Share

Chapter 8 : Encounter

Tubuh Anna menegang begitu matanya menatap lurus objek yang sedang duduk dihadapannya. Mata mereka bertemu, mencari-cari sebuah jawaban dari rasa penasaran yang tiba-tiba melingkupi. Sepercik amarah iba-tiba menyala di mata biru Anna, sedangkan lawannya menyipit seolah mencari kejelasan melalui indranya.

Sedetik kemudian Anna segera memutus kontak mata tersebut kemudian beralih kepada sang guru. "Jadi bisa jelaskan apa yang terjadi disini? Aku sepenuhnya yakin jika anakku hanya korban. " Tanya Anna yang tidak terima karena anaknya menjadi satu-satunya yang mendapat luka.

"Papa. " Ucap Esa berniat menghentikan ibunya. Esa tahu ibunya akan susah diajak berdamai jika sudah menyangkut keselamtannya.

Wenda mendengus pelan. "Berlebihan sekali. "

Anna memutar bola matanya jengah. Ucapan Wenda yang terdengar di telinganya sedikit membuat emosinya meningkat. Kate yang mencium aroma keributan lanjutan menghela nafas panjang dan mulai menjelaskan semuanya. Sedangkan Minie dan Emma ibunya sudah menguap bosan.

Begitu Kate selesai menjelaskan. Anna menatap seorang anak perempuan yang tengah duduk dengan menunduk di samping Wenda. Anak yang tadi tidak sempat Anna perhatikan.

"Jadi, kau yang bernama Dara? " Anna menunjuk Dara dengan dagunya.

"Y-ya. " Jawab Dara gugup. "A-aku Dara Tucker. " Cicit Dara.

"Tucker ya. " Anna tersenyum miris. Tucker marga yang seharusnya menjadi milik anaknya, kini digunakan oleh seorang anak dari selingkuhan mantan suaminya. Oh, dia memang Tucker. Karena berasal dan sp*** Tucker sialan Dareen mantan suaminya bersama perempuan yang kini sudah menatapnya tajam.

"A-aku minta maaf, karena aku Khesa jadi terluka. " Sesal Dara yang kini sudah mengangkat kepalanya dan memberanikan diri menatap Anna dengan takut-takut.

"Tidak apa-apa Dara. Aku baik-baik saja, jangan di pikirkan. " Esa memberikan senyuman lemburt kepada Dara.

Anna menatap Dara dari ujung kepala hingga ujung kaki. "Kau manis, tapi seharusnya bersikap lebih tenang. Bukan malah mewarisi sifat pembuat onar dan menyakiti orang. " Sindiran yang entah ditujukan untuk siapa. Yang jelas baik Dara maupun Wenda keduanya cukup terkejut dan merasa tersinggung. Wenda tidak menyangka dia akan bertemu pria dengan mulut yang sangat tajam seperti wanita.

"Apa maksudmu? " Tanya Wenda tidak terima.

"Darah memang lebih kental dari pada air. " Lalu Anna memilih acuh dan membantu putranya untuk berdiri.

"Kau! Sebaiknya jaga ucapanmu. " Tunjuk Wenda yang kini menyeret Dara untuk keluar lebih dulu dari ruangan tersebut.

"Terima kasih Mrs, aku akan membawa putraku pulang sekarang. " Pamit Anna kepada Kate.

"Tuan Yuta sebentar, ini handphone nyonya Butler sepertinya tertinggal. Bisakah kau membantuku mengembalikannya, mungkin mereka masih berada di parkiran. "

Belum sempat Anna menolak, handphone tersebut sudah lebih dulu diambil oleh Esa. "Aku akan mengembalikannya. " Esa tersenyum.

"Terimakasih Khesa, kau memang anak baik. " Ucap kate. Anna hanya bisa menghela nafas, Esa sama sekali tidak mengerti situasinya.

✿✿✿✿✿

Benar apa yang dikatakan Kate, Wenda dan Dara masih berada di parkiran. Sebelum mereka benar-benar pergi, Khesa sedikit mempercepat langkahnya.

"Permisi nyonya. " Panggil Esa ramah.

Wenda menoleh kebelakang dan mendapati Esa serta Anna sedang berjalan ke arahnya. "Mau apa lagi kalian? Urusan kita sudah selesai. " Teriak Wenda cukup keras dan sempat menarik beberapa orang yang sedang berada di area parkiran.

"Wow, santai nyona Tucker. Aku kesini dengan niat baik. " Ucap Anna dengan nada sedikit mengejek. Ternyata Wenda adalah perempuan yang sangat minim kesabaran.

"Apa maksudmu dengan Tucker? " Wenda memutar bola matanya.

