Share

Chapter 6 : Their Son

Dan disini lah mereka sekarang. Di sebuah restoran mewah yang terletak di sebrang hotel milik Dareen. Tidak hanya mereka berempat, kini Raiden juga sudah ikut bergabung bersama.

"Sa, kenapa makanannya hanya kau pandangi saja? " Tanya Edwin yang sadar sejak tadi Esa tidak kunjung makan.

"Em, itu. Sebenarnya aku tidak suka bawang. " Jawab Esa ragu. Dia takut akan menyinggung orang yang sudah memberinya makanan tersebut. 

Mendengar jawaban Esa, Dareen sedikit melirik pada anak itu. "Kau bisa pesan yang lain. " Ucapnya tenang. 

"Wahh Esa seperti daddy, dia juga sangat membenci bawang. " Ledek Dara pada ayahnya.

"Kalau begitu biar paman pesan kan yang lain, Esa kau mau apa? " Tanya Edwin begitu perhatian. Edwin memang seperti itu, sangat lembut dan penuh kasih sayang pada semua orang.

"Pesan yang sama saja, tapi tanpa bawang paman. " Jawab Esa yang merasa tidak enak karena sudah merepotkan Edwin. Hari ini, dia terlalu banyak merasa tidak enak karena kebaikan orang-orang di sekitarnya.

"Esa, kau tinggal dimana? " Kali ini Raiden yang bertanya.

"Tempat tinggal ku tidak jauh dari sungai Avon, bersama kakek dan nenek. " Jawab Esa.

"Bagaimana dengan orang tuamu? " Raiden memang spesialis bertanya, dia akan terus bertanya sampai keinginan tahuannya terpenuhi.

"Ada

di Jepang, bersama pamanku. "

"Apa kau campuran Jepang? Kurasa cara bicaramu sangat pasih dan wajahmu lebih dominan foreign. " Selidik Raiden. 

"Tidak. Aku memang murni Bristol, semua keluargaku asli Bristol. Itu karena di rumah sejak aku kecil kami menggunakan bahasa Inggris. "

"Oh begitu, pantas saja. Lalu------

"Stop Rai, berhenti bertanya dan biarkan Khesa makan terlebih dahulu. " Edwin menghentikan sesi wawancara Raiden. Sedangkan Dareen dan Dara menikmati makanan mereka dengan diam, karena begitulah kebiasaan mereka jika sedang makan, hening tanpa suara.

Diantara keheningan tersebut, tiba-tiba ponsel Esa berbunyi. Esa kemudian melirik sekeliling meja untuk meminta ijin mengangkat panggilan tersebut.

"Angkatlah, tidak apa disini juga. " Jawab Dareen yang peka terhadap tatapan mata Esa. Esa pun mengangguk dan segera mengangkat panggilan tersebut.

"Iya, aku sedang makan. " Jawab Esa begitu panggilan tersebut terhubung.

"..................... "

"Hah? Mama yang menjemputku? " Tanya Esa terkejut.

".................... "

"Tidak, tidak. Aku tidak akan memberitahukan tempatnya. Mama

pasti sedang mengerjai ku. " Esa menggeleng tidak percaya.

"......................"

"Berhenti berbohong, atau aku akan membakar semua wig mama

dan menghanyutkan semua kemeja plus celana jeans itu di sungai Avon. " Esa sedikit meninggikan suaranya sedangkan Dareen dan yang lain hanya menatap Esa penuh tanya begitu dia menyebutkan tentang wig dan pakaian.

"........................ "

"Oke, Oke. Aku akan beritahu tempatnya sekarang. Tapi jika mama

tidak muncul dalam 5 menit, aku tidak akan mengangkat panggilan mama selama satu minggu.

"......................... "

"Iya, iya. Esa ada di sebrang hotel Produce. Tepatnya di restoran BrandNew. " Setelah mengatakan itu, panggilan pun berakhir.

"Mama

mu? " Tanya Edwin begitu Esa mulai menyimpan kembali ponselnya.

"Iya. " Angguk Esa. "Tapi ku rasa dia sedang bergurau. "

"Kenapa? " Bukan Edwin, tapi kali ini Raiden lagi ang bertanya.

"Dia mengatakan akan menjemputku. "

"Bisa saja kan? Bukankah kau bilang mama mu menangis semalaman saat kau berangkat? " Tanya Dareen lagi.

Esa mengangguk mengingat apa yang pernah dia ceritakan kepada Edwin. "Oh itu mobilnya. " Tunjuk Esa kearah parkiran begitu melihat sebuah mobil berhenti dari kaca restoran.

