Tubuh Anna menegang begitu matanya menatap lurus objek yang sedang duduk dihadapannya. Mata mereka bertemu, mencari-cari sebuah jawaban dari rasa penasaran yang tiba-tiba melingkupi. Sepercik amarah iba-tiba menyala di mata biru Anna, sedangkan lawannya menyipit seolah mencari kejelasan melalui indranya.
Sedetik kemudian Anna segera memutus kontak mata tersebut kemudian beralih kepada sang guru. "Jadi bisa jelaskan apa yang terjadi disini? Aku sepenuhnya yakin jika anakku hanya korban. " Tanya Anna yang tidak terima karena anaknya menjadi satu-satunya yang mendapat luka.
"Papa. " Ucap Esa berniat menghentikan ibunya. Esa tahu ibunya akan susah diajak berdamai jika sudah menyangkut keselamtannya.
Wenda mendengus pelan. "Berlebihan sekali. "
Anna memutar bola matanya jengah. Ucapan Wenda yang terdengar di telinganya sedikit membuat emosinya meningkat. Kate yang mencium aroma keributan lanjutan menghela nafas panjang dan mulai menjelaskan semuanya. Sedangkan Minie dan Emma ibunya sudah menguap bosan.
Begitu Kate selesai menjelaskan. Anna menatap seorang anak perempuan yang tengah duduk dengan menunduk di samping Wenda. Anak yang tadi tidak sempat Anna perhatikan.
"Jadi, kau yang bernama Dara? " Anna menunjuk Dara dengan dagunya.
"Y-ya. " Jawab Dara gugup. "A-aku Dara Tucker. " Cicit Dara.
"Tucker ya. " Anna tersenyum miris. Tucker marga yang seharusnya menjadi milik anaknya, kini digunakan oleh seorang anak dari selingkuhan mantan suaminya. Oh, dia memang Tucker. Karena berasal dan sp*** Tucker sialan Dareen mantan suaminya bersama perempuan yang kini sudah menatapnya tajam.
"A-aku minta maaf, karena aku Khesa jadi terluka. " Sesal Dara yang kini sudah mengangkat kepalanya dan memberanikan diri menatap Anna dengan takut-takut.
"Tidak apa-apa Dara. Aku baik-baik saja, jangan di pikirkan. " Esa memberikan senyuman lemburt kepada Dara.
Anna menatap Dara dari ujung kepala hingga ujung kaki. "Kau manis, tapi seharusnya bersikap lebih tenang. Bukan malah mewarisi sifat pembuat onar dan menyakiti orang. " Sindiran yang entah ditujukan untuk siapa. Yang jelas baik Dara maupun Wenda keduanya cukup terkejut dan merasa tersinggung. Wenda tidak menyangka dia akan bertemu pria dengan mulut yang sangat tajam seperti wanita.
"Apa maksudmu? " Tanya Wenda tidak terima.
"Darah memang lebih kental dari pada air. " Lalu Anna memilih acuh dan membantu putranya untuk berdiri.
"Kau! Sebaiknya jaga ucapanmu. " Tunjuk Wenda yang kini menyeret Dara untuk keluar lebih dulu dari ruangan tersebut.
"Terima kasih Mrs, aku akan membawa putraku pulang sekarang. " Pamit Anna kepada Kate.
"Tuan Yuta sebentar, ini handphone nyonya Butler sepertinya tertinggal. Bisakah kau membantuku mengembalikannya, mungkin mereka masih berada di parkiran. "
Belum sempat Anna menolak, handphone tersebut sudah lebih dulu diambil oleh Esa. "Aku akan mengembalikannya. " Esa tersenyum.
"Terimakasih Khesa, kau memang anak baik. " Ucap kate. Anna hanya bisa menghela nafas, Esa sama sekali tidak mengerti situasinya.
✿✿✿✿✿
Benar apa yang dikatakan Kate, Wenda dan Dara masih berada di parkiran. Sebelum mereka benar-benar pergi, Khesa sedikit mempercepat langkahnya.
"Permisi nyonya. " Panggil Esa ramah.
Wenda menoleh kebelakang dan mendapati Esa serta Anna sedang berjalan ke arahnya. "Mau apa lagi kalian? Urusan kita sudah selesai. " Teriak Wenda cukup keras dan sempat menarik beberapa orang yang sedang berada di area parkiran.