"Bukankah kau memang Tucker? Anakmu tadi bernama belakang Tucker, kalau aku tidak salah. " Anna sedikit bermain-main dengan kalimatnya. Dan sebenarnya ada yang ingin dia ketahui juga tentang hal itu.

Wenda mendengus kesal. " Sekarang apa maumu? Urusan kita sudah selesai tuan. Aku tidak tertarik berurusan dengan pria bermulut seperti wanita. "

"Kau boleh menganggap ku perempuan jika ingin. Aku tidak keberatan. " Tantang Anna.

"Sinting. " Wenda mencengkram tangan Anna.

"Hentikan itu. " Teriak seorang perempuan yang sedang berjalan menghampiri mereka. "Kau! " Tunjuk nya pada Wenda. "Sampai kapan akan mempermalukan keluargaku? "

Wenda melepaskan pegangan tangannya dari Anna kemudian sedikit mundur ke belakang dan menggenggam tangan Dara. Tidak hanya Wenda, Anna juga sama. Tubuhnya menegang kala mendengar suara orang di belakangnya. Perlahan Anna mengeratkan pegangan tangannya pada lengan Esa yang tidak terluka.

Anna tahu betul suara siapa yang baru saja menghentikan kegiatan mereka. Meski mereka hanya pernah bertemu sekitar 3-4 kali dan ini sudah 15 tahun tidak pernah mendengar suara itu, dan tidak pernah juga bertatapan lagi tapi Anna masih ingat suara ini, suara ini adalah milik mantan ibu mertuanya.

Perlahan dan pasti, perempuan yang merupakan ibu Dareen itu berjalan mendekati mereka. Di tatap nya satu persatu orang-orang yang ada di sana tanpa terkecuali termasuk Anna dan Khesa.

Jantung Anna sudah berdegup kencang, takut jika perempuan di hadapannya akan mengenali dirinya. Namun dibalik ketegangan Anna, ada satu hal yang mengganggunya. Yaitu pandangan ibu Dareen terhadap Esa. Sorot yang semula terlihat dingin dan marah, berubah menjadi lebih lembut dan sulit diartikan begitu matanya bertatapan dengan mata Esa. Anna melihatnya, dia merasakan jika sorot itu adalah sorot kerinduan yang dalam.

Sesaat kemudian, raut wajah dan sorot mata itu kembali menajam dan menatap Wenda serta Dara bergantian. "Lagi-lagi kalian membuat keributan. " Masih dengan suara yang datar dan dingin milik seorang Wendy Tucker.

"Nenek." Cicit Dara dengan raut wajah yang terlihat ketakutan.

"I-ini salahku ibu. " Ucap Wenda.

"Ya ini memang salahmu. Ibu dan anak sama saja, selalu membuat keributan. Tidak cukup hah anakmu membuat keributan di sekolah? Dan sekarang kau membuat keributan di parkiran? Dimana otakmu Butler? " Wendy mengeluarkan emosinya kepada Wenda. Entah emosi karena keributan barusan, atau karena emosi yang lain. Entahlah, hanya dia yang tahu.

"Kau Dara! Ikut pulang denganku sekarang. " Tunjuknya pada Dara.

Dara mengangguk takut.

"Biarkan Dara pulang bersamaku bu, aku yang akan mengantarnya pulang nanti. " Wenda berusaha membujuk Wendy, dia takut ibunya Dareen akan melampiaskan kemarahannya pada Dara.

"Tidak! Dan aku tidak mengijinkan kau mengunjungi Dara selama seminggu ini. " Tegas Wendy.

"Tapi ibu. " Wenda tidak terima.

"Aku akan ikut sama nenek dan tidak akan bertemu mama selama seminggu. " Ucap Dara yang berhasil membuat Wendy dan Wenda diam.

Anna yang sejak tadi menyimak perkataan mereka, mengernyitkan keningnya bingung. Dalam pikirannya berkecamuk tantang bagaimana hubungan Wenda dan Dareen sekarang? Apakah mereka sudah bercerai? Kenapa Dara dan Wenda tidak tinggal bersama? Lalu Wendy? Kenapa ibu mertuanya itu terlihat tidak menyukai Wenda dan juga Dara? Setahunya Wendy dulu sangat ramah dan baik kepada dirinya. Ah Anna kau melupakan sesuatu, itu karena dulu kau menantunya, menantu sah yang nikahi putranya atas restu darinya.

"Papa, sebaiknya kita pulang sekarang. " Ajak Esa karena sudah tidak nyaman dengan apa yang dia saksikan.

Anna pun mengangguk, dia melupakan putranya untuk sesaat karena terbawa suasana. "Ini handphone yang kau tinggalkan tadi di ruangan. Aku kesini untuk mengembalikannya. " Ucap Anna datar dan menyerahkan handphone tersebut kepada Wenda.

