Tiara menutup matanya dalam keheningan, berpikir andai saat ini bukan dirinya yang ada di samping Farhan, tapi wanita lain yang akan menemani sang suami sebagai istri. sanggupkah ia? Tiara tidak bisa menutup mata, rasa cinta pada sang suami itu masih sangat besar, meski dia juga tidak yakin sang suami menyimpan rasa cinta sebesar dirinya, bukatinya Farhan tidak pernah puas dengan hanya bersamanya dan anak-anak yang dia lahirkan,obsesinya membuatnya gelap mata dan melakukan hal yang melukainya. Itu suatu kenyataan yang tidak bisa dia hindari. Tiara bukannya tak berusaha untuk hamil lagi setelah kelahiran Araz. Apapaun yang disarankan dokter telah dia lakukan, berbagai makanan dan minuman, hingga apa yang harus mereka lakukan saat berhubungan sudah mereka lakukan, tapi ternyata Tuhan berkehendak lain, Farhan memang akhirnya memiliki anak perempuan dari wanita lain yang dia nikahi. Tiara tak tahu apa yang lebih membuatnya kecewa, Farhan mempunyai anak dengan wanita lain, atau Farhan y
Tiara menghembuskan napas panjang dan menatap sang suami dengan tajam, dia bisa melihat Farhan yang menatapnya dalam kebingungan dan juga... amarah. “Apa maksudmu?” tanyanya bingung. Tiara menarik napas dengan berat. “Mas tahu bukan kalau dia anak orang kaya yang memiliki yayasan tempatku mengajar, juga beberapa kampus dan bimbingan belajar, aku tidak tahu pasti berapa jumlah kekayaannya, tapi dengan aset sebesar itu, bisa disimpulkan dia bukan orang selevel kita.” Farhan terdiam, masih menunggu apa yang akan dikatakan sang istri lagi, wajah marahnya sekarang sudah berganti wajah bingung yang membuat Tiara gemas ingin mencubitnya. “Dengan latar belakang sebagus itu dan juga wajah setampan itu, apa mas pikir dia akan mau dengan wanita beranak dua sepertiku, kalaupun mau keluarganya juga pasti pilih-pilih untuk orang yang akan masuk dalam circle keluarga mereka, yang ujung-ujungnya aku akan jadi simpanan... ogah banget kalau
Farhan keluar dari ruang meeting dengan tampang kusut. Dia sama sekali tidak paham dengan apa yang dia mau para direkture itu, gambar desain yang telah dibuat teamnya beberapa hari yang lalu dan telah disetujui oleh semua orang, sekarang minta direvisi lagi, dan tidak tanggung-tanggung revisi yang dilakukan hampir delapan puluh persen dari yang telah dia buat, apalagi dia juga memagang proyek lain yang mendesak untuk dilaksanakan. Sudah pasti tidak ada jalan lain kecuali dia harus lembur sampai malam, bukan masalah sebenarnya jika saja di dalam kehidupan pribadinya dia tidak sedang menghadapi masalah yang pelik juga. Tiara memang selama ini selalu mengerti dirinya, membantunya untuk bangkit saat dia dalam titik terendah, akan tetapi dengan bodohnya dia telah bermain-main dengan kepercayaan itu, dan sekarang dia tidak yakin kalau TIara akan kembali mendukungnya seperti dulu. "Pak ada tamu untuk bapak." Farhan langsung menghentikan langkah saat sekretarisnya menyambut dengan sikap
“Saya juga dulu bingung dengan orang tuanya, apa mereka sama sekali tidak memikirkan anaknya?” Tiara hanya menggelengkan kepalanya, berusaha konsentrasi penuh pada kertas ulangan di tangannya, bukan hal baru lagi jika sesama rekan gurunya mengeluh tentang satu dua orang siswanya yang memang bermasalah. “Ayahnya jarang di rumah, ibunya juga begitu, saya jadi bingung kalau dihubungi selslu bilang sibuk,” keluh guru yang lain. “Lho ibu tidak tahu orang tuanya memang sudah berpisah dan Dion tinggal bersama pembantunya saja,” kata guru yang sedikit tambun. “Lho masak, bu, tapi di data siswa mereka masih suami istri.” “Saya tidak tahu kalau tentang itu, tahun lalu saat Dion juga sering bermasalah saya mendatani rumahnya langsung dan dia hanya bersama pembantu paruh baya di rumah, Dion ikut mamanya, tapi mamanya sibuk kerja, dan papanya sudah menikah lagi dan sudah punya keluarga baru” Kali ini Tiara langsung mengangkat kepalanya
