Akal sehat Leah luruh oleh gelombang pasang yang seketika muncul memorak-porandakan isi kepalanya. Erangan garau tersebut langsung meluncur lewat bibir seksi sang wanita. Dia baru saja menjemput orgasme kedua yang datang menyapu tubuhnya.
Sepasang tungkai Leah mengejang ke atas bersama geliat acak yang mengacaukan seluruh sistem pernapasannya. Pergulatan panas itu pun kembali berlanjut sesaat setelah Marco menarik pinggangnya—mendudukkan wanita bermata cokelat yang masih gemetar tersebut ke dalam pangkuan, lantas memacu ritme yang sama. Lagi dan lagi.Punggung Leah terguncang hebat. Dia mendesah jauh lebih keras dari sebelumnya, sementara Marco yang bergerak kelewat liar itu tetap bertahan pada ambisi untuk meraih sesuatu yang akan segera hadir melalui penyatuan mereka. Detik berikutnya, terjangan yang luar biasa sontak tercurah penuh di ujung karet pelindung.Marco menggerung, kemudian menggeram tertahan atas aksi panjang yang membuat segenap tenaganya habis dihantam sensasi puas. Dia mendorong Leah dari posisi semula dan mengistirahatkan staminanya yang hanya tinggal separuh. Itu seks yang dahsyat, pikirnya.Selepas menjadi stabil dan siap untuk petualangan selanjutnya, Marco memerintahkan Leah agar mengambil pengaman baru dari balik laci. Dia menunggu wanita itu mengoyak foil, lantas memasangkannya di area yang basah oleh sisa pergumulan mereka. Puncak itu masih setangguh juga setegang sesi pertama.Bukti bahwa Marco punya performa yang fantastis seperti pesonanya. Dibekali sejuta daya pikat. Dingin, tetapi terkenal sebagai bajingan yang rupawan. Leah bertaruh siapa pun yang menjadi partner ranjang pria itu berikutnya akan kewalahan dan takluk tanpa harus berpikir dua kali.“Apa kau masih sanggup melakukannya?” desis Leah yang baru selesai melekatkan benda berbahan lateks tersebut di antara kedua paha Marco.“Kau meragukanku, hm?”“Bu-bukan—”“Kemarilah, berbaring di sampingku.”Leah mengangguk—mematuhi pinta Marco, merebahkan dirinya persis di sebelah pria itu dengan semua gentar yang betah menetap. Mereka kembali mengarungi rasa yang siap mengantarnya menuju ke persepsi tiada akhir. Sesuatu yang akan membuat Leah lebur dalam ruang tanpa batas di benaknya.Marco lagi-lagi mengayunkan pinggulnya dengan tempo yang pas. Memompa dan menghancurkan pusat tubuh Leah yang kian lama kian licin oleh aktivitas mereka. Tautan dalam gaya spooning itu membuat lebih banyak desahan mengudara.Kayuhan Marco menguat—laju dan laju, menghantam celah paling pribadi milik Leah. Leher wanita itu refleks menjenjang setelah Marco menambah intensitas gempuran. Dia pun serta-merta melenguh oleh gelitik yang mencengkeram rapat di bagian intinya.“Aku tidak tahan lagi,” bisik Leah yang sorot matanya membuang ke segala arah.Ombak itu kembali datang menyerbu tubuh mereka. Leah otomatis menggelepar di bawah kendali Marco yang ikut hancur dengannya. Untuk sejenak, dunia terasa lain bagi dua insan yang sedang larut dalam kenikmatan yang mereka reguk bersama. Obrolan basa-basi menjadi penutup sebelum Marco tertidur selepas menyalurkan seluruh energinya. Dia lelap di seperempat malam tanpa menyadari rencana licik Leah yang terbit untuk mengambil salah satu barang pria itu. Kalung warisan dengan liontin berbentuk naga yang akan mengeluarkan pendar setiap kali diterpa cahaya.Marco meletakkan aksesori tersebut di atas nakas—membiarkannya tergeletak di sana, mengundang hasrat Leah untuk menyimpan sesuatu yang bukan miliknya. Dia akan dapat uang yang besar dari hasil penjualan. Cukup banyak demi tambahan koleksinya di lemari.Konyol, tetapi kelancangan membuat Leah memutuskan untuk berhenti