"Wow, santai nyona Tucker. Aku kesini dengan niat baik. " Ucap Anna dengan nada sedikit mengejek. Ternyata Wenda adalah perempuan yang sangat minim kesabaran.
"Apa maksudmu dengan Tucker? " Wenda memutar bola matanya.
"Bukankah kau memang Tucker? Anakmu tadi bernama belakang Tucker, kalau aku tidak salah. " Anna sedikit bermain-main dengan kalimatnya. Dan sebenarnya ada yang ingin dia ketahui juga tentang hal itu.
Wenda mendengus kesal. " Sekarang apa maumu? Urusan kita sudah selesai tuan. Aku tidak tertarik berurusan dengan pria bermulut seperti wanita. "
"Kau boleh menganggap ku perempuan jika ingin. Aku tidak keberatan. " Tantang Anna.
"Sinting. " Wenda mencengkram tangan Anna.
"Hentikan itu. " Teriak seorang perempuan yang sedang berjalan menghampiri mereka. "Kau! " Tunjuk nya pada Wenda. "Sampai kapan akan mempermalukan keluargaku? "
Wenda melepaskan pegangan tangannya dari Anna kemudian sedikit mundur ke belakang dan menggenggam tangan Dara. Tidak hanya Wenda, Anna juga sama. Tubuhnya menegang kala mendengar suara orang di belakangnya. Perlahan Anna mengeratkan pegangan tangannya pada lengan Esa yang tidak terluka.
Anna tahu betul suara siapa yang baru saja menghentikan kegiatan mereka. Meski mereka hanya pernah bertemu sekitar 3-4 kali dan ini sudah 15 tahun tidak pernah mendengar suara itu, dan tidak pernah juga bertatapan lagi tapi Anna masih ingat suara ini, suara ini adalah milik mantan ibu mertuanya.
Perlahan dan pasti, perempuan yang merupakan ibu Dareen itu berjalan mendekati mereka. Di tatap nya satu persatu orang-orang yang ada di sana tanpa terkecuali termasuk Anna dan Khesa.
Jantung Anna sudah berdegup kencang, takut jika perempuan di hadapannya akan mengenali dirinya. Namun dibalik ketegangan Anna, ada satu hal yang mengganggunya. Yaitu pandangan ibu Dareen terhadap Esa. Sorot yang semula terlihat dingin dan marah, berubah menjadi lebih lembut dan sulit diartikan begitu matanya bertatapan dengan mata Esa. Anna melihatnya, dia merasakan jika sorot itu adalah sorot kerinduan yang dalam.
Sesaat kemudian, raut wajah dan sorot mata itu kembali menajam dan menatap Wenda serta Dara bergantian. "Lagi-lagi kalian membuat keributan. " Masih dengan suara yang datar dan dingin milik seorang Wendy Tucker.
"Nenek." Cicit Dara dengan raut wajah yang terlihat ketakutan.
"I-ini salahku ibu. " Ucap Wenda.
"Ya ini memang salahmu. Ibu dan anak sama saja, selalu membuat keributan. Tidak cukup hah anakmu membuat keributan di sekolah? Dan sekarang kau membuat keributan di parkiran? Dimana otakmu Butler? " Wendy mengeluarkan emosinya kepada Wenda. Entah emosi karena keributan barusan, atau karena emosi yang lain. Entahlah, hanya dia yang tahu.
"Kau Dara! Ikut pulang denganku sekarang. " Tunjuknya pada Dara.
Dara mengangguk takut.
"Biarkan Dara pulang bersamaku bu, aku yang akan mengantarnya pulang nanti. " Wenda berusaha membujuk Wendy, dia takut ibunya Dareen akan melampiaskan kemarahannya pada Dara.
"Tidak! Dan aku tidak mengijinkan kau mengunjungi Dara selama seminggu ini. " Tegas Wendy.
"Tapi ibu. " Wenda tidak terima.
"Aku akan ikut sama nenek dan tidak akan bertemu mama selama seminggu. " Ucap Dara yang berhasil membuat Wendy dan Wenda diam.
