"Kenapa nggak langsung naik ke atas?" Semua orang seketika mendongakkan wajah saat terdengar suara menyapa.Ternyata yang turun adalah Umi, penanggung jawab panti. Umi dengan senyuman yang khas, beliau menyambut tamunya dengan pertanyaan. "Bu, masih ingat saya?" tanya Pak Damar yang sudah berdiri, menghampiri dan mengajak bersalaman dengan orang yang baru saja menuruni tangga. Seakan dejavu. Umi terhenyak, bibir yang semula di hiasi senyuman berubah terkatub, seakan terkenang lagi saat bertemu pria yang berada di depannya berpuluh tahun silam."Bapak ... bapak kandungnya Ivana, kan? Anda yang pernah membawa Ivana ke sini saat itu, benar bukan?" runtut Umi seketika hingga suasana berganti haru, saat tahu siapa yang berada di hadapannya saat itu."Iya, Bu! Saya ayahnya Ivana, sudah bertahun tahun saya mencari anak saya dan panti ini, Namun setiap tahun rupanya panti ini selalu berpindah pindah. Maaf kalau baru sekarang bisa datang, dan menjemput Ivana," jawab Pak Damar tak kalah h
Begitu sampai di dapur ternyata Ayah Damar dan Papa Adi sudah tak ditemukannya. Hanya terdengar suara mereka, yang sesekali tertawa dari arah ruang tamu."Ma, mau makan apa?" Sengaja Ivana mengambilkan piring untuk mantan mertuanya. "Nggak usah, Mama nggak pengin makan, kenyang! Kamu aja Yang makan, aku mau balik ke cucuku aja," tolak Mama Via dengan senyumnya, kemudian tanpa menunggu jawaban dari Ivana, langsung berbalik arah kembali menaiki tangga."Ma! Makan dulu, ayo! Nanti sakit loh!" ajak Ivana mencoba memaksa Mama Via untuk makan bersamanya."Nggak, Mama masih kenyang!" jawab Mama Via tanpa menoleh lagi. Terus melangkah ke kamar cucu-cucunya.Ivana hanya bisa tersenyum melihat sikap Mama pada bayinya. Akhirnya perempuan cantik itu pun menikmati makannya sendirian. ****"Va, anakmu bangun tapi nggak nangis, Umi bawa ke ruang tamu, ya?" ujar Umi yang tiba tiba sudah berada di belakang punggungnya sembari menggendong bayi. Di belakangnya ada Mama Via yang juga menggendong bayi
"Ayah ... maap, aku sebenarnya ingin di sini saja, karena aku dan Rizal sudah sepakat tidak pindah dari Panti.""Maksudmu? Apa hubungannya dengan Rizal?" Kening ayah Damar seketika berlipat mendengar jawaban putrinya. "Saya dan Ivana ... kami berniat akan menikah setelah Ivana menyelesaikan ujiannya, Pak." Rizal yang semula hanya diam saja memperhatikan, kini mengambil sikap untuk mengatakan lamarannya kepada Ayah Damar. "Jadi, kau sudah berniat mau menikah lagi, Va?" Dengan hati-hati Ayah Damar bertanya pada putrinya. "Ayah ... sebenarnya masih ingin berdua denganmu, tapi kalau kamu sudah yakin dengan kemauanmu, Ayah hanya bisa berdoa untuk kebahagiaanmu," ucap Ayah Damar sambil tersenyum tulus, sesaat setelah melihat anggukan anak perempuannya itu."Kapan kau akan datang bersama orang tuamu? Untuk yang satu ini, harus di rumah Ayah, Ivana masih punya Ayah, dan ini tak boleh di tolak oleh siapa pun." Ayah Damar terlihat tak ingin kecolongan lagi, hingga membuat pernyataan tak
[Ma, posisinya lagi di mana?]Terdengar suara Naya di ponsel Mama Via, saat beliau masih berada di dalam mobil, perjalanan menuju ke rumah sakit. [Ini, Mama sudah dalam perjalanan ke rumah sakit, ada apa, Nay?] [Jangan ke rumah sakit, Mas Faris sudah boleh pulang tadi, cuman dia bersikeras maunya pulang dengan si Annabelle.][Pulang ke mana? Memangnya Bella tadi ke sana?]Mama Via bertanya dengan mata menyipit.[Iya ... tadi Annabelle ke sini, tapi sekarang sudah pergi bareng Mas Faris. Jangan tanya ke mana, karena aku pun tak tahu, nggak dipamitin tadi.]Mama Via tersenyum saat mendengar suara Naya yang terdengar sedikit kesal.[Ya ... udah Nay, kami ini sudah mau pulang? Mama jemput atau gimana?][Nggak usah, Ma. Ada Dimas yang nemani aku. Cuman mau laporan tentang Mas Faris aja, kok!][Ooo, gitu. Ya udah, Mama dan Papa langsung pulang aja ya, hati-hati ya Nak Cantik.][Iya, Ma. Makasih. Assalamualaikum.][Wa alaikum salam.]Mama menutup pembicaraan lewat ponsel dengan Naya, sambi
