Semenjak mengetahui kebenaran tentang Khesa dari Hana, diam-diam Edwin selalu memperhatikan anak itu. Dan melalui bantuan Hana pula, Edwin juga sudah membuktikan jika Esa adalah anaknya Anna. Bahkan ia sudah melakukan tes DNA terhadap Esa dan Dareen yang hasilnya 99% positif.
"Jika Hana tidak menutup-nutupi keberadaan mereka, pasti sejak dulu aku dan Dareen sudah menemukannya dan pekerjaanku akan menjadi sangat mudah. " Keluh Edwin yang masih setia pada posisinya memandangi foto seorang perempuan manis yang tengah menggendong seorang anak laki-laki kira-kira berusia dua tahun.
"Sekarang, meski aku sudah tahu semuanya. Aku justru tidak yakin akan memberi tahu Dareen atau tidak, mengingat bagaimana Hana sangat apik dalam menyembunyikan mereka, itu berarti Anna memang tidak ingin keberadaannya diketahui. " Gumam Edwin kepada dirinya sendiri.
Dareen tiba-tiba masuk kedalam ruangan Edwin tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu, hal itu membuat Edwin dengan buru-buru menyimpan kertas tersebut kedalam laci meja kerjanya.
Dareen mengernyit melihat pergerakan refleks dari Edwin. "Kau, apa yang barusan kau sembunyikan? " Tatapan Dareen menyipit.
"Bukan apa-apa, hanya data pribadi milik klien ku. " Jawab Edwin yang berhasil menguasai dirinya sendiri agar tidak gugup dihadapan Dareen. Satu hal yang sudah menjadi ciri dari seorang Dareen Tucker, dia memiliki aura mengintimidasi yang sangat kuat. "Ada apa kemari? " Edwin segera bertanya untuk mengalihkan pembicaraan.
"Aku ingin kau melanjutkannya. "
Edwin menaikan alisnya. "Melanjutkan apa? " Tanyanya heran.
"Melanjutkan apa yang sudah kita hentikan setahun ini. " Dareen membawa dirinya untuk duduk di sofa yang ada di ruangan Edwin.
Edwin sedikit terhenyak mendengarnya. "Kenapa tiba-tiba sekali. Apa kau mendengar sesuatu? " Edwin membawa dirinya untuk bergabung di sofa bersama Dareen.
Dareen menggeleng. "Aku hanya penasaran akan sesuatu. Dan entah kenapa feeling ku mengatakan jika kali ini kita akan mendapatkan sesuatu. "
"Lalu jika kau sudah menemukannya, apa yang akan kau lakukan? " Edwin mulai memasang ekspresi serius.
Dareen terdiam sejenak. "Aku tidak tahu. Yang jelas aku harus menemukannya. " Lirihnya pelan.
"Kalau begitu lebih baik kita hentikan. Tidak kah kau berfikir bahwa mungkin Anna sudah bahagia dengan kehidupannya sekarang? Dan kehadiranmu di hidupnya lagi, bisa saja membawa luka yang sudah coba dia perjuangkan untuk sembuh selama 15 tahun ini. "
"Tapi Win. " Sanggah Dareen.
"Bukannya aku tidak mau membantumu lagi, tapi ku rasa kali ini aku benar. Kau harus berhenti untuk menemukan mereka. " Edwin menghela nafas dalam.
"Mereka? " Tanya Dareen tidak mengerti.
"Maksudku Anna. " Edwin segera meralat omongannya.
"Aku ingin melihatnya, aku merindukannya Win. " Lirih Dareen, ada nada sesal dan perih dari kalimat yang dia ucapkan yang membuat Edwin memandangnya iba.
Sama seperti Hana, Edwin sempat murka terhadap Dareen. Seseorang yang dia sayangi diperlakukan dengan tidak menyenangkan oleh sahabatnya sendiri. Bagi Edwin, Anna bukan hanya sahabat dari istrinya, Hana. Tapi dia juga merupakan sepupunya, dan Edwin adalah orang yang memperkenalkan mereka. Namun setelah mengetahui semuanya dan menjalani hidup ditengah-tengah rasa putus asa Dareen, Edwin pun melunak dan membantunya untuk menemukan Anna. Setidaknya mereka harus bicara, begitu pikir Edwin.
✿✿✿✿✿
Anna tengah sibuk dengan kegiatan membantu ayahnya. Semalam Daniel meminta dirinya untuk membantu beberapa pekerjaan di kantor. Daniel awalnya menolak, namun setelah di pikir-pikir lagi dia memang tidak punya kegiatan disini. Jadilah dia di sini sekarang, di ruangan sang ayah bersama ibunya.
