaan yang sebenarnya. Jujur aku kasihan sama dia. Aku sudah bilang pada ayahku supaya mengusahakan Stefan bisa dite