Anna yang sejak tadi menyimak perkataan mereka, mengernyitkan keningnya bingung. Dalam pikirannya berkecamuk tantang bagaimana hubungan Wenda dan Dareen sekarang? Apakah mereka sudah bercerai? Kenapa Dara dan Wenda tidak tinggal bersama? Lalu Wendy? Kenapa ibu mertuanya itu terlihat tidak menyukai Wenda dan juga Dara? Setahunya Wendy dulu sangat ramah dan baik kepada dirinya. Ah Anna kau melupakan sesuatu, itu karena dulu kau menantunya, menantu sah yang nikahi putranya atas restu darinya.
"Papa, sebaiknya kita pulang sekarang. " Ajak Esa karena sudah tidak nyaman dengan apa yang dia saksikan.
Anna pun mengangguk, dia melupakan putranya untuk sesaat karena terbawa suasana. "Ini handphone yang kau tinggalkan tadi di ruangan. Aku kesini untuk mengembalikannya. " Ucap Anna datar dan menyerahkan handphone tersebut kepada Wenda.
Begitu Anna dan Esa akan pergi, suara Wendy kembali menghentikan langkah mereka. "Tunggu. "
Anna menaikkan alisnya dengan tangan yang masih menggenggam lengan Esa. "Ada apa nyonya? " Tanya Anna seramah mungkin untuk menghilangkan kegugupan nya.
"Apakah dia yang terluka akibat ulah Dara? " Tanya Wendy tidak kalah ramah dan khawatir.
Anna mengangguk, dia ingin segera pergi dari tempat ini. Lututnya terlalu lemas untuk kembali memperpanjang obrolan dengan Wendy.
"Aku tidak apa-apa nek. " Jawab Esa dengan senyuman manis yang menghiasi wajah tampannya.
"Nenek? " Tanya Wendy terkejut.
Esa mengangguk. "Nenek kan neneknya Dara, dan aku adalah temannya, jadi tidak apa-apa kan memanggil nenek? " Tanya Esa tanpa tahu apapun.
"Khesa. " Anna memperingatkan.
Wendy mengangguk cepat. "Tentu saja sayang. Astaga kau bukan hanya tampan, tapi kau benar-benar baik dan sopan. " Puji Wendy dengan tatapan berbinar.
"Terima kasih nek. " Esa lagi-lagi tersenyum kepada Wendy.
"Ayahmu pasti orang yang sangat baik. Dia begitu luar biasa karena berhasil mendidik mu dengan baik nak. " Kembali Wendy memuji Esa. "Kau sangat beruntung nak. " Kali ini tatapan Wendy mengarah kepada Anna.
"Ya aku sangat beruntung memilikinya. Dan Esa sangat tidak beruntung karena memiliki ayah sepertiku. " Jawab Anna cepat dan lemah. Anna benar-benar merasa terganggu dengan sebutan ayah, padahal dirinya adalah seorang ibu dan ayahnya Esa adalah pria terburuk di dunia.
"PAPA!. " Esa memperingatkan. Esa tidak canggung memanggil papa, toh selama ini dia sudah terbiasa memanggil ibunya papa jika sedang berada diluar rumah. "Esa tidak suka papa berbicara seperti itu. "
"Benar nak, jangan berbicara begitu. Putramu bisa seperti sekarang, semua itu berkatmu. Berkat pengorbanan dan perjuanganmu. " Wendy menggenggam tangan Anna tanpa ragu.
Anna terkesiap. Lagi-lagi jantungnya berdegup kencang. Tatapan dan ucapan Wendy seperti mengatakan bahwa dirinya tahu segalanya tentang Anna dan Esa.
Anna dengan sopan buru-buru melepaskan pegangan Wendy. "Terima kasih, tapi kami harus pulang sekarang. Aku permisi. " Anna pun akhirnya menarik tangan Esa dan pergi dari sana tanpa menghiraukan apapun lagi tentang Wendy.
✿✿✿✿✿
Edwin sedang mengerang pelan. Pasalnya dia masih bingung dengan Esa. Fakta sudah jelas-jelas menunjukkan bahwa Esa adalah anaknya Anna dan Dareen. Lalu siapa pria itu? Pria yang sempat Edwin lihat menjemput Esa.
"Apa Anna sudah menikah dengan seorang pria lain? " Tanya Edwin pada dirinya sendiri. "Tapi tidak ada catatan pernikahan atas namanya. " Edwin menjambak rambutnya frustasi.
"Kau sebaiknya bawa Khesa kemari, aku akan mencari tahu melalui anak itu. " Jawab Hana yang ikut pusing melihat kebingungan suaminya.