Iya, Anna datang ke kantor Daniel diantar oleh Jessica. Dengan penampilannya sekarang, bisa-bisa gosip tidak menyenangkan akan tersebar luas. Demi menghindari resiko tersebut, Jessica dengan senang hati menemaninya.
Daniel sudah lama menghilang dari dunia bisnis, bukan menghilang sesungguhnya tapi semenjak sesuatu terjadi kepada pernikahan putrinya, Daniel melimpahkan semua perusahaanya kepada orang lain. Dia hanya memantau demi menghindari orang-orang yang mungkin sedang mencari dimana keberadaan putrinya.
Setelah kembali dari persinggahan sementara, Daniel mendirikan perusahaan kecil sebagai tempatnya bekerja agar tidak mencolok.
"Kemampuanmu masih cukup bagus tenyata. " Puji Daniel yang bangga begitu melihat hasil kerja Anna.
"Aku menghabiskan 3,5 tahun untuk mempelajari semua tentang perusahaan jika papih lupa. " Jawab Anna dengan bangga.
"Kau memang tidak pernah mengecewakan sayang. Padahal selama 15 tahun ini kau pasti tidak pernah menyentuh dokumen-dokumen seperti itu lagi. " Kali ini sang ibu yang memuji.
"Aku pernah mengecewakan kalian, dan itu sangat fatal. " Raut wajah Anna seketika berubah setelah mengatakan itu. "Aku bahkan membuat semuanya kacau, aku menyeret papih dan mamih untuk melarikan diri dan merelakan kehidupan kalian. " Suara Anna sedikit bergetar. Sekuat apapun Anna berjuang selama ini, tetap saja dihadapan kedua orang tuanya Anna selalu lemah.
"Anna sayang, tolong jangan pernah berkata seperti itu. Semua bukan kesalahanmu. Kau bahkan hanya korban. Bagaimana mungkin kami kecewa, kamu bahkan harus melalui penderitaan yang mamih sendiri tidak pernah bisa membayangkannya. " Jessica menggenggam tangan anaknya.
"Mamih kamu benar Anna. Papih harap kau tidak pernah berkata atau berfikir seperti itu lagi. Terlebih di hadapan Esa. Sekarang kau punya Esa, fokuslah padanya dan bahagia lah bersama putramu. " Daniel menguspa lembut kepala putrinya.
Tiba-tiba suara handphone berbunyi dan mengganggu momen mengharukan mereka. Anna pun mengambilnya dan segera mengusap tombol hijau di layar. Namun begitu panggilan tersebut terhubung, mulut Anna menganga dan matanya melotot seakan ingin melompat keluar.
Terkejut dengan ekspresi yang ditunjukkan oleh Anna, Jessica pun segera menghampiri putrinya dan bertanya. "Anna ada apa? " Tanyanya yang ikut panik.
Anna yang baru tersadar dari keterkejutan nya akibat pertanyaan Jessica segera menutup telepon dan bergegas mengambil tasnya. "Mih, Esa terluka. " Panik Anna.
"Apa/apa? " Tanya Jessica dan Daniel bersamaan. "Bagaimana bisa dan bagaimana keadaannya sekarang? " Tanya Jessica lagi.
"Katanya Esa terlibat perkelahian, aku tidak tahu. Aku harus segera kesana. " Suara Anna sudah bergetar menahan tangis. Ini bahkan belum genap seminggu putranya bersekolah disini, tapi dia sudah terlibat masalah. Padahal selama ini di Jepang, Esa selalu baik-baik saja karena dia memang anak yang baik.
"Oke, kamu tenang dulu Anna. Biar mamih yang mengantarmu kesana. "
"Tidak, tidak. Aku akan naik taksi biar cepat sampai, aku khawatir dengan keadaan Esa. "
Jessica menghela nafas. "Baiklah, kamu harus hati-hati dan jangan panik. Telpon mamih begitu kamu sampai. "
Anna mengangguk dan segera meninggalkan ruangan tersebut.
"Ya Tuhan, lindungi cucu dan anakku. " Ucap Jessica yang tidak kalah khawatir dari Anna. Rasanya Jessica tidak pernah bisa bernafas lega setiap kali sesuatu terjadi dengan anak dan juga cucunya.
✿✿✿✿✿
Lagi, Dara dan Minie terlibat perkelahian. Entah kali ini apa penyebabnya, yang jelas mereka kembali terlibat bangku hantam. Bukan hanya mereka berdua, kali ini perkelahian tersebut melibatkan orang lain dan parahnya orang itu lah yang terluka.