peduli. Persetan dengan Marco yang akan marah atau risiko tertangkap basah atas aksi nekatnya, toh pria itu juga kaya. Jadi, apa salahnya mencuri sedikit receh dari sang taipan asing?Leah kemudian menuruni ranjang dengan hati-hati—berusaha meminimalisir suara, enggan menciptakan gerakan ceroboh yang akan membuat Marco menyudahi mimpinya. Dia berjingkat ke tujuan—menyambar kalung, lantas mengantonginya tanpa ragu. Wanita itu pun bergegas mengenakan kembali semua pakaiannya dan keluar melalui jendela.Jam-jam berlalu. Marco mendadak terbangun oleh jerit alarm yang menyala dari telepon selulernya. Dia membuka mata dan hanya menemukan kekosongan yang menari di setiap sudut—tanpa sosok Leah di mana pun, pemandangan terjanggal yang menyapa fajarnya kala itu.“Di mana dia?” gumam Marco sambil mengusap-usap wajahnya.Pandangan Marco mengedar ke sekeliling. Dia lagi-lagi mencari figur cantik yang sudah menghabiskan waktu bersamanya itu di sejumlah lokasi lain, tetapi Leah memang tiada di sana. Kehampaan menyeruak turun dan menyentak pikirannya.“Berengsek! Apa dia kabur?”Marco meraup kemeja yang tergantung di dekat sofa, lantas menyampirkannya ke pundak. Dia mengecek benda yang semula ditaruh di atas nakas. Namun, barang berharganya itu telah raib dan memancing emosinya untuk pecah dalam sekejap.Marco sontak berteriak memanggil nama bawahannya satu-persatu yang masih berjaga di depan pintu. Kedua pundaknya bergetar menahan amarah yang seketika naik menggulung dirinya. Dia bersumpah akan menangkap Leah yang kurang ajar itu untuk dilelang pada para Syekh di Syria.“A-ada apa, Tuan Botticelli?” tanya salah satu dari mereka yang memakai topi fedora dengan terbata-bata.Marco spontan melayangkan tatapan tajamnya dan menghardik mereka dengan sederet kalimat kasar. Dia mencela kinerja buruk mereka sampai-sampai membuat seorang wanita biasa seperti Leah mampu melarikan diri tanpa jejak. Pria itu kembali meluapkan amukan yang menjejali dadanya.“Dasar tidak becus! Kalian bodoh!” umpatnya lagi.“Ka-kami tidak melihat sesuatu yang aneh, Tuan Botticelli. Kami selalu berjaga sepanjang malam.”Sorot mata Marco langsung terkunci pada pria yang baru saja menyahuti makiannya. Dia maju—menarik kerah jas hingga tubuh yang hanya punya ukuran tinggi rata-rata itu sedikit terangkat dari tempatnya berpijak, kemudian membalas, “Dia lenyap bersama kalung warisanku dan kau masih berani menjawab bahwa kau tidak melihat sesuatu yang ganjil?”“Ma-maafkan saya.”Marco langsung menyipitkan mata dan melepaskan genggamannya dengan cara mendorong. Pria itu pun serta-merta terhuyung ke belakang—menabrak vas hias, sebelum jatuh menimpa pria lain yang tengah berdiri sambil menundukkan kepala. Mereka hanya diam sebab menutup mulut merupakan satu-satunya metode paling tepat untuk menghadapi badai dalam diri sang pimpinan.Mereka sudah terbiasa dengan sifat temperamen Marco. Dia adalah penguasa dan pendominasi—semua penduduk di Puglia juga tahu itu, seolah-olah menindas memang menjadi takdir yang digariskan sejak lama untuknya. Darah campuran Italia-Meksiko mengalir di setiap nadinya—menyumbangkan segenap daya tarik yang sulit terbantahkan dari balik otot-otot liatnya yang menawan.“Carilah jalang itu sekarang dan seret dia ke hadapanku dalam keadaan hidup atau mati!” sembur Marco tanpa mengalihkan pandangan dari wajah-wajah takut mereka.Itu perintah yang hukumnya mutlak untuk dipenuhi. Mereka harus berhasil atau Marco akan menghukum mereka tanpa ampun. Entah bagaimana, tetapi yang dia inginkan hanya barang tersebut dapat kembali secara utuh ke tangannya lagi.***“Kembaliannya, Nona Alighieri.”