Bandara Soekarno Hatta pukul sepuluh pagi. "Hati-hati."Begitulah kata yang terucap di bibir Reisa saat mengantar Andra ke bandara. Setitik air matanya menetes. Rasa haru berkecamuk di dada. Sekalipun hanya sebentar, sebenarnya wanita itu belum benar ikhlas melepas kepergian suaminya. Andra memeluk dua orang yang paling dia sayangi saat ini dengan erat. Dia mencium lembut kening Reisa sembari menggendong Rendra. Bayi itu malah senang karena digelitik papanya. "Ndra," lirih Reisa. Dia tak rela melepaskan sang suami pergi. Tak perduli banyak mata memandang.Wisnu dan Nita hanya bisa memperhatikan perpisahan yang cukup mengaharukan ini."Lu di rumah papa aja dulu sementara waktu. Biar ada temannya." Andra berbisik di telinga Reisa."Gue gak tega lu sendirian."Reisa mengangguk. Sudah menjadi kesepakatan selama satu bulan ini mereka akan pindah ke rumah papa. Andra tidak bisa membiarkan istri dan anaknya tinggal berdua tanpa ada keluarga yang menemani. "Dah, Ma!" Andra berjalan menja
Bel pintu berbunyi. Terburu-buru Inah segera membukakan pintu. "Cari siapa?"Inah bertanya penuh selidik saat mendapati seorang lelaki di balik pintu. Rasanya dia kenal. Lalu wanita paruh baya itu teringat bahwa itu sepupunya Nita yang waktu itu datang ke sini bersama Wisnu."Reisa ada?""Keperluan?" tanya Inah lagi. "Bilang saja ada Mas datang.""Apa sudah janji?"Dimas mengumpat dalam hati. Ini pembantu tidak sopan sekali. Ada tamu datang bukannya disuruh masuk, malah ditanya macam-macam. Inah sendiri sudah diberikan mandat dari Andra supaya tidak menerima tamu sembarangan. Tuannya tidak mau terjadi hal buruk kepada selama dia tidak ada."Silakan masuk. Sebentar saya panggilkan Non Reisa."Inah membuka pintu lebar-lebar, lalu ke dapur menyuruh Susi membuatkan minuman. Setelah itu dia mengetuk pintu kamar Reisa, yang sedang tertidur bersama putranya."Apa, Bik?" Wajah Reisa tampak kusut saat membuka pintu. Rambutnya acak-acakan dan terlihat masih lemas."Anu, Non. Ada tamu di depa
"Sorry. Gue gak bisa pulang." Reisa melempar ponselnya di sofa. Dia sudah menunggu sejak tadi pagi. Weekend ini harusnya mereka berkumpul di rumah. Reisa sudah berbelanja di pasar. Dia bahkan memilih langsung ikan segar, yang akan dimasak untuk menyambut kedatangan Andra. Semua kacau saat Reisa mendapatkan telepon itu tadi pagi. Andra tidak bisa pulang. Ada meeting internal dengan beberapa investor di sana.Tadinya Reisa dan Rendra ingin menyusul, tetapi dilarang. Kata Andra jadwal cukup padat. Bahkan hari libur pun mereka lembur. Suaminya berjanji kalau hotel baru sudah launching, mereka akan dibawa serta.Ini minggu pertama Andra ditugaskan di sana. Harusnya Reisa mengerti bahwa di awal-awal tugas, suaminya pasti sibuk sekali.Hanya saja Andra sendiri yang mengatakan akan pulang. Betapa dia sangat merindukan mereka berdua, begitulah yang selalu Andra katakan setiap menelepon di waktu senggang."Dek, papa gak bisa pulang."Reisa berbisik di telinga Rendra yang sedang tertidur. Ras
Dimas menunjuk sebuah pakaian bayi yang dipajang di sebuah etalase toko."Ini bagus ya, Rei. Lucu."Hari ini mereka keluar berjalan-jalan. Berempat, tetapi Nita memilih untuk membawa Rendra ke arena bermain khusus anak-anak. Sehingga Reisa dan Dimas akhirnya memutuskan untuk berjalan mengitari mall."Iya, kekinian. Sekarang baju bayi sama anak-anak banyak model terbaru."Mereka masuk ke toko dan melihat-lihat . Keduanya bertukar pendapat mengenai baju mana yang pantas dipakai bayi Reisa jika nanti hari lahir tiba. "Beli satu, deh. Ini lucu banget."Dimas mengambil sebuah baju model princess dengan motif bunga-bunga."Ih, engga boleh. Nanti aja kalau udah tujuh bulanan," larang Reisa saat lelaki itu hendak membawanya ke kasir."Kenapa?" Dahi Dimas berkerut. Baginya tak masalah membeli baju apa pun asalkan cocok dan budget-nya ada."Kata orang-orang pamali. Nanti tunggu tujuh bulan." Reisa menjelaskan.Dimas mengangguk. Selama ini dia tidak tahu, belum pernah merasakan. Istri saja belu
