Share

Kedatangan Dias

Soraya menyembunyikan kepanikannya karena Dias yang tiba-tiba saja datang ke rumah. Ia memang ingin bertemu dengan Dias, membahas masalah besar di antara mereka, tapi bukan di sini. Bukan di rumahnya, di saat ibunya duduk mengawasi.

“Siang, Tante. Saya pengin jenguk Soraya. Katanya sakit ...,” sapa Dias sopan. Ia bahkan meletakkan seplastik jeruk di meja, bertingkah layaknya calon mantu yang ingin mengambil hati calon mertua.

“Iya. Soraya agak demam, muntah-muntah juga. Masuk angin mungkin. Kamu nggak ke kampus?” jawab Tanti yang heran melihat Dias membawa tas punggung, tapi malah datang menemui Soraya.

“Tadi udah ke kampus, kok, Tante. Cuma nggak ada kelas, jadi ke sini aja,” jawab Dias sambil nyengir lebar.

Tanti mengangguk dan pamit ke dapur. Ia tidak merasa perlu khawatir meninggalkan putrinya berdua dengan laki-laki karena mereka berada di rumah. Pintu ruang tamu juga terbuka lebar. Putrinya masih dalam jangkauan.

“Gimana? Udah mendingan?” Dias menggeser duduknya mendekati Soraya. Tangannya meraih tangan Soraya lembut, ingin menyalurkan rasa sayang. Namun, reaksi Soraya begitu mengagetkan. Gadis yang telah menjalin hubungan dengannya selama tiga tahun lebih itu menepisnya cukup kencang.

“Jangan gini. Ada ibuku.”

Dias mencoba memaklumi penolakan Soraya. Ia benar-benar kangen pacarnya. Apalagi, setelah malam itu, malam di mana ia hampir mengambil kesucian Soraya, gadis itu jadi sedikit menghindar. Meski begitu, perasaan Dias malah jadi lebih kuat. Wajah Soraya yang cantik dan tingkahnya yang malu-malu, selalu terbayang di kepalanya. Termasuk tubuh polos Soraya. Saat ini saja, tubuhnya sudah panas dingin karena ingatan malam panas mereka dua bulan lalu kembali berkelebat. Dias tahu, mereka bertindak sedikit kelewatan. Gejolak gairah yang membakar telah membutakan matanya, sehingga ia nekat memaksa Soraya menanggalkan pakaian. Untung saja, ia tidak sampai mengambil kesucian Soraya saat itu. Ia tersadar saat Soraya menangis dan memohon untuk berhenti.

Dias kembali menggeser posisinya kembali ke tempat semula. Soraya benar. Dia tidak bisa menyentuh gadis itu semaunya di sini.

“Udah minum obat?” tanya Dias setelah hening beberapa saat.

Soraya menggeleng. “Belum. Aku nggak bisa minum obat sembarangan,” jawabnya spontan. Ia tahu wanita hamil tidak bisa minum obat yang biasa beredar di warung, dan jawaban tadi keluar begitu saja dari mulutnya.

“Kamu nggak bisa nelan obat tablet? Atau kamu punya alergi sama obat tertentu?” Dias mengernyit tak mengerti.

Soraya menggigit bibir bawahnya dengan gelisah. Terlihat jelas bahwa ia ingin mengatakan sesuatu dari gerak bibir dan ekspresi wajahnya. Dorongan untuk segera memberitahu Dias tentang 'penyakitnya' begitu kuat. Ia merasa kesal dan bingung secara bersamaan. Ia kesal karena hanya dia yang menanggung akibat dari kesembronoan mereka. Ia ingin sekali menuntaskan semuanya secepat mungkin. Tetapi, ia pun bingung bagaimana mengatakan hal yang sebenarnya. Apalagi ada ibunya yang bisa saja mendengar obrolan mereka. Pada akhirnya, Soraya hanya menghela napas lelah dan berkata, “Aku butuh istirahat, Yas. Besok kita ketemu di kampus aja. Ada yang mau aku omongin.”

Dias mengangguk paham. Ia sudah cukup senang setelah melihat gadisnya meski sambutan yang diterimanya tak terlalu ramah. Ia tahu, tindakannya akan membuat Soraya mendapatkan siraman rohani dari orang tuanya. Hanya saja, ia terlalu merindukan Soraya sehingga nekat bertamu seperti ini.

Soraya pernah bercerita pada Dias tentang betapa lebay orang tuanya setelah adiknya meninggal. Ia selalu diingatkan untuk tidak jajan sembarangan, menghabiskan air putih dalam botol yang selalu dibawakan ibunya saat ia keluar rumah, mengingatkannya untuk selalu cuci tangan dan hal lain yang membuat Soraya muak, termasuk menjaga jarak dengan laki-laki. Soraya merasa seperti boneka kaca yang rapuh, sehingga orang tuanya memperlakukannya dengan sangat hati-hati. Itu sebabnya ia ingin segera lulus kuliah dan bekerja yang jauh dari rumah. Ia ingin merasakan kebebasan. Ia telah bosan memainkan peran sebagai gadis baik-baik dan penurut.