"Aku akan mencari alasan untuk itu. "
"Gunakan saja Edo. " Hana memberi saran. "Anakmu itu bisanya hanya tidur saja, jadi gunakan dia kali ini untuk menjawab kebingungan mu. "
"Dia juga anakmu Hana. " Dengus Edwin yang di sambut Hana dengan kekehan.
"Astaga! Aku melupakan sesuatu. " Teriak Edwin dan langsung terperanjat dari duduknya.
"kenapa, kenpa, kenapa? " Tanya Hana sinis. "Kali ini apa lagi? "
Edwin terdiam sesaat. "Khesa pernah menyinggung wig dan pakaian pria saat menelpon dengan seseorang yang dia panggil mama. " Jelas Edwin.
"APA? " Tanya Hana masih bingung dan terkejut.
"Tidak mungkin! " Teriak Edwin lagi.
"Kau tidak memikirkan apa yang sedang aku pikirkan kan? " Hana membekap mulutnya.
"Sial! Sepertinya kita sepemikiran. "
"Makanya kalian berjodoh. " Teriak Edo dari tangga dengan wajah khas bangun tidurnya.
*
*
*
- T B C -
With Love : Nhana
BRAKSebuah pintu baru saja dibuka dengan kasar sehingga menimbulkan bunyi debaman yang sangat keras. Semua orang yang sedang berada dalam ruangan pun terperanjat kaget. Sementara sang pelaku sudah melempar tubuhnya keatas sofa.Wenda baru saja membuka pintu ruangan kerja Dareen dengan kasar dan penuh emosi membuat Dareen dan Raiden yang berada dalam ruangan sontak terkejut."Wenda! " Desis Dareen begitu mendapati sang pelaku sudah duduk di sofa tanpa merasa berdosa."Wen, kau membuat umurku berkurang satu tahun lebih cepat. " Dengus Raiden yang masih mengelus dadanya akibat terkejut."Diam Rai! Aku sedang tidak ingin bicara denganmu. " Bentak Wenda."Ada apa denganmu? Datang dengan emosi yang meledak-ledak dan menerobos kedalam kantorku dengan tidak sopan. " Dareen berkata dengan mata dan tangan yang masih fokus pada kerjaannya."Serius! Ada apa dengan kalian semua? Kenapa hari ini kalian menyebutku tidak sopan. "
Anna tidak mengurungkan diri untuk mengantarkan berkas tersebut kepada pemilik hotel Produce tersebut. Beruntung dia lebih dulu bertemu dengan Edwin dan mengetahui tentang semuanya dari sepupunya itu. Edwin juga yang membantu Anna agar berkas yang dia bawa sampai ke tangan Dareen tanpa harus bertatapan langsung dengannya.Tapi keberuntungan Anna hanya sebatas itu. Setelahnya dia mendapati Esa tengah menikmati waktu istirahat dengan bercanda gurau bersama Dara di ruang rapat yang kosong. Dara bahkan sesekali terlihat memasukkan snack kedalam mulut Esa, meski Esa terus berusaha menolaknya.Anna geram, sangat. Pasalnya dia sudah menyuruh Esa maupun Dara untuk tidak berdekatan, tapi ternyata mereka mengabaikan itu. Kekesalannya bertambah saat Anna mendapat informasi jika Esa kembali dikucilkan akibat rumor tentang asal-usulnya. Dan dari pengakuan Esa, dia hanya menceritakannya pada Dara.Dengan langkah cepat Anna memasuki ruangan tersebut yang memang pintunya terbuka.
PLAKSatu buah tamparan yang sangat keras berhasil Wendy layangkan di pipi mulus putranya. Emosinya kini sudah berada pada puncaknya. Setelah mendengar informasi tentang keributan yang terjadi di kantor Dareen, Wendy bergegas menemui putranya.Dan disinilah mereka sekarang, di ruangan Daeen yang kedap suara bersama Wenda dan juga Dara. Keadaan mereka tampak kacau, tak ada satupun dari mereka berempat yang baik-baik saja. Terutama Dareen. Dareen masih tampak linglung, dia belum sepenuhnya menerima jika yang baru saja terjadi adalah sebuah kenyataan bukan mimpi apalagi halusinasi.