"Selamat pagi, Sayangku," bisik Bella tepat di telinga lelaki tampan yang sedang tertidur, dengan badan yang ditutupi selimut coklat. Hanya menyisakan bagian dadanya saja yang terekspos. Membuat Faris terlihat tampak seksi."Mmm ...." jawab Faris, tanpa membuka matanya."Mandi dulu ya, aku udah masakin kamu makanan yang paling kamu sukai," rayu Bella pada Faris."Mmm ...." Lagi. Hanya deheman tanpa gerakan yang berarti dari Faris, hingga membuat Bella gemas melihatnya."Yaang, ayo bangun! Mandi sana!" Sambil memeluk punggung Faris dari belakang, Bella kembali membangunkan lelakinya. "Apa yang sedang kamu lakukan pagi pagi begini di sini, Sayang?" tanya Faris dengan kening berlipat. "Apa kamu lupa tentang penyatuan kita semalam?" tanya Bella dengan ekspresi mata yang membulat sempurna. Faris terdiam, seperti sedang memikirkan sesuatu."Kamu sungguh melupakan apa yang telah terjadi dengan ki-""Tidak, aku tidak melupakannya."Faris sengaja memotong ucapan Bella dan segera turun dar
"Jadi kapan rencananya, Nay?" tanya Ivana pada Naya yang sedang menggendong Ghina, bayi perempuan Iva.Hari ini rumah Ivana terlihat ramai sekali, kedatangan keluarga Agung tanpa anak sulungnya, Faris. Namun, bertambah Dimas si calon menantu. Juga ada Rizal tentunya."Insya Allah bulan depan. Luka khitan kakak Ghani pasti sudah sembuh, kan?" tanya Naya sambil melirik ke arah Baby boy yang sedang tidur dalam gendongan Mama Via. Tanpa terasa umur si kembar sudah enam puluh delapan hari, Ayah Damar yang memerintahkan Ivana untuk sekalian melakukan khitan pada Ghina dan Ghani bersamaan."Kalau Ghina, lukanya sudah langsung sembuh, kalau kakak mungkin seminggu udah sembuh, kok." jawab Ivana yang hanya melihat bayi kembarnya sambil duduk dekat Ayah Damar."Ada rencana apa, Nay?" Ayah Damar bertanya dengan heran."Naya dan Dimas mau tunangan, Dam. Hadir ya?!" jawab Mama Via sambil terus memperhatikan Ghani yang sedang terlelap."Oh benarkah? Alhamdulillah! Tapi kenapa harus tunangan sih,
"Selamat pagi!"Terdengar ucapan salam untuk kesekian kali dari seorang perempuan separuh baya yang masih tampak terlihat kecantikannya. Berdiri di depan pintu kantor panti padahal hari masih sangat pagi, suasana dingin dan lenggang masih terasa. Namun, sepertinya itu semua tidak berlaku untuk tamu ini.Sang tamu mengamati rumah yang dikunjunginya dengan seksama. Rumah yang di tempati panti sebenarnya adalah rumah Vera yang di desain sedemikian rupa hingga membentuk seperti ada dua rumah mewah yang dikelilingi oleh beberapa toko yang sengaja disewakan, sehingga bisa mendapatkan dana untuk keperluan anak anak panti."Selamat Pagi!" Terdengar ucapan salam yang lebih keras dari sebelum sebelumnya. "Iya, selamat pagi!" Akhirnya terdengar suara Umi menjawab salam Ibu tadi dari dalam rumah. "Ada yang bisa saya bantu, Bu?!" sambut Umi ramah sambil tangannya mengisyaratkan tamunya untuk masuk ke dalam kantor yang berbentuk rumah."Apa benar di sini ada perempuan yang namanya, Ivana?!" t
Ayah Damar membatalkan niatmya untuk menjawab saat melihat Ivana muncul dengan membawa bayi perempuannya yang belum tertidur di pelukannya. "Boleh nggak Eyang ini gendong anakmu, Va?" pinta tamu perempuan yang tadinya menamakan dirinya sendiri dengan sebutan nenek."Kok ganti eyang sih, Ma?" tanya Ayah Damar, keheranan dengan panggilan yang disebut oleh Mamanya. "Iyalaaah! Eyang, ini sudah punya cicit, bukan cucu lagi, iya nggak sih Va?" Jawaban Eyang membuat suasana rumah yang semula sedikit memanas berubah jadi lebih hangat."Eyang mau gendong Ghina?" Ivana menegaskan kembali permintaan Eyang nya tadi."Iya dong, ya ampun, aku kaku ya Va?! Udah lama ini nggak tahu rasanya gendong bayi," ucapnya di sela sela upaya penerimaan Ghina ke dalam pelukannya, dan tentu saja disambut tertawa oleh Ivana."Ivana mau nggak pindah ke tempat Eyang kakung?" tanya papanya Ayah Damar, penuh harap."Eh, apalagi itu Pa, waaah kalian ternyata kompakan bikin panggilan sayang, ya?" ujar Ayah Damar sa