Suatu hari, Aminah memutuskan untuk mencoba membicarakan hal ini dengan Sulaiman. "Mas, ada sesuatu yang ingin aku bicarakan," ujarnya dengan wajah serius.Sulaiman mengangguk, "Apa, Sayang? Apakah ada masalah?"Aminah menarik nafas dalam-dalam, "Ini tentang kejadian kelinci Zahra. Aku punya perasaan bahwa ada sesuatu yang disembunyikan, terutama oleh mama."Sulaiman meresapi kata-kata istrinya, ekspresinya menjadi serius. "Apa yang membuatmu curiga?"Aminah membagikan semua kecurigaannya pada suaminya, dan Sulaiman mulai memahami bahwa ada rahasia yang perlu diungkap dalam keluarga mereka.Sulaiman mendengarkan dengan serius penjelasan Aminah. Wajahnya berubah menjadi penuh pertimbangan, mencerna setiap informasi yang dia terima dari istrinya."Mas, aku merasa ada sesuatu yang tidak beres. Mama terlihat sangat puas setelah kelinci Zahra mati, dan aku yakin dia terlibat dalam hal ini," ujar Aminah dengan nada prihatin.Sulaiman memegang tangan Aminah, mencoba memberikan dukungan. "Say
Dokter segera datang dan memeriksa kondisi Aminah. Khadijah terus merasa bersalah, melihat Aminah yang harus menghadapi kesulitan ini di tengah kekacauan keluarga mereka.Setelah pemeriksaan, dokter memberikan penjelasan. "Kondisi Aminah memang agak rumit, dan sepertinya ini disebabkan oleh stres dan kecemasan. Saya akan memberikan resep obat dan sarannya adalah Aminah perlu istirahat yang cukup."Setelah dokter pergi, suasana di rumah semakin terasa hening. Sulaiman masih dalam keadaan campur aduk, antara kekhawatiran akan kesehatan Aminah dan kebingungan atas kenyataan kelam yang baru terkuak.Khadijah mencoba mendekati Sulaiman. "Sulaiman, maafkan mama. Mama tidak bermaksud membuat keadaan seperti ini."Sulaiman menatap ibunya dengan ekspresi campur aduk. "Aku butuh waktu, Ma. Aku perlu merenungkan semuanya. Yang paling penting sekarang adalah Aminah dan kesehatannya."Sulaiman tetap berfokus pada keadaan Aminah yang perlu istirahat dan pemulihan. Dia membimbing Aminah ke kamar unt
Hari-hari berikutnya menjadi waktu penyembuhan dan refleksi di rumah keluarga itu. Meskipun ada keheningan yang menggantung di udara, tetapi setiap anggota keluarga mencoba untuk memahami dan menerima kenyataan yang baru terungkap.Sulaiman memecah keheningan pada pagi itu, di ruang keluarga. "Saya merasa perlu untuk mencari bantuan. Kita butuh bimbingan untuk mengatasi masalah ini."Aminah menanggapi. "Benar, Mas. Kita tidak bisa seperti ini terus. Konselor keluarga mungkin bisa memberi kita arahan yang baik.""Mama setuju. Kita harus mencoba segala cara untuk memperbaiki hubungan kita," timpal Khadijah.Mereka pun sepakat untuk mendatangi seorang konselor keluarga.Saat bertatap muka dengan konselor, mereka mulai membuka hati dan menjelaskan latar belakang konflik yang melibatkan semua anggota keluarga. Proses ini tidaklah mudah, tetapi dengan bimbingan dan dukungan ahli, mereka berharap bisa memahami, memaafkan, dan memulihkan hubungan keluarga yang retak."Mari kita mulai dengan m
Waktu berlalu, perut Aminah semakin membesar menandakan perjalanan kehamilan yang berjalan lancar. Setiap saat diisi dengan persiapan dan kebahagiaan menjelang kelahiran anak pertama mereka. Mereka berdua ikut serta dalam kursus kehamilan, merencanakan dekorasi kamar bayi, dan berbelanja perlengkapan bayi dengan penuh antusias."Sayang, kan sudah aku bilang, jangan capek-capek. Istirahat aja, loh!" ujar Sulaiman dengan raut wajah yang sangat khawatir ketika kaki Aminah hampir tergelincir."Iya, sayang. Aku cuma mau membereskan mainannya Zahra saja, kok. Kan tidak terlalu menguras tenaga juga," jawab Aminah sambil mengelus perutnya. "Lagian, anak kita yang ada di dalam perut ini, baik-baik saja."Di sana, ada Zahra yang ketakutan karena khawatir dimarahi Sulaiman. Apalagi Aminah hampir tergelincir akibat mainan Zahra yang berantakan. Aminah dengan wajah tertunduk, merasa bersalah, langsung meminta maaf. "Pa, Ma, maafin Zahra, ya. Gara-gara mainan Zahra, mama hampir saja celaka. Zahra s