Seminggu setelah kejadian tersebut, Dareen terus berusaha menghubungi Edwin. Namun pria itu lagi-lagi menolak panggilannya. Tidak hanya itu, penjaga rumah Edwin juga tidak mengijinkan siapapun masuk ke rumah tersebut kecuali keluarga mereka dan keluarga Anna tentu saja.Sebenarnya Anna sudah tidak ada di rumah Edwin, keesokan pagi setelah insiden itu pun Anna dan Esa pulang ke rumah Daniel untuk menghindari kecurigaan dari kedua orang tua Anna. Iya, Jessica dan Daniel tidak tahu apa yang sudah terjadi kepada Anna dan Esa.Edwin sengaja menghindari Dareen dan bersikap seolah menjauhinya agar Dareen tidak mencari Anna di tempat lain dan hanya fokus untuk mencarinya di tempat Edwin. Edwin tahu betul jika sahabatnya itu adalah orang yang keras kepala tapi dia juga
Anna duduk di balkon kamarnya, sudah seminggu berlalu. Namun rasa sakit di hatinya tidak sedikitpun berkurang. Bayang-bayang ketika Dareen mencengkram kerah bajunya dan juga memukul Esa masih sangat jelas terekam dalam ingatannya."Bagaimana bisa kau melakukan itu by? " Anna bergumam pada dirinya sendiri. "Ah betapa beruntungnya mereka, dicintai seorang Dareen Tucker. " Sebuah senyuman hambar menghiasi wajah cantiknya yang tampak pucat karena udara malam yang menerpa permukaan kulitnya.Anna menghela nafas berat. "Tapi kenapa hanya pada mereka kau mengorbankan semuanya? Padahal masih ada Esa. Esa juga punya hak atas dirimu. " Lirih Anna.*Flashback
"Sa, Esa, Khesa, Khesa Devano, Esa jelek, kkkkkkkkkk. " Panggil Anna sambil tertawa pelan. Sedangkan yang dipanggil hanya memutar bola matanya malas."Mama kenapa sih? " Tanya Esa bingung."Tidak apa-apa, hanya ingin saja. " Lagi-lagi Anna terkekeh pelan."Err, mama membuatku takut. " Esa bergidik ngeri. Ibunya hari ini lebih banyak tertawa tanpa alasan."Hahaha, mama hanya bosan. Kau terlalu sibuk di sini, mama kan jadi tidak punya teman bicara. " Keluh Anna dengan bibir yang di manyunkan."Jangan merajuk, aku bukan kekasih mama
"Kamu beneran mau sekolah ra? " Tanya Wenda yang masih khawatir dengan kesehatan putrinya."Sebaiknya kamu istirahat saja sayang. Daddy gak mau kamu kenapa-kenapa. " Kali ini Dareen yang bersuara."Aku udah baikan mommy, daddy, jadi kalian tidak perlu khawatir. " Dara tersenyum kearah kedua orang tuanya. "Aku sudah lama tertinggal pelajaran, jadi tolong biarkan aku sekolah ya. " Dara memasang tampang kelincinya demi mendapat ijin dari Dareen."Hm, baiklah. Tapi kamu harus janji kalau ada apa-apa segera hubungi daddy. " Dareen mengusap kepala Dara dengan lembut."Aku akan menemaninya di sekolah. Dengan begitu setidaknya kalau ada apa-apa Dara bisa langsung ditangani. " Ucap Wenda.
Dareen menatap foto pernikahannya dengan Anna. Foto yang selama 15 tahun masih setia berada diruang tengah rumahnya dulu bersama Anna. Di foto itu, Dareen tengah merangkul pinggang Anna, sementara Anna tersenyum manis. Mereka tampak bahagia. Ya mereka memang bahagia, setidaknya pada saat itu.Dareen tersenyum getir begitu tangannya menyentuh wajah Anna yang berada di foto. "Bahkan jantungku masih merasakan getaran yang sama. " Gumam Dareen.Selama 15 tahun ini, Dareen masih sering bolak-balik ke rumah ini. Terutama disaat dirinya begitu merindukan Anna. Dareen akan datang dan tidur di kamar mereka. Menangis di tengah malam dan berbicara sendiri seolah Anna sedang berada di sana. Dareen tidak gila, dia hanya merasakan penyesalan yang teramat dalam dan cinta yang teramat besar untuk Anna.