Sekarang tiket menuju kebebasan yang diidamkan Soraya telah hangus. Soraya tak henti menyalahkan dirinya yang sempat terpikat pada bujuk rayu sang pacar. Ia merasa semua aman karena Dias belum sempat memasukinya. Sialnya, Tuhan membalas kenekatan mereka dengan segera, dengan cara yang tak terduga.

Tanti keluar menuju ruang tamu membawa nampan berisi minuman.

“Wah, malah ngerepotin, Tante. Saya udah mau pulang, kok,” ucap Dias yang sudah berdiri dan menenteng tasnya.

“Nggak, kok. Diminum dulu! Sayang, kan, udah dibikin?” sahut Tanti ramah. Ia berusaha menekan keinginan menceramahi anaknya mengingat keadaan Soraya yang masih lemas. Ia juga tidak ingin bersikap ketus pada Dias walaupun nasihat bijak sudah berada di ujung lidahnya.

Dias meminum es tehnya dengan terburu-buru. Sejujurnya, tatapan mata ibu Soraya lumayan membuat dirinya ketar-ketir. Ia merasa takut ketahuan telah melakukan sesuatu pada Soraya jika berlama-lama di depan Tanti.

“Terima kasih esnya, Tante. Saya pamit dulu. Cepat sembuh, ya, Ra!” Dias mengulurkan tangan pada Tanti sambil sedikit membungkuk sebagai tanda kesopanan. Tak lama terdengar suara motornya meraung, semakin lama semakin jauh.

Tanti berbalik menatap Soraya yang kelihatan pucat. Ia menepis pikiran buruknya tentang Soraya yang akhir-akhir ini sering melamun dan tak berselera makan.

“Mau ke kamar lagi? Apa mau makan dulu? Kamu belum sempat makan tadi,” kata Tanti seraya duduk di samping putrinya.

“Perutku nggak enak, Bu. Takut muntah lagi kalau makan. Aku ke kamar aja.”

Tanti merasa khawatir. Bayangan kematian putranya sekilas muncul dan menambah ketakutannya. Demi Tuhan, ia tidak akan bisa hidup jika sesuatu terjadi pada anaknya lagi.

“Kamu pengin makan apa? Biar ibu bikinin. Atau kalau kamu pengin pesan makanan di aplikasi, pesan aja. Nanti nggak sembuh-sembuh kalau kamu nggak mau makan. Atau, kita ke dokter aja, gimana?”

Soraya cepat-cepat menolak tawaran pergi ke dokter. Ia tentu saja lapar. Tapi kalau harus muntah lagi setelah makan, apa gunanya? Soraya juga tidak bisa terus menerus menolak ajakan orang tuanya ke dokter. Setidaknya, ia harus makan sesuatu agar ibunya merasa tenang.

“Aku pengin makan bubur sumsum aja, Bu. Kayaknya enak,” pinta Soraya saat akan kembali berbaring.

Tanti dengan sigap menutupi tubuh Soraya dengan selimut. Ia mengelus kepala putrinya lembut. “Habis ini ibu bikinin.” Tanti diam sejenak sebelum kembali bertanya. “Emm, Nak, cowok yang tadi itu ... pacarmu?” tanya Tanti memastikan.

Soraya menghindari mata ibunya. Ia memang bukan pembohong, apalagi di depan ibunya.

“Kami ... lumayan dekat, Bu. Ibu marah, ya?” jawabnya dengan wajah takut.

Tanti mengembuskan napas panjang sebelum mengulang kata-kata yang sudah sering diucapkannya.

“Ibu pengin kamu fokus sekolah dulu, Nak. Punya pacar sekarang itu buang-buang waktu. Apa, sih, manfaatnya pacaran? Apa kasih sayang dan perhatian dari ayah sama ibu kurang, Ra?”

Soraya menunduk dan menggeleng lemah. Ibunya benar. Ia saja yang terlambat menyadari kalau semua yang dikatakan ibunya itu memang benar. Entah ke mana perginya semua doktrin tentang menjaga jarak dengan laki-laki saat ia memutuskan menjalin hubungan dengan Dias. Soraya pun tak mengerti. Yang Soraya tahu, Dias menawarkan sesuatu yang tidak ia dapat dari orang tuanya. Rasa senang yang membuatnya berdebar.

Tanti kembali mengusap rambut Soraya. “Ibu harap, kamu bisa lebih bijaksana setelah ini, Ra. Kamu sebentar lagi skripsi, nggak ada waktu buat pacaran. Kejar dulu cita-citamu, baru pikirin pasangan."

“Iya, Bu. Aku paham maksud Ibu, kok,” jawab Soraya cepat. Dia masih sangat berharap bahwa kuliahnya akan berlanjut. Ia punya sedikit keyakinan kalau dia bisa menyelesaikan masalahnya dan semua akan baik-baik saja. Ya, mungkin saja ada sedikit keajaiban yang bisa menyelamatkannya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status