Sontak semua mata menatap apa yang di tunjuk Esa. Tak terkecuali Dareen. Tidak berselang lama, seorang pria menggunakan kemeja panjang dan celana jeans keluar dari mobil.

"Astaga, dia benar-benar. " Esa menganga tidak percaya. Sedangkan yang lain masih setia memandangi laki-laki tersebut dari kejauhan. Mereka masih mencerna semua yang dikatakan Esa sebelumnya, anak itu bilang mama, tapi yang datang justru seorang pria. 

"Dara, paman, aku berterima kasih untuk makan malamnya. Tapi aku harus pulang sekarang. " Pamit Esa buku-bukunya.

"Baiklah hati-hati Sa. " Ucap Edwin.

Esa melambaikan tangan sebelum benar-benar keluar dari restoran. Tanpa di sadari, Dareen membalas lambaian tangan Esa dengan sebuah senyuman hangat.

"Senyuman itu lagi. " Gumam Edwin begitu Esa sudah berada di luar.

"Ada apa dengan senyumannya? " Tanya Raiden penasaran.

"Tidakkah kalian pikir dia seperti mirip seseorang? " Ucap Edwin dengan tatapan serius.

Dareen mengabaikan mereka berdua, tatapannya masih fokus mengarah ke parkiran. Dimana seorang anak tengah berpelukan dengan hangat. Sang ayah berkali-kali mencium puncak kepala bahkan seluruh bagian wajah anaknya. Entah apa yang salah, yang jelas Dareen merasa hatinya menghangat dan sesak secara bersamaan.

"Pantas saja Esa tampan, baik dan juga lembut. Ayahnya

nya juga terlihat sangat tampan meski dalam jarak yang berjauhan. Dan pasti sangat menyayanginya. " Ucap Dara.

"Sepertinya ada yang menyukai Esa. " Goda Edwin pada Dara. Namun Dara tidak mengindahkan ucapan dari teman ayahnya itu.

"Aku sebenarnya merasakan hal yang sama denganmu Win. Tapi kurasa kita salah. Dia lahir dan besar di Jepang, dan aku tidak memiliki kerabat atau teman yang tinggal di sana. " Raiden kembali menyantap makanannya.

"Itu karena dia tampan. Makanya senyumannya terlihat menawan. " Dareen yang sejak tadi diam akhirnya menyuarakan pendapatnya.

"Kurasa tidak begitu. Sejak di pesawat aku yakin senyuman Esa itu seperti gabungan antara senyuman mu dengan orang lain Dareen. " Edwin mencoba memikirkan sesuatu yang terus mengganjal di hatinya.

Deg

"Tapi daripada itu semua, tidaklah kalian merasa ada yang aneh? Khesa jelas-jelas mengatakan mama saat di telpon, tapi yang datang kenapa ayahnya? " Tambah Edwin penasaran, jiwa detective nya mulai muncul. 

Dareen merasa ucapan Edwin tidak masuk akal, tapi dia sendiri merasakan hal yang sama, Esa terlalu familiar untuknya. Meski begitu tidak ada jawaban untuk semua pertanyaannya. Tidak mungkin kan Esa itu anaknya? Dareen merasa tidak pernah meniduri siapapun kecuali mantan istrinya dan~ Wenda tentu saja. Jika tidak, bagaimana mungkin Dara bisa hadir.

"Kalau saja dia berlesung pipi, maka aku tidak akan ragu untuk menebak milik siapa senyuman itu. " Jawab Raiden pelan. 

Kembali Dareen tertegun, kali ini karena ucapan Raiden barusan. Pikiran Dareen mulai ke mana-mana, tiba-tiba saja dia memikirkan akan seperti apa perpaduan wajah antara miliknya dan Joanna jika mereka memiliki anak.

"Kau benar Rai, aku sepertinya melupakan yang satu itu. Hah, mungkin karena sudah lama sekali. " Desah Edwin yang matanya justru fokus kepada Dareen. 

"Paman dan daddy sedang membahas apa sih, aku tidak mengerti. " Dengus Dara kesal, karena topik pembicaraan mereka tidak dia mengerti sama sekali.

"Sebaiknya hentikan omong kosong kalian. Dan kita akhiri pertemuannya sekarang. " Final Dareen.

✿✿✿✿✿

Edwin baru saja tiba di rumahnya. Pikirannya tiba-tiba saja rumit. Sejak bertemu dengan Khesa pertama kali di pesawat ditambah hari ini, Edwin selalu saja teringat seseorang di masa lalu, seorang yang sangat dekat dengannya. Seseorang yang merupakan sahabat dari istrinya.

