Derap langkah kaki Anna terdengar menggema di lobi sebuah kantor. Tubuh tinggi dan kaki jenjangnya membuat lorong tersebut terasa lebih dekat, padahal untuk ukuran tinggi rata-rata, lorong tersebut cukup panjang.
Berkali-kali Anna mendesahkan nafas panjang untuk mengatasi degup jantungnya yang semakin tidak beraturan. Begitu dia sampai di meja sekretaris, Anna dengan segera menetralkan perasaan tidak tenangnya.
"Ada yang bisa saya bantu? " Tanya si sekertaris dengan sopan.
"Saya ingin bertemu dengan atasan anda. " Jawab Anna dengan sopan namun enggan untuk menyebutkan namanya.
"Apa anda sudah membuat janji? "
"Tidak. Tapi aku harap bisa bertemu dengannya sekarang. " Anna tersenyum ra
Dara tersenyum miris setiap malam dia harus melihat daddy nya pulang dalam keadaan mabuk parah. Dareen benar-benar kacau pasca Anna mengembalikan kalung yang pernah dia berikan saat melamar perempuan itu dulu.Kondisi Dara yang semakin hari semakin menurun, membuatnya kehilangan akal dan selalu berakhir dengan minuman. Terkadang Dareen akan mengamuk dan meracau tidak jelas melampiaskan segala hal yang menjadi beban hidupnya."Dad. " Panggil Dara pelan dengan sedikit ketakutan. Saat ini Dareen tengah tertawa dan membanting berkas-berkas yang ada di atas meja kerjanya."Kenapa semuanya jadi begini, argghh. " Dareen mengacak rambutnya frustasi."Kau brengsek, Dareen Tucker !!!. Kau pantas mati!!!. " Teriakan Dareen membuat tubuh Dara bergetar."Ti-tidak dad, daddy tidak boleh mati. " Isak Dara. "Dara yang salah. " Dara meremas ujung piyamanya."Kau benar! Semuanya salahmu. Seharusnya
Esa berangkat dengan gusar, pasalnya ibunya sejak semalam belum pulang. Padahal dia bilang hanya sebentar, tapi hingga pagi menjelang pun dia tak kunjung datang. Ponselnya juga tidak bisa dihubungi sama sekali.Jesfer baru saja tiba di kediaman keluarga Anna, seperti biasa dia akan mengantar Esa ke sekolah."Ada apa dengan wajah tampan mu prince? " Tanya Jesfer begitu menyadari Esa yang sejak masuk mobil terus melamun."Tidak apa paman. Aku hanya sedikit lelah. " Esa tersenyum kaku kearah Jesfer."Kau begadang lagi? " Tanyanya yang masih fokus pada jalanan. "Mamamu memang pergi kemana? Tadi dini hari dia memintaku untuk mengantarmu. Tapi sekarang ponselnya malah mati. "Esa mendesah pelan. "Mama sedang menemui temannya yang sakit. ""Teman? " Ulang Jesfer."Ya, temannya dulu sebelum mama pindah ke Jepang. "Jesfer mengangguk. "Pasti keadaan temannya cukup parah. Sampai-sampai Anna harus pergi dini hari. ""Ya, d
Suasana ruang operasi sangat tegang. Sejak operasi dimulai dua jam yang lalu. Semua orang di sana tidak ada yang bersuara. Hanya ada raut wajah khawatir dan isak tangis yang sesekali terdengar.Anna dan Wenda tidak ada di sana karena kondisi mereka yang kurang stabil. Saat ini hanya ada Dareen, Wendy, Jesfer, Edwin dan juga Jenny. Ya Jenny, dia baru saja datang sepulang sekolah, tepat saat Esa dan Dara masuk ke ruang operasi.Raiden dan Hana bertugas menemani Anna dan Wenda. Saat ini mereka berdua benar-benar butuh pengawasan.Jesfer memandang orang-orang di sekitarnya, terutama Dareen. Sejak kecelakaan terjadi, fakta bahwa Dareen adalah ayah kandung Esa baru dia ketahui setelah Esa dan Dara masuk ruang operasi.Sejenak dia memikirkan kenyataan bahwa tadi Anna dan Dareen datang bersama ke rumah sakit. Jesfer teringat dengan uca