Aminah yang sedang enak makan, langsung berdiri ketika mendengar pengumuman dari kedua orang tuanya."Apa? Dijodohin? Emangnya zaman Siti Nurbaya apa, ya, pakai acara dijodohin segala? Mak, Yah, aku ini udah besar, bisa menentukan pilihan sendiri! Enggak perlu dijodoh-jodohin segala!" ujar Aminah dengan nada tinggi.Suasana di ruang makan begitu tegang melebihi tegangan listrik. Terik matahari, tak sepanas suasana yang sedang terjadi di rumah kediaman Bapak Abdul Latif (ayah Aminah)."Lagian kamu setelah lulus SMA, emangnya mau ke mana? Kuliah? Anak perempuan itu enggak perlu sekolah tinggi-tinggi, toh ujung-ujungnya juga ngurus dapur, sumur, dan kasur," ujar Sarah Azhari (emaknya Aminah) dengan perasaan marah karena anaknya menolak perjodohan."Emak sama Ayah khawatir dengan biaya kuliahku, kan? Makanya memilih untuk menjodohkan aku dengan laki-laki yang jarak usianya jauh banget sama aku. Masa aku nikahnya sama om-om! Apa kata teman-temanku, Ma? Malu tahu!" Aminah terus memberontak
Setiap kali memasak, Aminah melibatkan diri sepenuhnya dalam proses tersebut. Dia mempelajari resep-resep tradisional dari berbagai daerah, mencoba memahami teknik-teknik yang tersembunyi di balik setiap hidangan. Dengan penuh antusiasme, Aminah berkreasi, menambahkan bumbu-bumbu baru, dan menciptakan kombinasi rasa yang mengejutkan.Suatu sore, ketika Aminah sedang memasak di dapur, Sulaiman datang menghampirinya. Dia mencium aroma harum yang menyengat ruangan dan melihat Aminah sibuk dan sangat serius di depan kompor."Aroma itu begitu menggugah selera, Aminah. Apa yang kamu masak hari ini?" tanya Sulaiman sambil mengendus aroma masakan Aminah.Aminah tersenyum lembut. "Terima kasih, Sulaiman. Aku sedang mencoba resep baru dari daerah Sumatera. Ini adalah rendang yang diolah dengan bumbu-bumbu khas dan rempah-rempah segar."Sulaiman terkejut. "Rendang? Itu tidak seperti rendang biasanya. Kamu selalu berhasil membuat hidangan yang istimewa, Aminah."Aminah merasa sedikit gugup. "Aku
Suatu hari, Aminah tidak sengaja memecahkan pot bunga kesayangan ibu mertuanya. Aminah sangat ketakutan, tidak ada orang di dalam rumah, selain dirinya. Kedua mertuanya, Abbas dan Khadijah, sedang berkunjung ke suatu tempat. Maklum, orang kaya, jadi setiap harinya pasti banyak kesibukan. Mungkin selain takdir dari Allah, memang faktor kesibukan inilah yang menyebabkan Sulaiman menjadi anak tunggal. Begitu pikir Aminah sambil membereskan pecahan pot bunga tersebut.Sedangkan suaminya, apalagi yang harus dilakukan selain bekerja dan sibuk berkumpul dengan teman-temannya. Sulaiman pulang sampai larut malam kalau sudah berkumpul dengan teman-temannya, bahkan pernah tidak pulang.Belum selesai membersihkan pecahan pot bunga tersebut, mertua Aminah datang dengan mobil mewah pada eranya. Karena di tempat tinggalnya, belum banyak yang memiliki mobil pribadi.Khadijah menghampiri dengan muka masam. "Astaghfirullah. Ini ada apa, Aminah? Kenapa pot bunganya pecah begini?" tanyanya dengan nada ti
"Udah dapat belum pot bunganya? Pasti enggak ada, kan, pot bunga yang sama persis dengan yang kamu pecahkan kemarin?" Khadijah bertanya dengan wajah ketus sambil memakan buah apel yang sudah dipotong-potong. Dia menikmati buah tersebut sambil menonton acara televisi. Kopi hangat pun sudah ada di meja, berikut camilan yang lainnya."Belum, Ma. Rencananya, hari ini aku akan mencari pot bunganya, meski tidak sama persis, apalagi kenangannya tidak akan tergantikan, tetapi setidaknya aku membelinya sebagai permintaan maaf kepada Mama." Aminah berpamitan setelah berbicara dengan ibu mertuanya tersebut.Aminah menghirup harum bunga mawar yang mengisi ruangan saat dia memandang pot bunga di meja makan. Dia membayangkan kalau itu adalah pot bunga yang tidak sengaja dipecahkan kemarin. Pot bunga itu memiliki warna cerah dan ornamen yang khas. Aminah pun tidak bisa menahan dorongan untuk menemukan pot bunga yang serupa."Aku tahu bahwa ini bukan hanya tentang pot bunga itu sendiri, melainkan ten