Tiara mengernyitkan keningnya saat melihat panggilan video call dari Farhan. “Tumben video call,” gumam Tiara, dia menatap punggung Ilham yang sudah hilang ditelan pintu ruangan, dan menghela napas menormalkan wajahnya sebelum mengangkat panggilan dari sang suami. “Ya, Mas. ada apa?” tanyanya setelah mengucapkan salam yang dibalas Farhan dengan senyum tipis. Tiara menatap wajah farhan di layar yang terlihat lelah dan menyimpan kekesalan meski berusaha dsembunyikan dengan baik, tapi hidup bersama selama sepuluh tahun membuat Tiara tahu dengan jelas suasana hati suaminya. Dia jadi bertanya-tanya apa itu juga yang Farhan rasakan saat dia berusaha menyembunyikan ketegangannya barusan?“Ehm hanya ingin bilang saja, kalau aku nanti lembur sampai malam, banyak pekerjaan yang harus aku lakukan.” Tiara mengangguk, meski benaknya bertanya-tanya, tidak biasanya suaminya ini video call hanya untk bilang seperti itu, biasanya hanya cukup kirim pesan saja. “Apa kamu tidak akan curiga?” tanya F
Kalau saja pandangan dapat membunuh orang, mungkin sekarang Tiara sudah menggelepar karena pandangan menusuk dari Karin. Tiara sampai terheran-heran melihatnya, kenapa wanita ini bisa muncul tiba-tiba seperti jelangkung saja. akan tetapi karena ini tempat umum tentu saja Tiara sama sekali tidak bisa protes, dia hanya menyayangkan takdir Tuhan yang sering mempertemukan mereka secara tak sengaja.“Munafik sekali kalian!” Fariz langsung menoleh dan matanya membulat saat tahu siapa yang ada di depannya, tapi ekspresi itu langsung sirna tertutup kesinisan yang tanpa perlu repot-repot dia tutupi.“kita masuk mbak aku sudah lapar,” kata Fariz tak peduli. Terdengar bunyi klik klik saat Tiara mengikuti langkah Fariz dengan tangan kanannya digandeng, lebih tepatnya diseret untuk segera pergi dari sana. terlihat sekali kalau Fariz sama sekali tidak ingin ada di dekat Karin. Tiara langsung meringis tapi bukan karena lengannya yang sakit karena di tarik Fariz, tapi lebih karena tak habis pikir
“Ibu Araz, ini Araz kok belum dijemput apa mbaknya sedang libur?” Tiara yang barus saja selesai mengajar mengerutkan kening saat melihat pesan dari guru Araz yang dikirim sepuluh menit yang lalu, berarti sudah tiga puluh menit dari jam pulang sekolah Araz? Apa mbak Sri sudah menjemputnya?Dengan rasa khawatir yang membuncah Tiara meletakkan begitu saja buu yang dia bawa dan mencari nomer telepon pengasuh anaknya itu. Mbak Sri setahunya tidak pernah telat menjemput Araz, jikapun tidak bisa menjemput Araz dia pasti akan bilang pada Tiara. Tiara mendesah kesal saat ternyata nomer mbak Sri tidak aktif. Tiara mengecek paket datanya, siapa tahu habis, bisa saja bukan hal seperti ini terjadi, tapi ternyata tidak. Dicobanya untuk mengirim pesan, tapi hanya centang satu. Cemas karena ponsel mbak Sri mati, Tiara memutuskan untuk menelepon guru Araz. “Apa Araz sudah dijemput, Bu?” tanya Tiara. “Kok mbak belum jemput
Tiara meneruskan pesan yang dia dapatkan pada Farhan. Tiara punya dugaan kuat siapa yang melakukan semua ini, tapi dia tidak punya bukti. Entah bagaimana tanggapan Farhan nanti, yang jelas dia begitu ketakutan. Masih teringat jelas olehnya kata-kata Ilham yang menawarkan bantuan, akan tetapi membuatnya ngeri jika sampai hal itu terjadi, nyatanya dia memang ebrhadapan dengan orang yang sama. Andai saja bisa memilih Tiara tidak ingin berhadapan dengan orang-orang seperti mereka, tapi Farhan telah menyeretnya masuk ke dalam lingkaran itu, Ditatapnya Alena yang masih terisak pelan sedikit dibuainya agar anak itu tenang. Jika memang ingin mengancamnya kenapa melalui Alena yang katanya adaah anak kandungnya, sebenarnya dia ibu macam apa. orang bilang harimau saja tidak akan memakan anaknya, nyatanya sekarang dia berhadapan dengan manusia yang lebih kejam dari harimau. Pesan yang dia kirim belum juga dibaca oleh Farhan. “Kita pulang dulu, Mbak. Nggak enak terlalu lama di sini,” Tiara t