"Sudah beberapa hari ini setiap kali kamu pulang, aku selalu mendapati wajah penuh tekanan. " Ucap sang istri yang ikut duduk di sampingnya dan membantu Edwin membuka jas kerjanya.

"Apa tuan Tucker itu merepotkan mu? " Tanyanya.

Edwin menggeleng namun sesaat kemudian mengangguk. "Aku tidak yakin. " Jawabnya sambil terkekeh pelan. Ah Edwin Russelen, dalam situasi apapun dia masih bisa bercanda.

"Apa maksudnya? " Kali ini mata sangat istri sudah memicing. "Kau sangat tidak jelas. "

"Kau ingat tentang anak yang tempo hari aku ceritakan? " Tanya Edwin pada istrinya.

Hana mengernyit. "Yang mana? Anak yang di pesawat itu? Yang katamu senyumnya seperti memiliki perpaduan dengan Dareen? "

Edwin mengangguk. "Hari ini aku kembali bertemu dengannya. Kami makan malam bersama, dengan Dareen

juga. Kau tahu apa? Bukan hanya senyumnya, tapi mereka juga sama-sama tidak menyukai makanan yang mengandung bawang. " Jelas Edwin.

"Kurasa hal seperti itu bisa saja terjadi. Lalu apa masalahnya? " Hana masih belum paham apa yang menjadi kekhawatiran suaminya.

Edwin menghela nafas berat. "Jika kau melihat wajahnya, maka kau pasti tahu senyuman di wajahnya itu adalah milik Joanna. " Edwin berkata lirih.

"Kau pasti bercanda, dia tidak mungkin anaknya kak Anna. Lagipula kak Anna berada di Jep-----. " Hana segera membekap mulutnya.

Edwin yang semula menidurkan kepalanya di atas sofa, kini menegakkan tubuhnya kembali dan menatap Hana untuk meminta penjelasan. "Apa maksudmu Jepang? " Tanya Edwin dengan wajah yang benar-benar serius.

"B-bukan itu maksudku. " Hana menjawab dengan gugup.

"Lalu apa Hana Russelen? " Tatapan Edwin semakin menajam, suaranya juga sudah terdengar sangat berat dan dalam.

"I-itu--------- " Cicit Hana.

"Kau! Apa yang sudah kau sembunyikan dariku? " Desis Edwin. Entah karena dia sedang banyak pikiran, atau karena ini menyangkut Joanna? Entahlah. Yang jelas Edwin terlihat mulai emosi.

"Y-ya kak Anna ada di Jepang. " Cicit Hana dengan suara yang semakin kecil. Tubuhnya beringsut sedikit menjauhi Edwin karena takut.

Rahang Edwin mengeras begitu mendengar penuturan istrinya. Dia tidak menyangka jika istrinya diam-diam tahu keberadaan Anna tanpa pernah menyinggungnya sama sekali.

"Sejak kapan? " Edwin sedikit menurunkan nada suaranya, walau masih jelas terdengar nada kemarahan di sana.

"Sejak mereka bercerai. D-dan kak Anna tidak pernah kembali ke sini. "

"15 tahun Hana. Dan kau menyimpan ini sendirian? Kau sadar sadar seberapa lama itu kan? Yang benar saja. " Edwin memijat keningnya yang tiba-tiba saja pusing. "Kau tahu dengan betul, aku dan Dareen selama ini selalu berusaha mencarinya. Dan kau, kau berusaha menutupinya. Sekarang aku tahu kenapa pencarian kami tidak pernah menemukan hasil. Bukan karena orang tua Anna, tapi justru kau yang sudah menyamarkan semuanya. " Edwin sama sekali tidak mengerti mengapa istrinya bisa melakukan hal seperti ini.

"Aku punya alasan. " Jawab Hana yang sekarang sudah lebih tenang.

"Apa? Tidak peduli apapun alasannya, ini salah Han, kau tidak tahu seberapa frustasinya Dareen mencari Anna. " Terdengar nada frustasi dari ucapan Edwin.

"Kak Anna yang memintanya. " Jawab Hana. "Dia memohon padaku untuk tidak pernah memberitahu siapapun termasuk kau sayang. Dan aku mengerti! Aku mengerti kenapa dia melakukannya. Dia sangat terluka, jika kau melihat seperti apa keadaan kak Anna saat itu, maka aku yakin kau akan segera membunuh Dareen. " Jelas Hana dengan suara berat menahan tangis.