Esa yang tidak sengaja berada diantara mereka berdua, harus dilarikan ke UKS akibat terkena pecahan kaca yang kena lemparan batu oleh Dara.
Jenny yang juga berada di lokasi kejadian, segera membantu Esa dan membawanya ke UKS. Beruntung pecahan kaca tersebut tidak jatuh di wajah Esa dan hanya menimpa tangannya saja. Hanya, ya setidaknya hal tersebut masih perlu di syukuri, karena jika bagian tubuh lain yang terluka misalnya mata, mungkin Esa tidak akan pernah lagi dikatakan baik-baik saja.
Sedangakan Dara dan juga Minie sudah diamankan diruang guru untuk dimintai keterangan tentang kejadian tersebut. Mereka berdua juga cukup terkejut, karen untuk pertama kalinya perbuatan mereka menyebabkan korba dengan luka fisik, terlebih dia adalah seorang pria dan murid baru disekolah mereka.
Esa meringis pelan, begitu dokter mencabut satu persatu serpihan kaca yang menancap di lengannya. Sementara Jenny sendiri masih setia menemaninya.
"Aku sudah memperingatkan mu untuk tidak terlibat dengan mereka. " Ucap Jenny dingin seperti biasa.
"Jika aku tidak menghentikan mereka, salah satu dari mereka akan terluka. " Jawab Esa pelan. Dia masih fokus menahan perih di tangannya, meski luka tersebut tidak terlalu dalam tapi tetap saja terasa sakit.
"Dan sekarang kau yang terluka, bodoh! " Sarkas Jenny yang kesal dengan sikap keras kepala Esa.
"Aku tidak apa-apa. " Dengus Esa.
"Tidak apa-apa katamu? Tanganmu bahkan sudah seperti mumi, dan kau masih berkata tidak apa-apa? " Jenny semakin kesal. "Kau seharusnya bisa membedakan antara bodoh dan baik hati. " Jenny tetaplah Jenny, meskipun hari ini dia perhatian tapi tetep saja bicaranya selalu menyakitkan.
"Hah, kau ini ribut sekali. " Jawab Esa acuh. "Tapi aku penasaran, kenapa mereka selalu bertengkar untuk hal-hal yang tidak penting. " Esa tampak penasaran. Bagaimana tidak, setiap kali mereka bertemu pasti akan terjadi keributan.
"Seharusnya kau pikirkan tentang dirimu yang ikut campur mengurusi hal yang tidak penting tersebut. " Jenny membawa dirinya untuk duduk di samping Esa. "Aku peringatakan! Jangan pernah samakan tempat ini dengan sekolah lamamu. Tempat ini bukan sekolah, tapi pabrik manusia jadi jangan pernah melibatkan rasa. "
Esa hanya mengernyit tidak mengerti.
"Jika kau sudah merasa lebih baik, sebaiknya kita pergi sekarang. Kau sudah di tunggu di ruang guru. " Esa mengangguk dan Jenny kembali membantunya untuk meninggalakan UKS.
Dan disini lah mereka sekarang, di ruang kesiswaan. Minie ditemani orang tuanya Emma, Dara juga sudah ditemani Wenda, sementara Esa masih menunggu ibunya datang.
"Orangtuanya Khesa sedang dalam perjalanan sebaiknya kita mulai saja sekarang. " Ucap Kate, selaku kesiswaan yang bertugas menertibkan anak-anak.
"Dia yang memulai. " Tunjuk Dara pada Minie.
"Tapi dia yang melukai Khesa bukan aku. " Dengus Minie.
"Memangnya apa yang sedang kalian ributkan? " Tanya Kate tidak habis pikir, pasalnya merek sudah terlalu sering keluar masuk ruang kesiswaan.
Mereka berdua diam. Kemudian saling lirik dengan tatapan kesal.
"Dia selalu menggangguku. " Dara berbicara duluan.
"Aku punya alasan. " Minie menjawab malas.
Sementara Wenda dan Emma tidak berkomentar, mereka terlalu sering bertemu untuk masalah yang sama. Sebenarnya masalah ini akan cepat selesai seperti biasa jika saja tidak ada yang terluka. Ya kali ini berbeda, karena Esa menjadi korban pertengkaran mereka.
Esa meringis ngeri, begitu melihat Dara dan Minie kembali beradu mulut di ruang kesiswaan. Di depan guru dan juga orang tuanya. Sampai tiba-tiba suara seseorang yang baru saja memasuki ruangan mengalihkan perhatian mereka.