“Terima kasih, Nyonya Moretti.”Rosetta menyunggingkan senyumnya sesaat sebelum menerima beberapa lembar pecahan euro dari si kasir dan memasukkannya ke dalam dompet. Dia beranjak ke samping—membiarkan pengunjung selanjutnya maju, lantas bergegas melangkah keluar. Wanita itu menenteng tiga kantong belanjaan yang berisi stok bahan makanan untuk dua minggu berikutnya. Senandung lagu lawas pun mengalun dari mulut Rosetta di perjalanan pulang. Dia mendendangkan nyanyian salah satu grup musik favoritnya dan mengambil rute melalui jalan pintas. Sesuatu yang biasa wanita itu lakukan untuk membunuh rasa takut di antara minimnya pencahayaan pada gang sempit yang akan dia lalui.Rosetta melenggang tanpa memedulikan suasana yang kian lama kian redup di sekitarnya. Situasi temaram itu menyambutnya di tengah-tengah lorong dan membuat Rosetta berhenti sejenak untuk mendongakkan kepala—menatap langit, kemudian
Kalimat terakhir spontan membuat tenggorokan Rosetta tercekat. Menjadi pelacurnya sekali lagi katanya? Dia sama sekali bukan jalang yang suka menjajakan diri di luar sana—menawarkan tarif fantastis untuk kencan satu malam, lantas menikmati gelimang dosa sekaligus nikmat pada waktu yang sama.“Aku bukan pelacur!” tampik Rosetta yang kemudian tersedak oleh isak tangisnya sendiri.“Sampai kapan kau ingin memainkan peran sok sucimu di hadapanku?”“Percayalah padaku, kumohon. Aku hanya seorang pengasuh. Aku tidak pernah menjual diri pada siapa pun,” sanggahnya lagi.“Apa yang kau maksud ‘pengasuh di atas ranjang’?”“A-apa?”Kekehan pendek Marco kembali terdengar menyelingi air mata yang turun di kedua pipi Rosetta. Pria itu merengkuh rahang Rosetta yang bersimpuh dalam ketidakberdayaannya, lantas memindai garis wajah cantik tersebut dengan tatapan penuh emosi. Sorot mata dendam—perasaan yang kini mengalir
“Apa yang terjadi? Wanita yang bersamaku semalam bukan perawan. Itukah sebabnya dia melawanku mati-matian tadi?” gumam Marco di antara isak tangis Rosetta.Marco kembali menengok ke arah wanita yang sedang bergelung rapat menutupi tubuh polosnya dengan ujung seprai tersebut. Tatapannya kemudian tertuju pada bercak darah yang mengering di dekat pinggul Rosetta. Tanda yang meninggalkan sisa dari pergumulan panas mereka.“Apa dia orang yang berbeda?”Marco mendengus gusar, lantas menyambar kemeja miliknya di pinggir ranjang dan mengenakan pakaian itu tanpa memedulikan bagian yang kusut di sejumlah area. Dia keluar sambil menenteng gesper—mengedarkan pandang ke sekeliling—mencari para bawahannya yang biasa berjaga di beberapa titik tertentu.“Giuseppe! Matteo!” panggil Marco pada mereka.Seseorang yang bernama Giuseppe itu kemudian menghampiri Marco dengan segera. Dia menjatuhkan puntung yang tinggal separuh tersebut
“Apa maksudmu?”“Maksudku adalah aku menginginkanmu.”Rosetta mendadak membeku di bawah tatapan Marco yang memindai wajahnya dengan kerlingan penuh hasrat. Aksi yang sukses membuat punggungnya kembali gemetar tanpa sanggup dia kendalikan lagi. ‘Apa-apaan itu? Menginginkanku?’ batinnya.“Apa kau sadar dengan ucapanmu?”“Tentu saja, Rosetta.”Rosetta. Ada sesuatu yang membuat Marco mendadak menyukai cara lidahnya menggeliat mengeja nama itu di langit-langit mulutnya. Sesuatu yang membuat degup jantung pria itu bekerja lebih cepat. Sesuatu yang menciptakan sensasi asing lain di dadanya.“Menginginkanku sebagai budak seksualmu? Kau orang yang sangat menjijikkan!”“Budak seksual? Aku hanya ingin menyanderamu sampai wanita kurang ajar itu muncul di depanku.”“Apa hubunganku dengan pencuri itu? Mengapa aku harus menjadi tawanan karenanya?”Marco menyipitkan mata—men