"Katakan padanya apa yang sebenarnya terjadi. "

Hana menghela nafas sejenak. Dia tidak menyangka kalau sekarang lah waktunya untuk membongkar semua rahasia yang sudah dia simpan dengan baik selama 15 tahun lamanya. "Hari dimana kak Anna engetahui bahwa Wenda

hamil, dia datang ke apartemen ku dengan baju yang kotor dan basah. Telapak kakinya penuh memar dan darah. Kurasa dia berjalanan jauh tanpa menggunakan alas kaki. Tentu saja aku terkejut, dan segera membawanya masuk kedalam. Hari itu kau sedang berada di Jeju untuk urusan pekerjaan. " Hana kemudian melanjutkan lagi ceritanya. "Anna tidak menangis, namun matanya kosong, tatapannya juga datar. Saat itu aku belum berani bertanya, namun tiba-tiba dia pingsan dan aku segera memanggil dokter untuk memeriksanya. " Hana mengambil nafas dalam. "Kau pasti akan terkejut mendengarnya. "

"Apa itu? " Tanya Edwin yang sudah sangat penasaran sejak awal.

"Kak Anna edang hamil. Usia kandungannya saat itu adalah 3 minggu. " Lirih Hana.

Edwin menjatuhkan tas kerjanya karena begitu terkejut. "Kau tidak berbohong kan? " Edwin menggelengkan kepalanya, dia tidak ingin mempercayai yang satu ini. Bukan karena apa-apa, tapi Edwin seolah bisa menebak penderitaan apa yang dilalui Anna selama hidupnya.

Hana mengangguk. "Aku serius. "

"Lalu kenapa kalian tidak memberitahu Dareen? Dia berhak tahu jika ada anaknya dalam kandungan Anna. "

"Kak Anna enolak. Saat itulah aku tahu apa yang terjadi dengan pernikahan mereka. Aku sepenuhnya bisa memahami keputusannya, bagaimanapun hidup bersama dengan selingkuhan suaminya disaat kondisi mereka sama-sama hamil adalah neraka. Anna bisa stress dan kemungkinan bisa berakhir dengan kehilangan anaknya. Apalagi saat itu kandungannya sangat lemah. " Air mata sudah menuruni pipi Hana kala dia menceritakan semua tentang Anna kepada suaminya.

"Lalu bagaimana kehidupan Anna selama ini? "

Anna menggeleng. "Aku tidak tahu, semenjak dia pergi ke Jepang, kami tidak lagi berkomunikasi. Namun dia beberapa kali mengirimkan aku surat dan foto ke apartemen kita yang lama. "

"Jangan bilang itu juga yang menjadi alasan kau selalu menolak untuk menjual apartemen itu? " Tanya Edwin yang mulai sedikit mengerti.

"Ya. " Hana mengangguk. "Aku tidak ingin kehilangannya. " Hana terisak di pelukan suaminya.

"Yaampun sayang seharusnya kau tidak menyimpan masalah ini sendirian. "

"Jika aku memberitahumu, kau pasti akan memberitahu Dareen. Kau tahu dengan betul, sampai sekarang aku masih membenci mereka. Aku membenci Dareen dan Wenda, termasuk Dara. " Hana memejamkan matanya sejenak.

"Tapi mereka tidak berselingkuh sayang. Dan Dara, dia tidak pantas untuk menerima kebencian. Bagaimanapun dia tidak tahu apa-apa. " Ucap Edwin yang mencoba menenangkan Hana. 

"Tapi karena mereka aku kehilangan kak Anna, dan karena mereka juga lah dia

harus membesarkan anaknya sendiri. Mereka merampas hak anaknya kak Anna. " Geram Hana dengan emosi penuh amarah.

Edwin mendesah pelan. "Sepertinya aku harus menyelidiki Esa. "

Hana menengadahkan wajahnya untuk melihat wajah Edwin. "Siapa Esa? Namanya seperti tidak asing. " Tanya Hana.

"Dia anak yang aku maksud tadi, senyuman Esa mirip dengan Dareen dan Anna. Dan info pentingnya dia berasal dari Jepang. "

Hana manggut-manggut, namun sesat kemudian tubuhnya menegang. "Esa, Khesa, K-khesa Devan. " Hana membekap mulutnya terkejut.

Edwin yang melihat perubahan mendadak dari istrinya merasa khawatir. "Ada apa Han? "

"Esa, Khesa Devano dalah nama dari anaknya kak Anna. Dia adalah anak Anna

dan Dareen. "

*

*

*

- T B C -

With Love : Nhana

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status