"Halo, Ndra?"Reisa yang sudah terlelap, harus terbangun ketika ponselnya berdering pukul dua pagi. Wanita itu sebenarnya enggan menerima telepon. Namun, Andra tak mungkin menghubunginya jika tak penting. Akhirnya Reisa mengangkat panggilan itu. Rasa khawatir lebih kuat daripada kantuknya. "Bisa jemput dia sekarang?" tanya seorang wanita di seberang sana. "Kamu siapa?"Suara Reisa terdengar emosi ketika mendengar wanita itu berbicara dengan santai melalui ponsel Andra, sahabatnya. "Tolong jemput aja dia. Teman kamu mabuk.""Andra mabuk?" tanya Reisa tak percaya. "Iya, udah teler nih.""Kalian dimana?""The Paradise." Wanita di telepon tadi menyebutkan sebuah kelab yang lokasinya terletak di pusat kota. Setelah mengetahui semua secara detail, Reisa bergegas mengambil sweater beserta dompetnya. Dia menyalakan mesin mobil tanpa berpikir dia kali bahwa ini sudah larut malam. "Astagfirullah."Sampai di sana, Reisa hanya bisa menggeleng saat melihat keadaan Andra. Lelaki itu sedang t
Pukul lima, subuh hari. "Non Rei!" Inah menutup mulut, setengah tak percaya melihat keadaan Reisa yang tak seperti biasanya."Bik. Tolong." Reisa melangkah tertatih-tatih. Rasa sakit di sekujur tubuhnya sudah tidak dapat ditahan. "Astagfirullah, Non. Kenapa?" Inah memapah dan membantu Reisa berjalan. Pakaian wanita itu sebagian robek dengan rambut acak-acakan. Ada bekas lebam di pergelangan tangannya. Dan ada bercak darah. "Panggilkan taksi, Bik. Aku mau pulang," lirih Reisa. Matanya bengkak dengan air matanya tak berhenti menetes. "Ada Tarno, Non. Sebentar bibik panggilkan di belakang. Tadi barusan dia datang." Inah berlari ketakutan. Dalam hati menduga-duga apa yang sebenarnya terjadi. Wanita paruh baya itu tidak mau berprasangka. Namun, melihat kondisi Reisa seperti itu, dia mencurigai sesuatu. Tuannya tak keluar kamar sejak tadi. Pintu kamarnya setengah terbuka, walau tidak ada suara apa pun dari dalam sana. Inah tidak berani mengintip karena itu tidak sopan."Nok, Nok.
Wisnu tergopoh-gopoh keluar dari kamar ketika salah satu pengurus rumah mengabari kondisi putrinya yang baru saja diantar pulang."Ada apa?""Non Rei, Pak. Kayaknya dirampok."Wisnu berlari ke ruang tamu dan mendapati putrinya terbaring di sofa. Dia mengucap istigfar berulang kali sembari memeriksa beberapa bagian tubuh Reisa yang lebam. "Pak Nok?" tanya laki-laki paruh baya itu kaget ketika melihat siapa yang mengantar putrinya pulang.Tarno sering ke rumah ini mengantar Reisa pulang. Putrinya memang sudah bersahabat sejak lama dengan Andra. Wisnu bahkan kenal siapa saja yang bekerja di rumah itu. Wisnu bahkan sudah menganggap Andra seperti anak sendiri. Anak itu baik dan sopan karena sudah terbiasa datang ke rumah. "Iya, Pak. Ini ... saya antar Non Rei pulang.""Sebenarnya ada apa ini?" Wisnu menarik kerah baju Tarno dengan penuh amarah. "Bukan saya, Pak. Saya cuma diminta nganterin Non Rei pulang.""Terus Reisa diapain sampai begini?"Dengan terbata, Tarno menceritakan apa y
"Arghhh!"Dimas melempar barang-barang di ruangannya saat menerima kabar terbaru mengenai kondisi Reisa. Lelaki itu duduk di sofa sembari meremas rambut berulang kali. Ponselnya kembali berdering, setelah satu jam yang lalu tak hentinya menerima panggilan. "Ya, Ma?""Kami mau ke rumah sakit. Kamu cepetan nyusul. Kita mau lihat Reisa," ucap seseorang di seberang sana. "Tapi aku masih ada kerjaan, Ma.""Dimas! Kamu ini gimana? Ini calon istri kamu kena musibah.""Mama jalan aja dulu. Aku nyusul."Dimas memutus panggilan lalu kembali ke meja kerja. Pikirannya kalut sehingga dia memutuskan untuk meninggalkan kantor dan menuju rumah sakit.Sepanjang perjalanan Dimas merenung sehingga tak fokus menyetir. Laki-laki itu tak mengira semua ini terjadi. Padahal, dia sudah menyewa seorang supir pribadi untuk mengantar sekaligus menjaga Reisa. Menurut informasi yang Dimas terima, Reisa menyelinap di malam hari tanpa sepengetahuan papanya. Itulah yang paling dia sesali. Geramnya lagi, Andra ben