"Dimana Khesa? Apa yang terjadi padanya? " Tanya Anna panik begitu memasuki ruangan dan mencari keberadaan putranya tanpa memperdulikan tatapan orang-orang di sana. "
"Papa, aku disini. " Esa mengacungkan tangannya yang sedang duduk di pojok ruangan. Esa memanggil Anna papa karena Anna sedang berpenampilan seperti pria.
"Astaga sayang. " Anna segera merengkuh Esa kedalam pelukannya. "Apa yang terjadi? Bagaimana bisa kamu seperti ini? Pasti orang lain yang bersalah kan? Esa tidak pernah bertengkar selama sekolah. " Anna yang di landa kepanikan justru memborong putranya dengan banyak pertanyaan. Dan membuat seisi ruangan melongo melihatnya. Untuk seorang pria, tindakan Anna dianggap terlalu berlebihan, apalagi Esa sendiiri adalah anak laki-laki.
"Ekhm. " Sebuah dekheman mengalihkan pandangan Anna. "Silahkan duduk papa Khesa, kita semua masih berdiskusi. " Kata Kate dengan senyuman ramah.
"Ah maafkan aku, aku terlalu khawatir dengan keadaan putraku. " Jawab Anna yang tiba-tiba merasa tidak enak.
Sedangkan Wenda yang duduk bersebrangan dengan Esa kini menatap Anna dengan penuh tanya. Wenda merasa wajah dan suara Anna tidak asing. Sebelumnya Wenda juga merasakan hal yang sama kepada Esa.
Sementara Anna masih belum menyadari kalau di sana ada Wenda, perempuan yang paling ingin dia hindari seumur hidupnya.
*
*
*
- T B C -
With Love : Nhana
Tubuh Anna menegang begitu matanya menatap lurus objek yang sedang duduk dihadapannya. Mata mereka bertemu, mencari-cari sebuah jawaban dari rasa penasaran yang tiba-tiba melingkupi. Sepercik amarah iba-tiba menyala di mata biru Anna, sedangkan lawannya menyipit seolah mencari kejelasan melalui indranya.Sedetik kemudian Anna segera memutus kontak mata tersebut kemudian beralih kepada sang guru. "Jadi bisa jelaskan apa yang terjadi disini? Aku sepenuhnya yakin jika anakku hanya korban. " Tanya Anna yang tidak terima karena anaknya menjadi satu-satunya yang mendapat luka."Papa. " Ucap Esa berniat menghentikan ibunya. Esa tahu ibunya akan susah diajak berdamai jika sudah menyangkut keselamtannya.Wenda mendengus pelan. "Berlebihan sekali. "Anna memutar bola matanya jengah. Ucapan Wenda yang terdengar di telinganya sedikit membuat emosinya meningkat. Kate yang mencium aroma keributan lanjutan menghela nafas panjang dan mulai menjelaskan semuanya.
BRAKSebuah pintu baru saja dibuka dengan kasar sehingga menimbulkan bunyi debaman yang sangat keras. Semua orang yang sedang berada dalam ruangan pun terperanjat kaget. Sementara sang pelaku sudah melempar tubuhnya keatas sofa.Wenda baru saja membuka pintu ruangan kerja Dareen dengan kasar dan penuh emosi membuat Dareen dan Raiden yang berada dalam ruangan sontak terkejut."Wenda! " Desis Dareen begitu mendapati sang pelaku sudah duduk di sofa tanpa merasa berdosa."Wen, kau membuat umurku berkurang satu tahun lebih cepat. " Dengus Raiden yang masih mengelus dadanya akibat terkejut."Diam Rai! Aku sedang tidak ingin bicara denganmu. " Bentak Wenda."Ada apa denganmu? Datang dengan emosi yang meledak-ledak dan menerobos kedalam kantorku dengan tidak sopan. " Dareen berkata dengan mata dan tangan yang masih fokus pada kerjaannya."Serius! Ada apa dengan kalian semua? Kenapa hari ini kalian menyebutku tidak sopan. "
Anna tidak mengurungkan diri untuk mengantarkan berkas tersebut kepada pemilik hotel Produce tersebut. Beruntung dia lebih dulu bertemu dengan Edwin dan mengetahui tentang semuanya dari sepupunya itu. Edwin juga yang membantu Anna agar berkas yang dia bawa sampai ke tangan Dareen tanpa harus bertatapan langsung dengannya.Tapi keberuntungan Anna hanya sebatas itu. Setelahnya dia mendapati Esa tengah menikmati waktu istirahat dengan bercanda gurau bersama Dara di ruang rapat yang kosong. Dara bahkan sesekali terlihat memasukkan snack kedalam mulut Esa, meski Esa terus berusaha menolaknya.Anna geram, sangat. Pasalnya dia sudah menyuruh Esa maupun Dara untuk tidak berdekatan, tapi ternyata mereka mengabaikan itu. Kekesalannya bertambah saat Anna mendapat informasi jika Esa kembali dikucilkan akibat rumor tentang asal-usulnya. Dan dari pengakuan Esa, dia hanya menceritakannya pada Dara.Dengan langkah cepat Anna memasuki ruangan tersebut yang memang pintunya terbuka.