“Aku harus pergi dari Puglia secepatnya sebelum orang-orang Tuan Botticelli menangkapku,” gumam Caritta sambil mengemasi barang-barangnya ke dalam koper.“Aku akan menjual kalung curiannya ke Tuan Salvoni nanti malam. Uang itu akan kupakai untuk pulang ke Magnolia Springs,” celotehnya lagi.Telepon seluler milik Caritta yang ada di atas ranjang mendadak berdering dan membuat pekerjaannya terhenti untuk sementara. Dia meraup benda elektronik keluaran terbaru itu dengan penuh semangat. Bukti bahwa suasana hatinya sedang baik.“Nyonya Carfagna?”“Leah? Sayang? Di mana kau?” sapa sang wanita dengan dialek selatannya itu. “Aku ada di Hotel Firenze. Aku akan kembali ke kota kelahiranku lusa. Ada apa?” sahut Caritta yang kemudian mengempaskan pantatnya ke kursi lincak—bangku panjang yang terbuat dari bahan bambu dengan susunan bilah berongga pada bagian sandaran—di dekat jendela.“Aku membawa berita yang
“Terima kasih,” ucap Rosetta pada seorang pelayan yang baru saja mengantarkan senampan penuh sajian khas kawasan utara tersebut untuknya.Remaja tanggung itu langsung meletakkan semuanya di atas meja yang ada di samping ranjang. Dia bekerja dengan cekatan, tetapi hati-hati. Rambut pendeknya disisir rapi—memakai bando warna abu-abu yang selaras dengan corak pada seragam ala maid yang sedang dia kenakan—dalam potongan sebahu.Kepala pelayan muda itu hanya mengangguk pada Rosetta tanpa menyahut atau terlihat ingin mengucapkan basa-basi pagi pada majikan barunya. Dia mundur beberapa langkah sebelum Rosetta sempat mengintip menu yang tersedia di sana. Senyumnya yang samar terbit dan lagi-lagi mengangguk dengan sopan.“Tung-tunggu, Nona—um, Nona Sanzio?” tahan Rosetta sambil membaca tanda pengenal yang tersemat di dada sebelah kiri si pelayan. “Aku ingin menanyakan sesuatu padamu.”“Tinggallah sebentar,” pintanya lagi.
“Masuklah. Tuan Pacciardi sedang menunggu Anda,” sapa seorang penjaga yang baru saja mempersilakan Caritta masuk ke dalam kawasan megah hunian milik keluarga politisi itu.“Terima kasih,” sahut Caritta sambil menganggukkan kepala, lantas melenggang dengan rasa gugup hebat yang memadati dadanya.Area itu sangat luas dan dilengkapi dengan material elite yang fantastis di setiap sudutnya. Sesuatu yang akan membuat siapa saja berdecak kagum pada pencapaian luar biasa yang sang senator hasilkan hanya dalam kurun waktu yang singkat. Sesuatu yang juga mampu membuat Caritta terperangah takjub dengan keadaan di sekelilingnya.“Apa Anda yang bernama Leah?” tegur seseorang yang lain. “Eh? Aku—um, ya, aku Leah.”Pelayan wanita yang berkucir kuda itu melemparkan senyum sesaat sebelum melanjutkan, “Mari, saya antarkan ke sana.”Caritta lagi-lagi mengangguk tanpa mengedipkan mata—memandang lekat-lekat pada penampi
“Maaf tentang tadi. Aku memang suka bercanda.”Pria misterius itu kemudian menyunggingkan senyumnya yang menawan dan menuangkan teh bunga krisan lewat teko jenis kaca tersebut ke dalam cawan milik Rosetta. Aroma khusus seketika menguar mengundang rasa ingin tahunya terbit untuk mencicipi minuman. Dia pun mengintip di antara kepulan asap yang meliuk tanpa henti.“Apa kau pernah mencoba teh khas Cina sebelumnya?” sambungnya lagi.“Belum,” gumam Rosetta yang balas memandang ke arah pria di hadapannya dengan sorot mata kagum.“Cobalah sekarang. Kau akan terkejut dengan cita rasanya yang sangat lain.”Rosetta menurut—mengangkat wadah yang terbuat dari bahan keramik tersebut ke mulutnya, lantas menyesap dengan hati-hati. Sensasi baru itu serta-merta melapisi seluruh indra pengecapnya dan membuat dia takjub pada sensasi yang ditawarkan. Ringan, tetapi manis.“Bagaimana menurutmu?”“Enak.”