Begitu Anna dan Esa akan pergi, suara Wendy kembali menghentikan langkah mereka. "Tunggu. "

Anna menaikkan alisnya dengan tangan yang masih menggenggam lengan Esa. "Ada apa nyonya? " Tanya Anna seramah mungkin untuk menghilangkan kegugupan nya.

"Apakah dia yang terluka akibat ulah Dara? " Tanya Wendy tidak kalah ramah dan khawatir.

Anna mengangguk, dia ingin segera pergi dari tempat ini. Lututnya terlalu lemas untuk kembali memperpanjang obrolan dengan Wendy.

"Aku tidak apa-apa nek. " Jawab Esa dengan senyuman manis yang menghiasi wajah tampannya.

"Nenek? " Tanya Wendy terkejut.

Esa mengangguk. "Nenek kan neneknya Dara, dan aku adalah temannya, jadi tidak apa-apa kan memanggil nenek? " Tanya Esa tanpa tahu apapun.

"Khesa. " Anna memperingatkan.

Wendy mengangguk cepat. "Tentu saja sayang. Astaga kau bukan hanya tampan, tapi kau benar-benar baik dan sopan. " Puji Wendy dengan tatapan berbinar.

"Terima kasih nek. " Esa lagi-lagi tersenyum kepada Wendy.

"Ayahmu pasti orang yang sangat baik. Dia begitu luar biasa karena berhasil mendidik mu dengan baik nak. " Kembali Wendy memuji Esa. "Kau sangat beruntung nak. " Kali ini tatapan Wendy mengarah kepada Anna.

"Ya aku sangat beruntung memilikinya. Dan Esa sangat tidak beruntung karena memiliki ayah sepertiku. " Jawab Anna cepat dan lemah. Anna benar-benar merasa terganggu dengan sebutan ayah, padahal dirinya adalah seorang ibu dan ayahnya Esa adalah pria terburuk di dunia.

"PAPA!. " Esa memperingatkan. Esa tidak canggung memanggil papa, toh selama ini dia sudah terbiasa memanggil ibunya papa jika sedang berada diluar rumah. "Esa tidak suka papa berbicara seperti itu. "

"Benar nak, jangan berbicara begitu. Putramu bisa seperti sekarang, semua itu berkatmu. Berkat pengorbanan dan perjuanganmu. " Wendy menggenggam tangan Anna tanpa ragu.

Anna terkesiap. Lagi-lagi jantungnya berdegup kencang. Tatapan dan ucapan Wendy seperti mengatakan bahwa dirinya tahu segalanya tentang Anna dan Esa.

Anna dengan sopan buru-buru melepaskan pegangan Wendy. "Terima kasih, tapi kami harus pulang sekarang. Aku permisi. " Anna pun akhirnya menarik tangan Esa dan pergi dari sana tanpa menghiraukan apapun lagi tentang Wendy.

✿✿✿✿✿

Edwin sedang mengerang pelan. Pasalnya dia masih bingung dengan Esa. Fakta sudah jelas-jelas menunjukkan bahwa Esa adalah anaknya Anna dan Dareen. Lalu siapa pria itu? Pria yang sempat Edwin lihat menjemput Esa.

"Apa Anna sudah menikah dengan seorang pria lain? " Tanya Edwin pada dirinya sendiri. "Tapi tidak ada catatan pernikahan atas namanya. " Edwin menjambak rambutnya frustasi.

"Kau sebaiknya bawa Khesa kemari, aku akan mencari tahu melalui anak itu. " Jawab Hana yang ikut pusing melihat kebingungan suaminya.

"Aku akan mencari alasan untuk itu. "

"Gunakan saja Edo. " Hana memberi saran. "Anakmu itu bisanya hanya tidur saja, jadi gunakan dia kali ini untuk menjawab kebingungan mu. "

"Dia juga anakmu Hana. " Dengus Edwin yang di sambut Hana dengan kekehan.

"Astaga! Aku melupakan sesuatu. " Teriak Edwin dan langsung terperanjat dari duduknya.

"kenapa, kenpa, kenapa? " Tanya Hana sinis. "Kali ini apa lagi? "

Edwin terdiam sesaat. "Khesa pernah menyinggung wig dan pakaian pria saat menelpon dengan seseorang yang dia panggil mama. " Jelas Edwin.

"APA? " Tanya Hana masih bingung dan terkejut.

"Tidak mungkin! " Teriak Edwin lagi.

"Kau tidak memikirkan apa yang sedang aku pikirkan kan? " Hana membekap mulutnya.

"Sial! Sepertinya kita sepemikiran. "

"Makanya kalian berjodoh. " Teriak Edo dari tangga dengan wajah khas bangun tidurnya.

*

*

*

- T B C -

With Love : Nhana

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status