PLAKSatu buah tamparan yang sangat keras berhasil Wendy layangkan di pipi mulus putranya. Emosinya kini sudah berada pada puncaknya. Setelah mendengar informasi tentang keributan yang terjadi di kantor Dareen, Wendy bergegas menemui putranya.Dan disinilah mereka sekarang, di ruangan Daeen yang kedap suara bersama Wenda dan juga Dara. Keadaan mereka tampak kacau, tak ada satupun dari mereka berempat yang baik-baik saja. Terutama Dareen. Dareen masih tampak linglung, dia belum sepenuhnya menerima jika yang baru saja terjadi adalah sebuah kenyataan bukan mimpi apalagi halusinasi.
Seminggu setelah kejadian tersebut, Dareen terus berusaha menghubungi Edwin. Namun pria itu lagi-lagi menolak panggilannya. Tidak hanya itu, penjaga rumah Edwin juga tidak mengijinkan siapapun masuk ke rumah tersebut kecuali keluarga mereka dan keluarga Anna tentu saja.Sebenarnya Anna sudah tidak ada di rumah Edwin, keesokan pagi setelah insiden itu pun Anna dan Esa pulang ke rumah Daniel untuk menghindari kecurigaan dari kedua orang tua Anna. Iya, Jessica dan Daniel tidak tahu apa yang sudah terjadi kepada Anna dan Esa.Edwin sengaja menghindari Dareen dan bersikap seolah menjauhinya agar Dareen tidak mencari Anna di tempat lain dan hanya fokus untuk mencarinya di tempat Edwin. Edwin tahu betul jika sahabatnya itu adalah orang yang keras kepala tapi dia juga
Anna duduk di balkon kamarnya, sudah seminggu berlalu. Namun rasa sakit di hatinya tidak sedikitpun berkurang. Bayang-bayang ketika Dareen mencengkram kerah bajunya dan juga memukul Esa masih sangat jelas terekam dalam ingatannya."Bagaimana bisa kau melakukan itu by? " Anna bergumam pada dirinya sendiri. "Ah betapa beruntungnya mereka, dicintai seorang Dareen Tucker. " Sebuah senyuman hambar menghiasi wajah cantiknya yang tampak pucat karena udara malam yang menerpa permukaan kulitnya.Anna menghela nafas berat. "Tapi kenapa hanya pada mereka kau mengorbankan semuanya? Padahal masih ada Esa. Esa juga punya hak atas dirimu. " Lirih Anna.*Flashback
"Sa, Esa, Khesa, Khesa Devano, Esa jelek, kkkkkkkkkk. " Panggil Anna sambil tertawa pelan. Sedangkan yang dipanggil hanya memutar bola matanya malas."Mama kenapa sih? " Tanya Esa bingung."Tidak apa-apa, hanya ingin saja. " Lagi-lagi Anna terkekeh pelan."Err, mama membuatku takut. " Esa bergidik ngeri. Ibunya hari ini lebih banyak tertawa tanpa alasan."Hahaha, mama hanya bosan. Kau terlalu sibuk di sini, mama kan jadi tidak punya teman bicara. " Keluh Anna dengan bibir yang di manyunkan."Jangan merajuk, aku bukan kekasih mama
"Kamu beneran mau sekolah ra? " Tanya Wenda yang masih khawatir dengan kesehatan putrinya."Sebaiknya kamu istirahat saja sayang. Daddy gak mau kamu kenapa-kenapa. " Kali ini Dareen yang bersuara."Aku udah baikan mommy, daddy, jadi kalian tidak perlu khawatir. " Dara tersenyum kearah kedua orang tuanya. "Aku sudah lama tertinggal pelajaran, jadi tolong biarkan aku sekolah ya. " Dara memasang tampang kelincinya demi mendapat ijin dari Dareen."Hm, baiklah. Tapi kamu harus janji kalau ada apa-apa segera hubungi daddy. " Dareen mengusap kepala Dara dengan lembut."Aku akan menemaninya di sekolah. Dengan begitu setidaknya kalau ada apa-apa Dara bisa langsung ditangani. " Ucap Wenda.