Anna menatap sendu batu nisan yang ada di hadapannya. Terlihat jejak air mata masih tertinggal di pipinya. Jesfer yang sudah satu jam menemaninya hanya bisa mendesah pelan. Dia sangat mengerti jika saat ini Anna masih berduka. Meski orang-orang telah lebih dulu pergi meninggalkan area pemakaman, Anna enggan selangkah pun pergi dari pemakaman tersebut."Jes, apa yang harus aku lakukan? " Lirih Anna dengan tatapan yang masih fokus pada gundukan tanah yang masih basah tersebut."Kau harus kuat Na, jangan sampai pengorbanannya sia-sia. " Jesfer mengelus punggung Anna."Kau bisa istirahat dengan tenang sekarang sayang. Tidak akan ada lagi yang mengusik mu, atau pun menyakitimu. " Anna tersenyum samar. "Terima kasih nak, terima kasih banyak telah hadir ke dunia ini. Tidak peduli seberapa buruk orang memandangmu, tidak peduli meski kau tidak diakui, kau tetap kebanggaan untuk orang tuamu. " Anna menghapus air mata yang kembali jatuh di atas pipinya."Kau di besa
Sudah sepekan, namun kondisi Esa belum juga ada perubahan. Sejak awal, memang kesempatan Esa untuk bertahan sangatlah kecil. Namun Anna dan semua anggota keluarganya tidak pernah berputus asa, mereka semua selalu setia mengunjungi Esa setiap hari secara bergantian dan berdoa untuk kesembuhannya. Termasuk Dareen.Setiap hari Dareen tidak pernah absen berkunjung untuk menemui Esa. Namun, dia akan memilih waktu berkunjung disaat tidak ada orang terutama Anna. Seperti hari ini, Dareen berkunjung sepulang dari kantor setelah memastikan tidak ada seorang pun di rumah sakit."Maaf, papa telat. " Dareen mendudukkan dirinya di samping tempat tidur Esa seperti biasa."Hari ini, papa harus mengunjungi kakakmu. Papa terlalu merindukannya. " Ucap Dareen sendu."Esa, kau tidak ingin cepat bangun nak? Papa ingin mengajakmu berkunjung menemui Dara. Dia pasti akan sangat senang jika kau datang. " Dareen mendesah sebentar, kemudian dia melanjutkan kalimatnya. "Dia selalu t
Anna segera menyelesaikan urusannya di toilet, entah kenapa tiba-tiba perasaanya tidak tenang. Dengan langkah cepat dia segera kembali ke kamar rawat Esa.Keningnya mengernyit, begitu membuka pintu kamar dan dihadapannya sudah ada orang lain yang tengah berdiri memunggungi Anna."E-do? " Ucap Anna ragu. Dari belakang memang tampak seperti Elfredo, tapi mengingat ini adalah tengah malam jadi Edo tidak mungkin berada di sini."A-ah t-tante. " Jawab Edo gagap karena terkejut sambil mengelus dadanya."Kau benar Edo? Sedang apa disini nak? " Tanya Anna yang tidak kalah terkejut dan juga bingung.
Tidak seperti biasa, sudah beberapa hari ini Wenda tampak berubah. Dia mulai kembali menjalani rutinitas seperti biasa. Hanya saja ada perbedaan dari sebelumnya, Wenda terlihat lebih peduli dan perhatian terhadap Jinu. Tidak aneh memang, karena Jinu adalah anak kandungnya sendiri. Hanya saja Wenda bertingkah seolah tidak pernah terjadi apa-apa. Tidak pernah sekalipun dia menyinggung lagi tentang Dara, dan itu sedikit mengganggu Raiden."Sayang, habiskan makanannya. Setelah ini bersiaplah, mama akan mengantarmu ke sekolah. " Ucap Wenda pada Jinu yang tengah sibuk memakan sarapannya."Biar aku saja yang mengantar Jinu, Wen. Kau bisa beristirahat. " Rai menyelesaikan sarapannya lebih dulu.
PRANGJinu tersentak, dan tanpa sengaja menjatuhkan gelas yang di pegangnya begitu Raiden mengatakan bahwa Edo menitipkan salam untuknya."Kau tidak apa? " Tanya Rai yang ikut terkejut."A-aku tidak a-apa-apa papa. " Jinu segera berjongkok untuk membersihkan kekacauan yang baru saja dia buat."Tinggalkan itu, biar papa yang membereskan. " Perintah Rai, dia takut Jinu akan terluka jika harus membersihkan bekas pecahan gelas tersebut."M-maaf papa tadi tanganku licin. " Jinu sedikit menundukkan kepalanya."Tidak apa-apa. Papa hanya takut kau akan terluka. " Rai mengusap lembut kepala putranya. "Sekarang kembali ke kamar ya, nanti papa bawakan buah untukmu. " Rai tersenyum lembut.Jinu mengangguk dan meninggalkan Ra